MENYIKAPI
KEHIDUPAN
(R. Agung Nugraha, S.Ag. MA)
Al
Anfal : 24
Setiap yang diperintahkan maupun yang dilarang oleh Allah, pasti mengandung
hikmah dan bermanfaat bagi keberlangsungan hidup manusia secara keseluruhan.
Seperti kewajiban shalat, meskipun perintah tersebut bersifat pribadi, setidaknya
dari sisi lahiriyah hanya merupakan interaksi antara pribadi dengan tuhannya,
tetapi apabila dicermati akan tampak hikmah yang terkandung dalam perintah
sholat tersebut ternyata ditujukan menghasilkan implikasi sosial diluar sholat
yang terangkum pada keselamatan orang lain dari perbuatan buruk orang yang
melakukan shalat.
Demikian juga dengan kehidupan ini. Seorang mukmin yang menggunakan
intuisi keimanannya, maka ia akan selalu berfikir bahwa kehidupan ini tidaklah
berhenti di dunia, tetapi juga akan berakhir dengan kehidupan akhirat yang
lebih penting dan lebih panjang jangkauan waktunya. Karena di akhirat itulah
kehidupan yang sebenarnya.
Pepatah Arab mengatakan :
الكيس من
دان تفسه وعمل لما بعد الموت
"Orang yang bijaksana ialah orang mampu mengendalikan hawa nafsunya
dan mengutamakan amal untuk kehidupan setelah ia mati."
Demikian pentingnya kebijaksanaan dan pemahaman terhadap hakekat
kehidupan ini akan menjadikan hidup manusia tidak sia-sia, bahkan mampu
memberikan kemanfaatan yang lebih banyak bagi orang lain. Namun, idealitas
makna kehidupan tersebut ternyata tidak sejalan bahkan terkadang berbanding
terbalik dengan realitas kehidupan masyarakat. Hal ini dapat ditinjau dari
kecenderungan-kecenderungan manusia, yang secara garis besar terbagi kedalam
dua kecenderungan.
Dalam tinjauan psikologi, ahli psikoanalisis menyimpulkan bahwa pada
dasarnya manusia terbagi kedalam dua macam kecenderungan : yaitu homo
celebrolis dan homo abdominalis. Kedua tipologi inilah yang mewarnai
kehidupan di dunia ini.
Celebro berarti akal dan/atau hati
nurani. Homo celebrolis ialah kecenderungan manusia yang menganut paham,
bahwa ukuran keberhasilan hidupnya ialah apabila ia mampu memberi manfaat bagi
orang lain dan lingkungannya. Orang dalam katagori ini bersemboyan agar dirinya
dapat bermanfaat, bahkan berperan, dalam kehidupan masyarakat. Hati mereka baru
merasa puas dan tenteram apabila dirinya berguna bagi masyarakat. Kecenderungan
kedua, ialah homo abdominalis. Abdominal berarti perut. Kelompok
ini menjadikan kepemilikan/kekayaan sebagai ukuran keberhasilan pribadi. Dengan
demikian tipe ini berpedoman bahwa parameter kesuksesan ialah apabila ia secara
lahiriyah memiliki harta yang banyak, kedudukan yang tinggi maupun status
social lain yang bersifat assesories, seperti kepemilikan rumah, mobil, maupun harta
benda lainnya. Dalam batas tertentu, keinginan untuk memiliki harta, pangkat,
jabatan dan kedudukan adalah sifat dasar manusia, namun demikian apabila
kecenderungan tersebut telah menjadi ukuran keberhasilannya, maka akan sangat
berbahaya dan merugikan banyak pihak. Hal ini terjadi karena kecenderungan
tersebut telah mengalahkan akal dan hati nuraninya sehingga akhirnya cenderung menghalalkan
segala macam cara dan melupakan norma-norma sosial, bahkan agama.
Saat ini, tampaknya sifat dan kecenderungan manusia yang suka
terhadap kemegahan dan kemewahan duniawi seraya melupakan norma-norma susila
dan agama merupakan fenomena yang lebih menonjol dibanding keinginan seseorang
untuk berguna dan memberi manfaat kepada sesama. Lihatlah betapa banyak orang
yang dalam kehidupannya hanya memburu kemulyaan yang diukur dengan pemenuhan
kebutuhan perut dan gemerlap kemewahan duniawi. Hal ini sesuai dengan prediksi
Nabi Muhammad 15 abad yang lalu, yang menyatakan :
سياء ت على الناس زمان
همتهم بطونهم و شرافهم متاعهم و قبلتهم نساءهم و دينهم دراهيمهم
“Akan datang suatu masa, dimana perhatian utamanya ialah urusan
perut, kemulyaan diukur dengan kepemilikan harta, perhatian (qiblat) mereka
adalah wanita dan uang menjadi agamanya.” (HR.
Ad-Dailamy & Thabraniy)
Dari hadits ini dapat diketahui bahwa kecenderungan manusia yang
lebih mementingkan kemewahan duniawi telah menjadi fenomena umum dan melalaikan
norma-norman susila dan agama. Maraknya korupsi, perampokan, pencurian,
pelacuran dan fenomena social lainnya adalah bukti kebenaran hadits tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa hakekat pembinaan kehidupan beragama
sampai saat ini belum berhasil, kalau tidak boleh dikatakan gagal. Agama hanya
merupakan formalitas dan ritual, dan belum menjadi akhlaq manusia. Ajaran agama
hanya dilaksanakan terbatas pada masjid dan ruang-ruang terbatas lainnya, dan
tidak merasuk kedalam sanubari pemeluknya sehingga mampu mewarnai kehidupan
mereka.
Ketika ditanya oleh seseorang tentang ajaran Islam yang paling berat
dan paling ringan, Rasulullah menjawab :
الينه اشهد ان لا اله
الا الله و ان محمدا عبده و رسوله و اشده يا اخا العالية الامانة انه لا دين لمن
لا امانة له و لا صلاة ولا زكاة له
“Sebagian ajaran Islam yang ringan adalah bersaksi bahwa tidak ada
tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan persaksian bahwa Muhammad adalah
Rasul Allah. Adapun ajaran yang berat ialah menjada dan menunaikan amanah.
Sesungguhnya tidak disebut beragama
orang yang tidak amanah, tidak sholat dan tidak zakat.” (HR. Al Bazzar)
Menjaga kepercayaan (amanah) mempunyai cakupan yang sangat luas,
mulai dari lingkup terkecil didalam keluarga, pekerjaan, jabatan, dan
masyarakat sesuai dengan tanggungjawab masing-masing. Integritas moral terhadap
pengemban kepercayaan inilah yang sekarang masih kronis melanda masyarakat dan
bangsa kita. Pejabat dan pemegang amanah tidak lagi menjadikan jabatan yang
dipercayakan kepadanya sebagai sebuah tanggungjawab yang harus ditunaikan
melainkan lebih menganggap jabatan, pangkat dan kedudukan yang diperoleh adalah
hasil kerja keras dan usahanya sendiri, sehingga ia menganggap semua adalah
miliknya sendiri. Dari sinilah awal kurupsi dan berbagai penyimpangan terjadi.
Dalam sebuah khutbahnya, Abu Bakar Ash-shiddiq menyinggung kecenderungan buruk
manusia, khususnya para pejabat :
اتخد الفيء دولا و الامانة
مغنما و اللزكاة مغرما
harta Negara menjadi rebutan, kepercayaan/amanah rakyat/Negara
dilupakan dan tidak terurus dan enggan membayar zakat karena merasa kehilangan” ( Atsar Riwayat At-Tirmidzi)
Demikianlah, betapa kecenderungan manusia untuk mementingkan diri
sendiri, mengejar kesuksesan diri dengan mengesampingkan atau bahkan menyikut
orang lain telah menjadi kecenderungan umum bangsa ini, oleh karena itulah
sudah saatnya kita melakukan introspeksi dan mawas diri untuk menjadi seorang
yang mampu memberikan kemanfaatan kepada orang lain dengan mengikis dan
mengendalikan kecenderungan kenikmataan sesaat yang lebih bersifat assesories
duniawi.
Marilah kita kembali kepada Hadits Nabi yang sangat masyhur ;
خير
الناس انفعهم للناس
“Sebaik-baik
manusia ialah yang bermanfaat bagi manusia lainnya”.
Apabila kita cermati hadits ini, maka sebetulnya dalam kehidupan ini
akan terjadi harmoni dan keselarasan dalam masyarakat sehingga akan terwujud
masyarakat yang tenang dan tenteram lahir dan bathin, tidak terjadi
penyimpangan-penyimpangan dan adanya pihak-pihak yang dirugikan. Apabila kita
mampu menyikapi kehidupan ini dengan baik, maka kebahagiaan dunia akhirat pasti
akan dapat kita raih. Semoga…