Saturday, October 22, 2022

Muh. Nursalim : Santri Penegak NKRI
Muh. Nursalim


 Peran santri dalam menegakkan Indonesia tidak perlu diragukan, baik sebelum merdeka, masa revolusi maupun di era pembangunan. Maka kalau ada hari khusus yang diperingati untuk mereka, tidak salah alamat. 


Tulisan ini akan mengisahkan tiga santri yang turut punya peran penting dalam menegakkan NKRI itu. Semuanya sudah almarhum dan mereka menjadi pahlawan. Dengan mengutip tiga santri bukan berarti santri-santri yang lain kurang hebat. Bukan, bukan seperti itu. Semua punya peran luar biasa sesuai dengan posisinya. 


1. Syeikh Hasyim Asy’ari 


Ketika Sukarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia,  Belanda tidak langsung mengakui. Bahkan mereka berupaya kembali menguasai negara yang baru saja lahir tersebut. Tiga tahun sebelumnya, yaitu tanggal 8 Maret 1942 negeri kincir angin itu kalah perang melawan Jepang dan menyerahkan nusantara kepada penjajah baru, Jepang.


Proklamasi kemerdekaan RI dilakukan di tengah kacauanya keamanan global akibat perang dunia ke dua. Indonesia terseret di dalamnya akibat dijajah Jepang yang melawan sekutu bersama Jerman dan Italia. 


Jepang di bom atom Amerika. Nagasaki  tanggal 6 Agustus 1945, menyusul Hirosima tanggal 9 Agustus 1945. Dampak bom atom itu luar biasa dahsyat, sehingga  kemudian  14 Agustus Jepang menyerah kalah kepada sekutu.


Inggris yang menjadi bagian dari pasukan sekutu mendarat di Surabaya dengan tugas melucuti tentara Jepang. Dibalik itu ternyata pasukan Belanda juga turut serta. Karena mereka bagian dari pasukan sekutu. 


Taktik muslihat itu dibaca oleh para kyai sebagai ancaman. Karena itu pada tanggal 21 Oktober 1945  PBNU mengundang semua konsul yang berada di Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya. Pada acara itu Rois Akbar K.H. Hasyim Asy’ari menyampaikan pidato tentang pokok-pokok kewajiban umat Islam dalam jihad mempertahankan negara dan bangsanya.


Isi pidato itulah yang kemudian diputuskan menjadi resolusi jihad. Isinya ada lima point yaitu:


a. Kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 wajib untuk dipertahankan.


b. Republik Indonesia sebagi satu-satunya pemerintah wajib dibela dan dipertahankan.


c. Musuh Nagera Republik Indonesia terutama Belanda yang datang kembali dengan membonceng tentara sekutu Inggris dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang tentu akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia.


d. Umat Islam terutama warga Nahdhatul Ulama  wajib mengangkat senjata  melawan penjajah Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia.


e. Kewajiban itu adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban orang Islam (fardhu ain) yang berada pada radius 94 km (jarak  di mana umat Islam dipekenankan untuk melakukan sembayahyang jama’ dan qashar). Adapun mereka yang berada di luar radius 94 km berkewajiban membantu saudara-saudaranya  yang berada pada radius  94 km tersebut.  

  

Pertempuran pada tanggal 10 november di Surabaya tidak lepas dari resolusi ini. Lebih  dari 100 ribu laskar santri turut bertempur melawan sekutu yang bersenjata lengkap dan modern. Pertempuran itu dimenangkan oleh arek-arek Surabaya. Tempat-tempat strategis yang sebelumnya dikuasai sekutu direbut oleh laskar.


Korbannya  memang luara biasa. Dari pihak Indonesia tidak kurang dari 20 ribu gugur, sementara pihak sekutu ada 1600 tentara tewas, termasuk  panglimanya jenderal Mallaby.


Dampak politiknya, pihak sekutu dan Belanda tidak lagi menganggap remeh Indonesia. Di luar negeri mereka mendapat tekanan untuk tidak terus  menyerang Indonesia. Pertempuran ini juga menjadi pelajaran bagi wilayah lain di Indonesia, bahwa perlawanan harus dilakukan karena Belanda kembali datang untuk misi penjajahan. Pendaratan pasukan sekutu itu bukan hanya di Surabaya akan tetapi juga di Aceh dan Jakarta.


2. Jenderal Sudirman


Prediksi para kyai benar adanya. Belanda ingin menjajah kembali Indonesia.  Tentaranya yang berada di Indonesia sudah mencapai 100 ribu lebih. Dengan kekuatan  sebesar itu dilanggarnya perjanjian Linggar Jati dengan melakukan agresi militer pertama.


Indonesia merapat ke PBB lewat India dan Australia, karena saat itu Indonesia belum menjadi anggota PBB. Maka keluarlah resolusi PBB yang menekan Belanda agar menghentikan operasi militernya. Lalu diadakan perjanjian Renvill, di mana daerah yang diakui Belanda itu hanya Sumatra, Yogyakarta dan Jawa Tengah. Karena itu Ibukota pindah dari Jakarta ke Yogyakarta.


Ternyata Belanda kembali melakukan agresi militer. Kali ini yang diserang ibu kota  Yogyakarta. Semua pejabat politik ditangkap, Sukarno, Hatta dan para menteri diasingkan. Ada yang dibuang ke Bangka, ada yang ke Medan ada pula yang di Bengkulu. 


Secara politik  Indonesia  sudah habis. Tetapi secara militer masih eksis. Sang panglima, yaitu Jenderal Sudirman tidak ikut menyerah. Bersama pasukannya melakukan gerilya. Padahal saat itu  ia sedang sakit keras. Paru-parunya bermasalah. Dokter bilang pak Dirman kena TBC.


Menyusuri pulau Jawa bagian selatan. Mulai dari Yogyakarta – Bantul – Gunung Kidul – Wonogiri – Ponorogo –Trenggalek – Tulung Agung – Kediri. Kemudian putar balik ke barat dan berakhir di Sobo, Kabupaten Pacitan. Perjalanan panjang itu dimulai tanggal 19 Desember 1948 hingga  1 April 1949. Di tempat ini beliau tinggal selama tiga bulan. Sobo menjadi markas militer sementara sampai anggal 7 Juli 1949.


Firasat Jenderal Sudirman itu sangat kuat. Ia selalu lolos dari sergapan musuh. Mengetahui akan datangnya lawan. Juga paham di mana akan dihadang. Maka sering kali, jalur yang sudah direncanakan berubah arah. Atau rencana bermalam di desa A tiba-tiba berganti ke B. 


Menurut Muhammad Teguh Sudirman, salah satu putra sang jenderal. Kuatnya firasat bapak karena ia dekat kepada Allah. Beliau selalu dalam keadaan suci. Apabila batal wudhu langsung memperbaharui. Bahkan selama gerilya ada satu orang yang bertugas membawa kendi. Tempat air dari tanah yang biasa untuk minum. Air kendi itu dipakai panglima untuk berwudhu di setiap kali batal wudhunya. 


Mungkin pak Dirman belajar dari perilaku Bilal bin Rabah ini.

 Dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw berkata kepada Bilal ketika akan sholat subuh. “Wahai bilal, ceritakan kepadaku amal yang kau tangguhkan untuk kamu kerjakan dalam Islam. Karena aku mendengar (dalam mimpi) trompahmu mendahuluiku di surga ?”. Bilal menjawab, “Aku tidak pernah menangguhkan amal, hanya saja aku selalu berwudhu baik di malam atau siang hari. Lalu aku sholat  yang diwajibkan dengan wudhu tersebut”. (HR. Bukhari)   


Pak Dirman dilindungi  Allah karena beliau dekat kepada sang Khaliq. Kata Teguh. Pada musium Jenderal Sudirman di Yogyakarta. Ada ruangan khusus yang biasa untuk sholat panglima tersebut. Juga sajadah dan alat sholat yang pernah beliau kenakan. 

Iman mantab di hati pak Dirman. Sehingga petunjuk Allah selalu menyertainya. Sebagaimana Sabda Nabi.


Dari Abi Said Al Khuzri ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “Hati-hatilah firasat orang mukmin karena ia melihat dengan cahaya Allah. Kemudian beliau membaca ayat 74 surat Al hijr. Sesungguhnya  yang demikian itu menjadi tanda-tanda bagi orang yang punya firasat”. (HR. Tirmizi)


Petinggi tentara ini orang sholih. Begitu tulis banyak sejarawan. Beliau  memang aktifis Islam. Sebelum masuk tentara PETA. Masa  kecil ngaji al quran pada KH. Qahar. Ketika ikut pamannya di Cilacap, ia mendalami agama kepada Kyai Saidun dan Moh. Kholil Marto Saputro, seorang da’i Muhamadiyah. Kemudian masa remaja disibukkan menjadi pegiat Hizbul Wathan. Kepanduan yang ada di bawah Muhammadiyah.  Bahkan akhirnya menjadi guru dan kepala Sekolah Muhammadiyah. Beliau memang santri tulen.


“Hijrah” adalah kata yang dipilih Jenderal Sudirman saat mematuhi perjanjian Renvill. Perjanjian antara Indonesia dengan Belanda ini isinya. Bahwa Belanda hanya mengakui wilayah RI itu Yogyakarta, Jawa Tengah dan sebagian Sumatra. Karena itu tentara Indonesia harus keluar dari wilayah yang dikuasai Belanda.


Sang jenderal tidak memilih kata eksodus, pindah atau migrasi. Untuk memobilisasi tentara dari Jawa Barat menuju Yogyakarta dan Jawa Tengah. Tetapi “hijrah”. Karena beliau mengikuti sunnah Rasulullah saw. Hijrah itu bukan hanya pindah. Tetapi hijrah adalah panggilan ilahi untuk kemenangan di kemudian hari.


3. M. Natsir


Agresi militer kedua ini semakin menyemangati para pemimpin Indonesia melakukan diplomasi di tingkat PBB. Karena itu akhirnya diadakan  KMB (Komisi Meja Bundar). Di mana pesertanya adalah wakil Indonesia, wakil negara-negara bentukan Belanda dan kerajaan Belanda.


 Pada perundingan ini akhirnya Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia tetapi bentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) bukan NKRI.  Ada 15 negara bagian bentukan Belanda yang menjadi bagian dari RIS. Di samping itu Irian Barat tidak termasuk bagian RIS.


Bagi kita yang tidak pernah mengalami sejarah itu, tata negara RIS itu lucu. Bayangkan, Republik Indonesia itu wilayahnya hanya sebagian Sumatra, sebagian jawa tengah dan Yogyakarta dengan ibu kota Yogyakarta. Sukarno itu presiden RIS bukan presiden Republik Indonesia dengan ibu kota Jakarta. Negara-negara bagian yang tergabung ke dalam RIS di antaranya adalah:


- Negara Republik Indonesia

- Negara Indonesia Timur

- Negara Pasundan termasuk distrik Jakarta

- Negara Jawa Timur

- Negara Madura

- Negara Sumtara Timur

- Negara Sumtra Selatan 

- Daerah Istimewa Kalbar

- Daerah Dayak Besar

- Daerah Banjar

- Federasi Kalimantan Tenggara

- Negara Kalimantan Timur

- Daerah Bangka

- Daerah Belitung

- Daerah Riau


M. Natsir risau dengan fakta politik tersebut. Sebagai anggota parlemen dari partai Masyumi ia keliling ke negara-negara RIS. Melakukan lobi agar negara-negara bagian itu merelakan diri menjadi Republik Indonesia. Lobi-lobi politik itu juga ia lakukan kepada para ketua partai, seperti IJ Kasimo dari parta Katolik dan AM Tambunan dari Parta Kristen.


Hasilnya luar biasa. Pada tanggal 3 April 1950 Natsir berpidato di gedung parlemen. Mengusulkan agar Republik Indonesia Serikat dibubarkan dan kembali kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Usulan itu disetujui secara bulat oleh parlemen.


Sebagai tindak lanjut dari keputusan parlemen itu pada upacara memperingati hari kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1950. Presiden Sukarno mengumumkan bahwa Indonesia kembali kepada NKRI. Bahkan beliau katakan, momentum itu  adalah proklamasi NKRI yang kedua, setelah 5 tahun sebelumnya ia proklamasikan di pegangsaan timur. 


Karena itu seandainya  ada hari NKRI, maka tanggal 3 April mungkin paling cocok untuk memperingati. Hari saat seorang santri dari Persatuan Islam mengusulkan kembalinya Indonesia kepada bentuk yang asli yaitu NKRI.


Santri-santri itu ikhlas dalam memperjungkan NKRI. Biamwalihim wa anfusihim. Semoga Allah meridhoi derma bakti mereka dan menempatkan di surga jannautnna’im. 


Selamat hari santri

Thursday, October 20, 2022

Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa

 

Sumber : internet

Dalam rentang waktu Mei 1953-September 1954, Clifford Geertz  melakukuan  studi penelitian di daerah Mojokuto, Jawa Timur. Hasil penelitian tersebut selanjutnya diterbitkan menjadi buku berjudul  Agama Jawa : Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa.

Meski penelitian tersebut hanya dilakukan di Mojokuto yang secara prosentase hanya 0,005 persen dari penduduk jawa, namun buku tersebut bisa dikatakan akhirnya menjadi rujukan dalam memotret masyarakat jawa, bahkan Indonesia pada umumnya.

Karya ini mencakup berbagai dimensi yaitu antropologi dan sosiologi, serta menggambarkan bagaimana hubungan antara agama dan perilaku politik di Jawa pada waktu itu.

Pada bagian pendahuluan buku ini, dijelaskan mengenai deskripsi geografis dan demografis daerah Mojokuto yang menjadi tempat dimana penelitian ini dilangsungkan. Wilayah ini merupakan wilayah yang kompleks, memiliki populasi penduduk sekitar 20.000 orang, terdiri dari 18.000 orang Jawa, 1.800 orang china dan selebihnya terdiri atas etnis Arab, India dan minoritas lainnya.

Kemudian Geertz mengemukakan urgensi dari tiga struktur sosial di Jawa yaitu desa, pasa dan birokrasi pemerintahan.

Studi ini sebenarnya tidak membahas agama di Jawa, akan tetapi mengenai agama di Mojokuto yang meliputi kurang lebih dari 0,05% dari seluruh penduduk Jawa. Meski sebetulnya tidak membahas mengenai definisi agama, namun karena judul yang diberikan oleh Geertz dalam bukunya sehingga dipahami dan dikaitkan dengan kehidupan dalam umat islam.

Varian Agama dalam Studi Clifford Geertz

Geertz membagi agama (orang) jawa kedalam tiga varian, yaitu 1) Varian abangan, yang menekankan aspek-aspek animisme sinkretisme Jawa secara keseluruhan dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur petani desa penduduk. 2) Varian santri, yang menekankan aspek-aspek islam sinkretisme itu dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur pedagang (dan juga unsur-unsur tertentu pada kaum tani). Dan 3) Varian priyayi, yang menekankan aspek-aspek Hindu dan diasosiasikan dengan unsur birokrasi. (Geertz 1960: 6)

Varian Agama Abangan

Tradisi agama abangan yang pada pokoknya terdiri dari pesta ritual yang dinamakan selamatan, satu kompleks kepercayaan yang luas dan rumit tentang roh-roh, dan seperangkat teori dan praktek penyembuhan, ilmu tenung, dan ilmu gaib diasosiasikan dengan cara yang luas dan umum dengan desa Jawa (Geertz 1960: 5)

Varian abangan menurut Geertz adalah masyarakat kaum tani di Jawa. Yang abangan itu adalah kaum tani Jawa. Agama abangan menggambarkan sintesa petani antara hal-hal yang berasal dari kota dan warisan kesukuan, satu sinkretisme sisa-sisa lama dari sejumlah sumber yang tersusun menjadi satu konglomerat untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang berjiwa sederhana. Yang menanam padi di teras-teras yang diairi (Geertz 1960: 229).

 

Varian Agama Santri

Deskripsi yang terperinci mengenai varian santri menurut Geertz adalah: Ia dimanifestasikan dalam pelaksanaan yang cermat dan teratur, ritual-ritual pokok agama Islam, seperti kewajiban shalat lima kali sehari, shalat Jumat di masjid, berpuasa selama bulan ramadhan, dan menunaikan haji ke Mekah. Ia dimanifestasikan dalam satu kompleks organisasi-organsisasi sosial, amal, dan politik seperti Muhammadiyah, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama. Nilai-nilainya bersifat antibirokratik, bebas dan egaliter. Orang-orang santri sendiri hidup berkelompok-kelompok, sekarang hal itu sudah berkurang dibandingkan dengan sebelum perang, namun masih tampak juga pengelompokan-pengelompokan mereka. Dan akhirnya ketaatan melakukan ibadah shalatlah yang pada tingkat tertentu merupakan ukuran santri. Priyayi dan abangan hampir tidak pernah melakukannya. (Geertz 1960: 215)

Varian santri ini dimanifestasikan sebagai pedagang. Di desa terdapat unsur santri yang kuat, yang seringkali dipimpin oleh petani-petani kaya yang telah naik haji ke Mekah dan setelah kembali mendirikan pesantren-pesantren (Geertz 1960: 5) Kemudian, menurut geertz untuk santri di kota diidentifikasikan sebagai pedagang atau tukang, terutama penjahit (Geertz 1960: 222)

Varian Agama Priyai

Geertz berasumsi bahwa kaum priyayi kaum elit yang sah memanifestasikan satu tradisi agama yang disebut sebagai varian agama priyai dari sistem keagamaan pada umumnya di Jawa. Geertz melukiskan mereka sebagai satu golongan pegawai birokrasi yang menurut tempat tinggal mereka, merupakan penduduk kota. Mereka memiliki gelar-gelar kehormatan yang merupakan bagian dari birokrasi aristokrasi kraton.

Kaitannya dengan “trikotomi” yang dibuat Geertz, tentunya bukan Geertz yang menemukan istilah santri, abangan, dan priyayi dalam The Religion of Java, karena istilah-istilah itu sendiri sudah dipakai di kalangan yang lebih terbatas. Namun, harus diakui Geertz-lah yang pertama kali mensistematisasi istilah-istilah itu sebagai perwakilan kelompok-kelompok kultural yang penting.

Sebagai sebuah konsepsi, harus diakui  bahwa trikotomi Geertz ini adalah sebuah sumbangan yang luar biasa bagi masyarakat Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya karena mampu memberikan semacam “peta budaya” yang selanjutnya dapat digunakan untuk menganalisa bagaimana pola hubungan antara agama dengan politik, relasi agama-sosial, serta agama-ekonomi. Namun demikian, tesis “trikotomisasi” Geertz tampak sekali membuka peluang untuk diperdebatkan. Hal ini terbukti dengan “keberhasilan” teori Geertz itu dalam memantik berbagai reaksi, baik yang pro maupun yang kontra. Di antara yang menolak konsepsi Geertz adalah Harsja W. Bachtiar, ahli sejarah sosial, yang mencoba mengkontraskan konsepsi Geertz dengan realitas sosial.

Di antara konsepsi yang ditolaknya adalah mengenai pencampuran istilah priyayi (yang merupakan kategori kelas) dengan istilah santri dan abangan (kategori keagamaan. Abangan adalah lawan dari mutihan, sebagai kategori ketaatan beragama dan bukan klasifikasi sosial. Demikian pula konsep priyayi juga berlawanan dengan wong cilik dalam penggolongan sosial. Jadi, terdapat kekacauan dalam penggolongan abangan, santri dan priyayi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa salah satu kelemahan tulisan Geertz ini adalah terdapatnya ketidakparalelan dalam susunan kategorisasi.

Di satu sisi terdapat strata “ekonomi” untuk menggambarkan priyayi, sementara di sisi lain terdapat kategori “religi” ketika dia menggambarkan santri dan abangan. Hal ini berarti Geertz telah mengacaukan dua pembagian yang termasuk susunan yang berlainan, serta mencampuradukkan pembagian horisontal dan vertikal dalam masyarakat Jawa karena pada kenyataannya terdapat priyayi yang abangan atau priyayi yang santri.

Terlepas dari berbagai kritik terhadap teori Geertz, tampaknya kita patut memberikan penghargaan kepadanya atas pandangannya mengenai tipologi masyarakat Indonesia (Jawa). Lewat buah pengamatan Geertz yang dituangkan dalam buku The Religion of Java ini keberadaan abangan, santri, dan priyayi di masyarakat Jawa dikenal luas. Dan dari laporan Geertz ini pula,  kita “dikejutkan” dengan sebuah kenyataan bahwa muslim “Mojokuto” (Indonesia?) walaupun mayoritas tetapi masih abangan, di mana hanya lapisan atasnya saja yang Islam, sementara di lapisan bawahnya kejawen.

Lebih dari itu semua, Geertz telah memberikan kontribusi pemikiran yang sangat besar terhadap ilmu-ilmu sosial di Indonesia dan dunia, khususnya antropologi dan sosiologi, karena keberaniannya melawan suatu tradisi besar di dalam ilmu sosial, yaitu tradisi positivisme yang sarat dengan pendekatan kuantitatif. Seandainya Geertz dan pendekatan Antropologi Interpretif tak ada, mungkin kita akan tetap membaca buku-buku teks antropologi dan sosiologi yang memperlakukan budaya sebagai suatu gejala universal dengan narasi besar tanpa melihat bagaimana secara kontekstual dan secara historis kultur-kultur lokal itu “dibangun.”

Disarikan dari tulisan Adi Cahyaning Kristiyanto. Semoga barokah dan bermanfaat