Murnikan Iman dan Peribadatan tetapi Negosiasikan Kehidupan Sosial untuk Keadilan dan Keharmonisan.
Kehidupan beragama, terutama dalam masyarakat yang heterogen, meliputi banyak agama maupun kelompok keagamaan yang berbeda-beda, kita sering dihadapkan pada hal-hal yang sensitif. Istilah-istilah normatif agama yang diekspresikan dalam ranah sosial dapat menimbulkan ketersinggungan penganut agama maupun kelompok keagamaan lain.
Menyebutkan istilah kafir, musyrik, bid’ah, munafiq, fasiq dan sejenisnya, kerap dianggap sebagai bentuk umpatan yang dapat menyinggung pihak-pihak tertentu sehingga menimbulkan ketidakharmonisan dalam kehidupan sosal keagamaan. Sejatinya, istilah tersebut bukan sebagai umpatan, dan tidak pantut pula dijadikan umpatan, maupun justifikasi, tetapi merupakan komparasi perbandingan dalam konteks pengendalian keimanan.
Istilah-istilah tersebut digunakan dalam konteks penguatan keimanan dan keislaman. Digunakan sebagai simpulan sejumlah kategori yang harus dihindari karena akan merusak iman dan tertolaknya amal perbuatan. Sebab iman dan beribadatan suatu agama tidak bisa dikompromikan dengan sistem keyakinan dan amal peribadatan agama maupun kelompok keagamaan yang lain.
Iman dan peribadatan bukan merupakan ranah analog dan ijtihadiyah yang memungkinkan munculnya sinkretis, tetapi ranah yang disyaratkan kemurniannya. Lain halnya dengan ranah kehidupan sosial, seorang mukmin-muslim dituntut bernegosiasi dengan siapapun tidak memandang agama, suku, dan ras manapun untuk keadilan dan keharmonisan hidup bersama. Salam Yansur.
0 comments: