Thursday, September 21, 2017

R. Agung Nugraha : Hukum Kewarisan dalam Islam
Gambar terkait


I.                    Masalah waris adalah salah satu syariat Islam yang telah diatur secara rinci didalam Islam. Berikut ini kajian singkat terkait hukum waris.
Dasar-dasar hukum waris
Al-Baqarah [2] : 180-182

كُتِبَ عَلَيْكُمْ اِذَا حَضَرَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ اِنْ تَرَكَ خَيْرًاۖ ۨالْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَۗ

“Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa”. (Qs. Al-Baqarah[2] : 180)

فَمَنْۢ بَدَّلَهٗ بَعْدَ مَا سَمِعَهٗ فَاِنَّمَآ اِثْمُهٗ عَلَى الَّذِيْنَ يُبَدِّلُوْنَهٗۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌۗ

“Barang siapa mengubahnya (wasiat itu), setelah mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya hanya bagi orang yang mengubahnya. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui”. (Al-Baqarah[2] : 181)

فَمَنْ خَافَ مِنْ مُّوْصٍ جَنَفًا اَوْ اِثْمًا فَاَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Tetapi barang siapa khawatir bahwa pemberi wasiat (berlaku) berat sebelah atau berbuat salah, lalu dia mendamaikan antara mereka, maka dia tidak berdosa. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (Al-Baqarah[2] : 182)

Qs. An-Nisa [4] :7 - 14

لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَۖ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ اَوْ كَثُرَۗ نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًا

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (An-Nisa'[4] : 7)

وَاِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ اُولُوا الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنُ فَارْزُقُوْهُمْ مِّنْهُ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوْفًا

“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”. (An-Nisa'[4] : 8)

وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا

“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar”. (An-Nisa'[4] : 9)

اِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ الْيَتٰمٰى ظُلْمًا اِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًاۗ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”. (An-Nisa'[4] : 10)

يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۚ فَاِنْ كُنَّ نِسَاۤءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَۚ وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُۗ وَلِاَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ اِنْ كَانَ لَهٗ وَلَدٌۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهٗ وَلَدٌ وَّوَرِثَهٗٓ اَبَوٰهُ فَلِاُمِّهِ الثُّلُثُۚ فَاِنْ كَانَ لَهٗٓ اِخْوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْ بِهَآ اَوْ دَيْنٍۗ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْۚ لَا تَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًاۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana”. (An-Nisa'[4] : 11)

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ اَزْوَاجُكُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهُنَّ وَلَدٌۚ فَاِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍۗ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدٌۚ فَاِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِّنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوْصُوْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍۗ وَاِنْ كَانَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ كَلٰلَةً اَوِ امْرَاَةٌ وَّلَهٗٓ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُۚ فَاِنْ كَانُوْٓا اَكْثَرَ مِنْ ذٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاۤءُ فِى الثُّلُثِ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصٰى بِهَآ اَوْ دَيْنٍۙ غَيْرَ مُضَاۤرٍّۚ وَصِيَّةً مِّنَ اللّٰهِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَلِيْمٌۗ

“Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun’. (An-Nisa'[4] : 12)

تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِۗ وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ يُدْخِلْهُ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ وَذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ

“Itulah batas-batas (hukum) Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang agung”. (An-Nisa'[4] : 13)

وَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَتَعَدَّ حُدُوْدَهٗ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيْهَاۖ وَلَهٗ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ

“Dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar batas-batas hukum-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat azab yang menghinakan”. (An-Nisa'[4] : 14)

II.                   PENGERTIAN
1.       Hukum kewarisan adalah hokum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
2.       Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal atau dinyatakan meninggal berdasar putusan pengadian, beragama islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
3.       Ahli waris adalah orang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak berhalangan karena hokum untuk menjadi ahli waris.
4.       Harta peninggalan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
5.       Wasiat adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain atau lembaga setelah pewaris meninggal dunia.
6.       Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain atau lembaga yang hasih hidup untuk dimiliki.
7.       Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari dari orang tua asal kepada orang tua angkat berdasarkan putusan pengadilan.
8.       Harta Warisan adalah harta pewaris dikurang biaya-biaya, pembayaran hutang, hibah/wasiat untuk kemudian dibagi kepada ahli waris.
9.       Baitul Maal adalah Balai Harta Keagamaan.


III.                 AHLI WARIS DAN BAGIANNYA


V.                PERKEMBANGAN / IJTIHAD
1.       Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannya, maka baginya diangkat wali berdasarkan putusan hakim atas usul anggota keluarga. (pasal 184)
2.       Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173 KHI. B. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian dari ahli waris yang sederajat dengan yang diganti (pasal 185)
3.       Bagi pewaris yang beristri lebih dari seorang, maka masing-masing istri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumahtangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak pasa ahli waris. (Pasal 190 KHI)
4.       Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada tidak adanya, maka harta tersebut atas putusan pengadilan agama diserahkan penguasaannya kepada baitul mal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum. (Pasal 191 KHI)

Contoh lembar konsultasi waris untuk memetakan siapa saja ahli waris yang berhak dan yang tidak berhak mendapatkan waris :













[1] Disampaikan pada Pengajian Sabtu Pagi Pesantren Ar Rohmah, Krapyak Godean Sleman
[2] Kepala KUA Kecamatan Kalasan; Ketua Pusat Kajian Islam & Kemasyarakatan DARUL FIKRI 
Ikrar harian seorang muslim

R. Agung Nugraha, S.Ag. MA 

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ حَدَّثَنَا مِسْعَرٌ حَدَّثَنَا أَبُو عَقِيلٍ عَنْ سَابِقٍ عَنْ أَبِي سَلَّامٍ خَادِمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ أَوْ إِنْسَانٍ أَوْ عَبْدٍ يَقُولُ حِينَ يُمْسِي وَحِينَ يُصْبِحُ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُرْضِيَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Nabi bersabda : Apabila seorang hamba muslim setiap sore dan pagi hari selalu mengucapkan ikrar; aku ridha Allah tuhanku, Islam agamaku dan Muhammad adalah (nabi dan) rasul Allah, maka adalah menjadi hak Allah untuk meridhai orang tersebut pada hari kiamat.( HR. Ibnu Majah; hadits no. 3860)

Bagi seorang muslim tentu ikrar atau pengakuan akan 1) kekuasaan Allah, 2) kebenaran Islam sebagai agama dan 3) pengakuan bahwa Muhammad bin Abdullah adalah Nabi dan utusan Allah, merupakan sesuatu ikrar/pengakuan yang pasti telah diucapkan. Setidaknya tiga hal tersebut terangkum ketika mengucapkan dua kalimat syahadat, Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadan rasulullah.
Tetapi apabila kita pahami lebih jauh dari pernyataan hadits di atas, maka setidaknya ada dua hal yang perlu kita introspeksi pada diri kita; yaitu sudahkah hal itu kita ikrarkan setiap hari ? dan sudahkan maknanya kita pahami dengan benar untuk pada akhirnya sejauhmana ketiga ikrar tersebut telah kita implementasikan ?

Ikrar Lisan
Meski secara teks hadits tersebut menerangkan ‘kepastian’ ridha Allah dan balasan surga bagi orang yang senantiasa melafalkannya ketika pagi maupun petang, namun bila lebih jauh diselami, maka batasan pagi dan petang bukanlah harga mati. Artinya semakin sering hal tersebut diucapkan, maka semakin besar pula peluang untuk mendapatkan ridha dan surga Allah. Dengan demikian keterangan pagi dan petang pada dasarnya lebih menunjukkan pentingnya rutinitas kita melafalkan tiga ikrar tersebut, bukan batasan yang sangat ketat terhadap waktu melafalkannya.
Oleh karena itu ikrar ini baik juga untuk diucapkan disemua waktu, baik ketika berdo’a sesudah shalat lima waktu, ataupun ketika akan memulai segala macam aktifitas seperti kegiatan pertemuan, pengajian dan lain sebagainya.

Makna, hakikat dan implementasi Ikrar
Dari ketiga ikrar hariann tersebut, dapat kita uraian makna, hakekat dan implementasinya didalam kehidupan keseharian kita sbb. :

1.      Radhitu billahi rabba
Secara tekstual ikrar ini berarti ‘aku ridha bahwa Allah yang (maha) menguasai’. Ikrar pertama ini berisi pengakuan akan kekuasaan Allah. Bahwa Allahlah yang menguasai seluruh alam raya (rabbul ‘alamin). Dengan demikian orang yang telah mengucapkan/ berikrar dengan ungkapan tersebut, secara sadar ia telah memposisikan diri sebagai seorang hamba yang berada didalam kekuasaan Allah. Konsekwensinya tentu ia akan senantiasa taat dan patuh hanya kepada ‘tuan’ yang menguasai dirinya, yaitu Allah.
Oleh karena itu, yang perlu selalu dilakukan oleh seorang muslim dalam kehidupan sehari-harinya ialah ia tidak hanya secara lisan selalu mengucapkan kalimat ‘aku ridha bahwa Allah yang (maha) menguasai”, namun lebih dari itu ia harus mewujudkan pernyataan tersebut kedalam seluruh aspek kehidupannya hanya tunduk dan patuh kepada Allah swt.  
Pernyataan ini merupakan aspek aqidah, yaitu meniadakan tuhan selain Allah sekaligus menetapkan bahwa Allahlah satu-satunya tuhan yang haq disembah dan diibadahi.
Ketika mengucapkan ikrar ini, semestinya secara sadar umat Islam mengakui bahwa Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang, penguasa alam raya dan hari pembalasan, akan beribadah dan meminta hanya kepada Allah, mohon petunjuk, bimbingan dan pertolongan hanya kepada Allah sebagaimana isi Surat Al Fatikhah ayat 3-6.

2.      Wa bil islami diina
Dari sisi bahasa, ikrar ini berarti ‘aku ridha bahwa islam adalah agama (yang benar dan patut diikuti)’.
Karena kepercayaan akan ketuhanan Allah menuntut adanya penyembahan (peribadatan kepada-Nya), maka dengan mengucapkan ikrar itu, artinya seorang hamba yang telah memposisikan diri sebagai hamba yang ada didalam genggaman kekuasaan Allah yang akan menjadikan semua ajaran dan tuntunan Allah yang berupa syariat islam sebagai satu-satunya jalan hidup bagi dirinya. Konsekwensinya, dari sisi aqidah, ia harus memantapkan diri dalam ber-Islam (inna ad-dinna ‘inda allahi al islam) dan tidak akan berpaling terhadap ‘tawaran’ agama selain Islam. Kemudian secara hakiki, orang yang telah mengikrarkan kalimat ini tentu hanya akan berhukum hanya kepada hukum Allah yang berupa syariat Islam tersebut.
Hal ini merupakan implementasi dari aspek aqidah sekaligus juga aspek ibadah, bahwa keyakinan dan cara beribadah yang akan diikuti ialah keyakinan dan cara Islam.

3.      wa bimuhammad rasula
Ikrar ini berarti ‘aku ridha bahwa Muhammad (bin Abdullah) adalah Rasul (yang akan senantiasa diikuti)’. Dengan demikian, ikrar ini menunjukkan keinginan hamba Allah untuk melaksanakan ketaatannya kepada Allah melalui cara mengikuti dan melaksanakan syariat Islam yang dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Pernyataan ini juga mencakup pengakuan akan syariat nabi/rasul terdahulu. Dari Sisi Aqidah, sejak nabi Adam sampai Nabi Muhammad adalah sama, yaitu pengesaan Allah (tauhid); dari sisi Syari’at, yang diajarkan oleh Nabi Adam sampai Nabi Muhammad  juga sama, yaitu syariat Islam. Yang kemudian tersimpul dari ikrar ketiga ialah keinginan dan kemauan kuat umat Islam untuk mengikuti ajaran dan tuntunan Islam yang dibawa dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Ikrar ini juga lebih menekankan tentang pentingnya kita umat Muhammad, untuk berkakhlaq dengan Akhlaq Nabi Muhammad. Sedangkan Akhlaq Nabi Muhammad tidak lain adalah al Qur’an. Dengan demikian, implementasi dari ikrar ini semestinya ialah bagaimana seluruh umat Islam berusaha untuk selalu mengamalkan Al Qur’an sebagai perilaku hidup keseharian.

Demikianlah, betapa tiga ikrar yang sederhana dan ringkas ini pada dasarnya mengandung makna yang sangat dalam. Akhirnya, kalaupun ketiga ikrar ini telah biasa bahkan sering kita ucapkan dalam keseharian hidup kita, namun usaha yang terus menerus untuk mewujudkan isi dari ikrar tersebut merupakan langkah yang tidak mudah dan memerlukan kesungguhan dari kita semua. Dengan demikian, tidak akan lagi terjadi kita berikrar bertuhan kepada Allah tetapi masih memertuhankan yang lain, beragama Islam tetapi juga melirik keyakinan lain, atau mengaku umat Muhammad tetapi tidak selaras dan sejalan dengan yang dituntunkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad.
Kita memohon kepada Allah, agar diberikan kekuatan kepada kita untuk memenuhi ketiga ikrar tersebut. Semoga….



Agung Nugraha : Menggapai Haji Mabrur
Hasil gambar untuk gambar thawaf
Simbul mencium hajar aswad,
dengan melambaikan tangan di sudut hajar aswad




وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

Dan berserulah kepada manusia untuk menunaikan ibadah haji, niscaya mereka akan dating memenuhi seruanmu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang dating dari segenap penjuru yang jauh (Al Hajj (22) : 27)

Semua orang yang akan dan telah melaksanakan ibadah haji tentu sangat berharap agar memperoleh haji yang mabrur. Penyebutan Istilah haji mabrur ini sekaligus merupakan petunjuk bahwa tidak semua orang yang melaksanakan haji dapat mencapai haji mabrur. Oleh karena itu, Rasulullah SAW sebagai pembawa risalah Islamiah telah menjadi sumber rujukan utama dalam bagaimana melaksanakan ajaran Islam secara sempurna. Ibadah haji merupakan sesuatu yang principil dari ajaran Islam sehingga ia menjadi salah satu dari rukun Islam. Terhadap hal demikian tentu tentu Rasulullah SAW, telah memberikan petunjuk tentang bagaimana melaksanakan ibadah haji secara baik sehingga pada akhirnya haji tersebut sampai kepada derajat mabrur.
Bagaimana petunjuk Rasulullah SAW tersebut? Inilah yang akan menjadi titik sentral uraian pembahasan tulisan berikut dengan terlebih dahulu memberikan pengertian tentang definisi haji mabrur tersebut.

Pengertian Haji Mabrur
Salah seorang ulama hadits Al hafidz Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab fathul Bari, Syarah Bukhari Muslim, mendefinisikan bahwa “Haji mabrur adalah haji yang maqbul yakni haji yang diterima oleh Allah SWT. Pendapat lain yang saling menguatkan dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam syarah muslim, bahwa : “Haji mabrur itu adalah haji yang tidak dikotori oleh dosa, atau haji yang diterima Allah SWT, yang tidak ada riya’, tidak ada sum’ah, tidak rofats dan tidak fusuq”. Selanjutnya Abu Bakar Jabir al Jazari dalam kitab Minhajul Muslimin mengungkapkan bahwa : “Haji mabrur itu ialah haji yang bersih dari segala dosa, penuh dengan amal shaleh dan kebajikan-kebajikan”.
Berdasarkan rumusan-rumusan yang diberikan oleh para ulama tersebut, dapat kita simpulkan bahwa haji mabrur adalah haji yang dapat disempurnakan segala hukum-hukum berdasarkan perintah Allah dan Rasulullah SAW,  sebuah predikat haji yang tidak mendatangkan perasaan riya’, bersih dari dosa,  senantiasa dibarengi dengan peningkatan amal shaleh, tidak ingin disanjung dan tidak melakukan perbuatan keji dan merusak.

Petunjuk Rasul dalam menggapai Haji Mabrur
Pada Hakekatnya hanya Allah yang mengetahui dan menentukan apakah haji yang telah ditunaikan oleh seseorang itu diterima atau tidak, meskipun demikian melalui penjelasan yang bersumber dari Rasululah SAW,  setidaknya kita dapat melakukan instrosteksi diri/mengukur diri seraya berharap kepada Allah agar haji yang kita tunaikan menjadi mabrur.
Diantara petunjuk untuk menggapai haji mabrur dari beberapa hadits Rasulullah, diantaranya :
  1. Niat Ikhlas karena Allah SWt.
Dalam Islam, niat menempati kedudukan sentral dan menempati posisi yang sangat penting, bahkan niat menjadi penentu atas nilai sebuah ibadah yang kita tunaikan. Begitu juga halnya dengan pelaksanaan ibadah yang memerlukan kesanggupan materiil dan spirituil ini.
Penegasan dan pelurusan niat yang benar-benar harus ditujukan dalam rangka mencapai  ridha Allah SWT secara eksplisit dijelaskan dalam firman-Nya :

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Dan tidaklah mereka disuruh kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (Al Bayyinah (98) : 5)

Hal ini diperkuat lagi oleh Rasulullah dalam sabdanya,

انما الاعمال بالنيات و انما لكل امرئ ما نوي

artinya :” Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung dari niatnya dan masing-masing mendapat pahala dari niatnya itu”.

Oleh karena itu, haji harus benar-benar diniatkan karena Allah SWT. Terlebih haji ini sangat dekat dengan perasaan riya’ dan sum’ah, mengingat tidak semua orang dapat menunaikan ibadah ini sebagaimana ibadah yang lain. Tidak sedikit orang yang menunaikan ibadah haji karena ingin memperoleh predikat “Haji” untuk memperkuat status sosial, khususnya untuk mendapatkan legitimasi sosial dari masyarakat.

  1. Sumber biaya yang halal

Segala biaya dan nafkah yang digunakan untuk menunaikan ibadah haji haruslah benar-benar bersumber dari yang halal. Hakekat yang ingin kita capai dari pelaksanaan ibadah haji adalah ingin menyempurnakan sesuatu yang prinsipil terhadap keberislaman kita, sehingga kita termasuk orang-orang yang dekat kepadanya. Oleh karena itu, apa artinya kita menunaikan ibadah haji haji, jika ternyata tidak dapat lebih mendekatkan diri kita kepada Allah SWT., karena harta yang kita gunakan tidak bersumber dari harta yang halal. Karena setiap ibadah yang kita tunaikan dengan biaya yang bersumber dari yang haram, tidak akan bernilai disisi Allah SWT. Dengan kata lain ibadah hajinya akan ditolak (ma’zur).
Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah SAW, artinya : “Jika seseorang menunaikan ibadah haji pergi dengan biaya dari harta yang halal dan diucapkannya, labbaika allahumma labbaik (ya Allah, inilah aku datang memenuhi panggilan-MU), maka berkata penyeru dari langit : “Allah menyambut dan menerima kedatanganmu dan semoga kamu berbahagia. Perbekalanmu halal, pengangkutanmu juga halal, maka hajimu mabrur, tidak dicampuri dosa”. Sebaliknya jika ia pergi dengan harta yang haram, dan ia mengucapkan “Labbaik”, maka penyeru dari langit berseru : “Tidak diterima kunjunganmu dan engkau tidak berbahagia. Perbekalanmu haram, pembelanjaanmu juga haram, maka hajimu ma’zur (mendatangkan dosa) atau tidak diterima. (HR. Thabrani).

Berdasarkan hadits Rasulullah dan logika/akal sehat kita sendiri, dapat kita simpulkan bahwa bagaimana mungkin haji kita berkenan disisi Allah SWT, sedangkan biaya pelaksanaannya bersumber dari harta yang tidak diridhai Allah SWT.

  1. Manasik Haji sesuai tuntunan Rasulullah SAW..
Ibadah Haji merupakan ibadah mahdhah dan sudah ditetapkan ketentuan dan tata caranya. Kita  mutlak harus mempedomani kaifiyah dan tata cara manasik yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW. Dengan demikian, manasik haji yang kita lakukan harus benar-benar sesuai dengan manasik haji yang dilakukan oleh Rasulullah SW, sebagaimana sabdanya : “Hendaklah kmu mengambil manasik hajimu dari aku”. (HR. Muslim)
Alangkah baiknya, jika setiap kita yang ingin menunaikan ibadah haji terlebih dahulu mempelajari dengan sebaik-baiknya manasik haji Rasulullah SAW. Karena manasik haji ini sangat menentukan kemabruran haji kita, dan manasik haji yang tepat dan benar adalah manasik hajinya Rasulullah SAW.

  1. Ibadah Haji berbuah perbaikan akhlaq dan tingkah laku.
Ibadah Haji yang telah ditunaiakn harus mampu memperbaiki akhlaq dan tingkah laku. Sesudah menyelesaikan manasik hajinya secara sempurna, mulai berihram di miqat yang telah ditentukan, thawaf mengelilingi ka’bah baitullah, wuquf di Arafah, mabit di muzdalifah. melontar jumroh dan bermalam di Mina, thawaf ifadhah dan akhirnya thawaf wada’ telah dilakukan sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW, maka sekembalinya jama’ah di tanah air semua aktiftas yang telah dilakukan delama ibadah haji harus mampu menjadi sarana untuk memfungsionalisasikan tujuan hidup kita agar kembali ke fitrah yang sebenarnya, yakni menjadi manusia yang memiliki akhlaq yang terpuji.
Kita harus mengingat bahwa tujuan ibadah dalam Islam , tidak terkecuali ibadah haji, adalah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Upaya pendekatan diri ini sekaligus mensucikan jiwa kita menjadi jiwa bersih, sehingga dengan jiwa yang bersih ini melahirkan perilaku dan akhlaq yang mulia. Ibadah haji yang membentuk perilaku akhlaq terpuji dan mulia ini diukur dengan peningkatan amal-amal kebajikan yang kita lakukan, baik terhadap Allah SWt secara vertikal, dan hubungan sesama manusia secara horisontal.

Kesimpulan
Tidak ada satupun diantara kita yang menginkan ibadah yang kita lakukan tidak diterima Allah SWT, tidak terkecuali ibadah haji. Dalam Islam, pelaksanaan ibadah haji merupakan pelaksanaan yang memerlukan kesanggupan yang lebih besar daripada ibadah lainnya, karena disamping ibadah ini merupakan ibadah yang berdimensi spiritualitas tinggi, ia juga  sangat sarat dengan nilai-nilai sejarah dalam tradisi kenabian yang agung.
Keberangkatan yang dilakukan dengan niat yang suci dan ikhlas semata-mata berharap ridha Allah SWT, biaya haji yang mahal yang dikeluarkan dari sumber yang halal, mengikuti manasik haji yang dipraktikkan Rasulullah SAW dan menghiasi dirinya dengan amal-amal shalih dan akhlaqul karimah, akan menjadi sebagian tanda kemabruran haji seseorang, yang balasannya tidak lain adalah surga.

Akhirnya kami ucapkan Sugeng tindak ngantos kondur, mugi dados haji mabrur. Amien…
Memaknai tahun hijriyah dengan penguatan aqidah

R. Agung Nugraha, S.Ag. MA

Salah satu catatan penting dari peringatan peristiwa Hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah ialah komitmen meninggalkan Aqidah (keyakinan) jahiliyah yaitu mempertuhankan berhala Latta, Uzza dan Mannat menuju Aqidah Tauhid, persaksian bahwa tidak ada Tuhan Selain Allah. Ini disebut Hijrah Aqadiyah.
Dalam konteks inilah, penting bagi kita mempertanyakan kembali Aqidah Kita? Sudah berapa lamakah kita bersyahadat? dan sejauh mana implementasi syahadat yang telah kita ucapkan?  suatu pertanyaan yang barangkali jarang kita tujukan untuk diri kita sendiri. Dari pertanyaan ini kita akan mencoba menelusuri kembali keberadaan syahadat kita, seberapa besar pengaruhnya dalam kehidupan kita ?
Ikrar laa ilaaha illahhah tidak akan dapat diwujudkan secara benar jika tanpa petunjuk yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Oleh karena itu ikrar laa ilaaha illallah diikuti dengan ikrar Muhammadan Rasulullah. Dua ikrar itulah yang kita kenal dengan dua kalimat syahadat (syahadatain) yang merupakan pintu gerbang seseorang memasuki agama (al-dien) Allah SWT. Nama Muhammad menjadi sangat urgen karena kedudukannya sebagai Rasulullah, bukan nama Muhammad/Ahmad itu sendiri.
Kata asyhadu secara etimologis berakar dari kata syahada yang mempunyai tiga pengertian: musyahadah (menyaksikan), syahadah (kesaksian), dan half (sumpah). Ketiga pengertian tersebut ada relevansinya yang kuat, seseorang akan bersumpah jika ia memberi kesaksian, dan ia akan berani memberi kesaksian apabila menyaksikan.
Inti dari syahadat yang pertama adalah beribadah hanya kepada Allah SWT, sedangkan yang kedua menjadikan Rasulullah saw sebagai figur sentral keteladanan (uswah hasanah) baik dalam hubungan dengan Allah SWT (hablun minallah), maupun dalam hubungan dengan sesama manusia (hablun minannas).
Ikrar laa ilaaha illallah dan Muhammad Rasulullah bila dipahami secara benar tentu akan memberikan pengaruh yang sangat positif kepada setiap muslim, yang antara lain dapat diukur dari dua sikap yang dilahirkan yaitu cinta (mahabah) dan ridha kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah sesungguhnya yang harus kita wujudkan dan kita rasakan, sebagai jawaban atas pertanyaan di atas.
Seorang Muslim yang telah mengikrarkan dan memahami dua kalimah syahadat dengan benar akan memberikan cinta yang pertama dan utama kepada Allah SWT, kemudian kepada Rasulullah saw, dan jihad fi sabilillah. Dia bisa menempatkan cintanya kepada anak-anak, orang tua, suami/isteri, saudara, harta benda, pekerjaan/jabatan, rumah tinggal dll (yang boleh dicintai) di bawah/setelah cintanya kepada yang pertama dan utama. Yaitu Allah SWT, Rasulullah saw, dan jihad fii sabilillah sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surat At Taubah ayat 24 berikut :

قُلْ إِنْ كَانَ اَبَآؤُكُمْ وَ اَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَ اَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَاَمْوَالُ نِاقْتَرَفْتُمُوُهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَكِنُ تَرْضَوْنَهَآ اَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِّنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهِ فَتَرَبَّصُوْاحَتَّى يَأ تِيَ اللهُ بِاَمْرِهِ وَ اللهُ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الْفَسِقِيْنَ

Katakanlah:”Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri kamu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaanmu yang kamu khuwatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (At-Taubah: 24)

Berdasarkan ayat di atas, Abdullah Nasih Ulwan membagi cinta (al mahaabah) menjadi tiga tingkatan, yakni: 1) Al Mahabatul Ula, yaitu mencintai Allah, Rasul-Nya, dan Jihad fii sabilillah; 2) Al Mahabatul Wustha, yaitu mencintai segala sesuatu yang boleh dicintai oleh Allah     dan Rasul-Nya dengan cara-cara yang diijinkan-Nya, seperti cinta kepada anak, isteri/suami, orang tua, harta, bisnis, dll; dan 3) Al Mahabatul Adhna, yaitu mencintai segala sesuatu yang bolehkan oleh Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada Allah SWT, Rasulullah, dan jihad fii sabilillah.
Kecuali cinta, seorang Muslim yang mengikrarkan dua kalimah syahadat akan memiliki sikap ridha di dalam dirinya. Ridha terhadap Allah dan Rasul-Nya, ridha dengan segaala keputusan-Nya, tanpa ada rasa tidak puas sedikitpun dalam hatinya.
Dalam surat An Nisa (4) ayat 65 Allah SWT menafikkan iman seseorang sebelum ia bertahkim kepada Rasulullah saw (Islam) dan menerima keputusan beliau dengan sepenuh hati, dengan tidak ada rasa penolakkan sedikitpun dalam hatinya.
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْ مِنُوْنَ حَتَّى يُحَكِّيْمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَيَجِدُوْا فِيْ~أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْاتَسْلِيْمًا.
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian merek tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS 4: 65)
Pengaruh dari syahadatain bagi seorang Muslim adalah tiga unsur pokok yang dimiliki manusia, yaitu: akal, hati, dan jasadnya akan mendapatkan shibghah (celupan, identitas) dari Allah SWT.
صِبْغَةَاللهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَه’عَبِدُوْنَ (البقرة:138)
Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah ? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah. (QS 2: 138)
Artinya hati, akal, dan jasad seseorang (Muslim) yang mengikrarkan dua kalimah syahadat akan mendapatkan shibghah (celupan, identitas) dari Allah SWT, sehingga 1) dari hatinya lahirlah keyakinan yang benar (al I’tiqad ash shahih) dan selanjutnya melahirkan niat yang ikhlas; 2) dari akalnya lahirlah pikiran-pikiran yang Islami (al afkar al islamiyah) kemudian muncul system yang Islami; dan 3) dari jasadnya lahirlah amal shalih (al a’mal ash shalihah) sebagai tanfidz (manifestasi) dari keinginan hati dan rancangan akal.
Said Hawa dalam bukunya Al Islam, menyatakan bahwa banyak orang yang salah mengira apabila sudah mengucapkan dua kalimah syahadat, maka tidak ada satu sikap atau perbuatan yang dapat membatalkan keislaman atau membatalkan syahadatnya. Menurutnya, sebenarnya banyak sikap atau perbuatan yang dapat membatalkan syahadat seseorang, antara lain : 1) bertawakal bukan kepada Allah; 2) tidak mengakui bahwa semua nikmat lahir maupun bathin adalah karunia Allah; 3) beramal dengan tujuan kepada selain Allah; 4) memberikan menghalalkan dan mengharamkan, hak memerintah dan melarang, atau menentukan syariat/hukum kepada selain Allah; 5) taat secara mutlaq kepada selain Allah dan Rasul-Nya; 6) tidak menegakkan hukum Allah; 7) membenci Islam seluruhnya atau sebagian; 8) mencintai kehidupan dunia melebihi akhirat, atau menjadikan dunia segala-galanya; 9) memperolok-olok al Qur’an dan as Sunnah atau orang-orang terhadap yang menegakkan keduanya; 10) menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan-Nya; 11) tidak beriman dengan keseluruhan al Qur’an dan as Sunnah; 12) mengangkat orang-orang kafir dan munafiq menjadi pemimpin dan tidak mencintai orang-orang yang beraqidah Islam; 13) tidak beradab dalam bergaul dengan Rasulullah; 14) tidak menyenangi tauhid, malah suka kemusyrikan; 15) menyatakan bahwa makna yang tersirat (bathin) dari suatu ayat bertentangan dengan makna yang tersurat (sesuai pengartian bahasa); 16) memungkiri salah satu asma, sifat, dan af’al (perbuatan) Allah SWT; 17) memungkiri salah stu sifat Rasulullah saw yang telah ditetapkan oleh Aallah SWT atau memberinya sifat yang tidak baik, atau tidak meyakininya sebagai uswah hasanah; 18) mengkafirkan orang Islam atau menghalalkan darahnya, atau tidak mengkafirkan orang kafir; 19) beribadah bukan kepada Allah SWT; dan 20) melakukan syirik kecil.
20 point diatas adalah diantara sikap dan perbuatan yang dapat membatalkan syahadat seseorang menurut Said Hawa. Tentu saja yang demikian bukan untuk menghakimi orang lain, tetapi untuk menjadikan peringatan bagi diri sendiri agar lebih berhati-hati dalam menjaga/memelihara syahadat.
Akhirnya, marilah kita lihat kembali syahadat kita, kita tanyakan pada diri kita, apakah syahadat kita telah  melahirkan rasa al mahabah wa al ridha terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya?  ataukah baru menjadi ucapan formal yang belum berdampak.
Memasuki tahun 1439 Hijriah ini, semoga kita mampu berjirah dengan sebenarnya. Amin…

Ditulis ulang dengan beberapa penyesuaian dari Bulletin 'Ibrah, Edisi 52 Pusat Kajian Islam dan Kemasyarakatan (PeKIK) Darul Fikri Yogyakarta
Kaki merapi, 01 Muharram 1439 H


Friday, September 15, 2017

Agung Nugraha : Menyongsong Tahun Baru Hijriyah

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

"Dialah Allah yang menciptakan matahari bersinar dan bulan yang memantulkan cahaya dan Dia tentukan tempat peredaranya masing-masing agar kami semua mengetehui perhitungan tahun dan perhitungan yang lain, tidaklah Allah menciptakan itu semua kecuali dengan haq (kebenaran) untuk menerangkan ayat (tanda kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mengetahui"(Yunus (10) : 5 )

            Secara berturut-turut kita baru saja melewati peristiwa besar muktamar umat Islam, yaitu ibadah haji Haji, perayaan Idul Adha yang desertai pelaksanaan Ibadah Qurban, dan akan segera disusul dengan pergantian tahun baru Hijriyah.
Menyongsong datangnya tahun baru Hijriyah, ada baiknya kita merenung sejenak untuk merefleksikan kembali apa saja yang telah terjadi atau kita perbuat, hikmah apa yang dapat kita ambil dan bagaimana mewarnai hari-hari yang akan datang agar perjalanan hidup kita semakin bermakna dan diridhai Allah.
Berikut beberapa catatan penting yang diharapkan dapat menjadi acuan agar kita tidak gamang dalam menatap fajar baru tahun Hijriyah.

HAKIKAT PERGANTIAN WAKTU
Pergantian waktu dari detik, menit, jam, hari, bulan dan tahun pada dasarnya adalah runitinas yang sudah pasti hingga datangnya qiyamat nanti. Perjalanan waktu dapat bermakna bagi diri kita apabila kita mampu melalui dengan baik, tetapi juga bisa tidak berarti apa-apa ketika perjalanan waktu itu kita sia-siakan. Yang banyak kita lakukan selama ini barang kali adalah yang kedua. Artinya kita tidak pernah menjadikan perjalanan dan pergantian waktu sebagai sebuah tonggak untuk melakukan refleksi dan evaluasi untuk kemudian menata dan memperbaiki diri. Yang terjadi kemudian adalah hura-hura, pesta pora dan banyak hal lain yang seharusnya dapat kita hindari ketika kita mampu merumuskan tujuan hidup kita.
Apabila kita cermati isi Surat Yunus (10) : ayat 5, maka pergantian siang dan malam yang ditandai dengan bersinarnya matahari dan pantulan cahayanya melalui bulan yang terjadi akibat peredaran bumi dan bulan mengelilingi matahari, maka ada dua pesan penting yang seharusnya kita tangkap, pertama, bahwa peredaran tersebut merupakan sumber utama bagi kita untuk mengetahui perhitungan tahun yang pada intinya dalah berjalannya waktu dalam menempuh kehidupan, dan kedua, dengan mengetahui perhitungan waktu itu kita seharusnya mampu melakukan perhitungan (muhasabah) kepada diri kita dalam melalui perjalanan hidup kita.
Dengan demikian, ketika kita mampu menyadari bahwa kehidupan ini terus berjalan seiring dengan perjalanan waktu dan kita mampu mengisi dan mewarnai kehidupan ini dengan sebaik-baiknya, maka kita sudah mampu menangkap hakikat pergantian waktu. Dan orang yang mampu menangkap hakikat pergantian waktu, ia akan senantiasa berusaha menjadikan waktu dan hari-harinya lebih baik dari waktu dan hari-hari yang telah dilalui. Orang yang semacam ini akan menjadi orang yang beruntung, baik dunia maupun akhirat. Sebagaimana Sabda Nabi : barangsiapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka dia adalah orang yang beruntung.

ESENSI IBADAH HAJI & SHALAT IDUL ADHA
Ibadah Haji dan penyembelihan Hewan Qurban, meski merupakan dua ibadah yang secara lahiriyah berbeda, namun merupakan dua peristiwa yang mempunyai kaitan yang sangat sangat erat dan mengandung makna yang sangat penting dalam mengisi perjalanan hidup umat Islam.
Ibadah Haji merupakan pilar Islam, ia merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang harus ditegakkan. Haji merupakan muktamar Umat Islam dari seluruh penjuru dunia. Jama’ah Haji berasal dari berbagai penjuru dunia, dengan latar belakang yang berbeda, baik bahasa, warna kulit, adat istiadat, pangkat dan derajat yang berbeda, akan tetapi mereka melaksanakan ibadah yang sama, dengan cara yang sama dengan tujuan yang sama, yaitu semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT.
            Allah berkenan mengumpulkan mereka semua, hanya dengan satu dasar, yaitu Iman. Dengan keimanan itulah kaum muslimin berbondong-bondong memenuhi panggilan Allah meski harus menempuh perjalanan yang jauh, beratnya medan dan aktifitas fisik serta biaya yang tidak sedikit. Hal ini menunjukan kebenaran Firman Allah dalam Surat Al Hajj : 27: "Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan Hajji, niscaya mereka akan dating kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, yang dating dari segenap penjuru yang jauh".
            Oleh karena itu, ikrar yang senantiasa diucapkan oleh seluruh jama'ah haji muncul dari kedalaman jiwa yang didasari kuatnya iman dan akidah sehingga apabila kita resapi maknanya akan membuat hati bergetar. Secara bersamaan mereka senantiasa mengucapkan kalimat talbiyah.

لَبَّيْكَ اللّٰهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ اِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ

"Aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah tidak ada sekutu  bagi-Mu sesungguhnya pujian, kenikmatan, kekuasaan adalah milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu" (CD Muslim : 2.031)
Adapaun Shalat Idul Adha, ialah muktamar/berkumpul umat Islam yang tidak sedang menunaikan ibadah haji ditempat-tempat shalat yang luas dan terbuka diseluruh dunia. Sebagaimana bersatunya jama'ah haji, maka jama'ah Shalat Idul Adha juga harus dilandasi dengan keimanan dan ketaqwaan serta akidah yang lurus dengan tujuan mengagungkan asma Allah dan syi'ar Islam, sebagaimana firman Allah dalam surat Al Hajj 32 : "Demikianlah (perintah Allah), barang siapa mengagungkan syi'ar (agama) Allah, maka yang demikian itu merupakan tanda hati yang bertaqwa".

MAKNA DAN HAKEKAT QURBAN
            Yang dapat kita petik dari perintah Kurban, diantaranya adalah :
1.      Kemampuan Bersyukur
Hakekat Kemampuan dalam konteks ini, sebetulnya lebih terletak pada kemampuan seseorang untuk bersyukur atas nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepadanya. Orang yang mempunyai kesadaran bahwa Allah telah memberikan nikmatnya yang sangat banyak dan tak terhitung, akan lebih ringan menyisihkan sebagian nikmat itu untuk menunaikan seruan kurban; meski pada saat itu secara financial sedang kurang. Sebaliknya, orang yang secara materi cukup, namun kemampuannya untuk bersyukur kurang, maka sangat berat menyisihkan hartanya untuk berkurban. Dengan demikian, "kemampuan" seseorang untuk berkurban pada hakekatnya lebih ditentukan oleh pribadi kaum muslimin, karena mereka sendiri yang lebih mengetahui tentang diri mereka sendiri.

2.      Makna Qurban
Qurban dalam pengertian Nahr dan Dhahha yang berarti menyembelih mengandung dua makna sekaligus, yakni : Hakiki dan Majazi. Dengan demikian secara hakiki kita diperintahkan untuk "secara nyata" menyembelih binatang kurban. Lebih dari itu makna Majazi dari Menyembelih ialah : Kemampuan dan keberanian seseorang untuk 'menyembelih' sifat dan karakter kebinatangan, seperti tamak, rakus, egoisme serta sifat dan karakter lainya yang berujung pada kepentingan diri, kelompok, dan golongan sehingga jauh dari Allah. Sifat dan karakter itu'disembelih' untuk kemudian menuju kepada hakekat Qurban, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan senantiasa menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan Allah.

3.      Hubungan horizontal dan vertical
Adha berarti penyembelihan hewan dan Qurban berarti pendekatan diri. Dengan demikian, pelaksanaan ibadah qurban mempunyai dua implikasi sekaligus, horizontal kepada sesama dan vertical kepada Allah. Menyembelih Kambing atau Lembu kemudian dibagi-bagikan mengandung maksud kemauan mengorbankan kepemilikan financial material baik berupa binatang sembelihan ataupun sebagian harta dan kekayaan untuk kesejahteraan umat sebagai wujud hubungan horizontal dan pada saat bersamaan kita canangkan dalam diri kita kemauan untuk senantiasa ber-taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) sebagai refleksi hubungan vertical makhluk dengan sang Khaliq.

KATA KUNCINYA: HIJRAH
            Tahun Hijriah, adalah system kalender yang didasarkan pada peredaran bulan. Perhitungannya dimulai sejak Hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah. Pemicunya ialah, setelah wafatnya rosul, banyak umat Islam yang mulai 'kurang bergairah' melaksanakan Ajaran Islam dan bahkan 'menyimpang' dari praktek ajaran Nabi. Untuk memberikan semangat kepada ummat dan untuk meluruskan ajaran Islam yang menyimpang, akhirnya khalifah secara resmi memerintahkan untuk memperingati Hijrah Nabi dan menetapkannya sebagai perhitungan Tahun Islam. Dipilihnya Peristiwa Hijrah sebagai tonggak, karena hakekat dari Hijrah Nabi adalah semangat kuat untuk meninggalkan masa suram berupa kebodohan dan kesesatan (dzulumat al jahiliyyah) menuju cahaya dan tuntunan Islam (nur al Islam).
            Tahun Hijriah tidaklah sekedar system kalender yang hanya berfungsi untuk mengetahui pergantian hari, bulan dan tahun. Lebih dari itu, tahun Hijriyah sangat erat terkait dengan system dan pola peribadatan umat Islam seperti kapan kita harus berpuasa dan tanggal berapa saja kita diharamkan berpuasa, kapan kita dapat mengunjungi Baitullah.
            Dengan demikian, maka dalam memasuki tahun baru Hijriyah, sudah seharusnya kita mencanangkan target pada diri kita masing-masing agar ditahun yang akan datang kita mampu senantiasa melakukan instrospeksi diri terhadap apa yang telah kita lakukan, mengambil hikmah dari setiap peristiwa yang telah terjadi.
Kita songsong fajar Hijriyah dengan semangat persatuan dan kebersamaan sebagaimana tergambar dari ibadah haji, serta kemauan kita dalam bersyukur atas nikmat dan karunia Allah untuk kemudian berbagi kepada sesama dengan satu tujuan utama, yaitu mendekatkan diri hanya kepada Allah.
Hanya dengan semangat Haji dan Qurban disertai dengan keberanian kita untuk berubah (HIJRAH), kita masih bisa berharap agar musibah demi musibah yang silih berganti menerpa bangsa kita segera berakhir dan digantikan dengan berlimpahnya berkah dan kemakmuran dari sisi Allah SWT. Sebagaimana janji Allah : “Apabila penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa, niscaya akan kami bukakan pintu rahmat dan barokah dari langit dan bumi”.

Semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita semua …Amien.