Friday, April 3, 2020

Wanita hamil,bayar fidyah atau puasa?

R. Agung Nugraha, MA


Assalamu’alaikum wr wb
Selamat malam pak agung, mohon ijin untuk bertnya ๐Ÿ™๐Ÿ™
Bagaimana hukumnya jika ibu hamil trimester pertama tidak melakukan puasa ramadhan ya pak? Mengingat baru kehamilan pertama, kalau keadaan ibu sehat namun takut mempengaruhi keadaan janin nantinya. Jika memutuskan untuk membayar fidyah itu bagaimana ya hitungan dalam sehari? Kemudian setelah selesai melahirkan apakah harus menyahur puasa jika sudah membayar fidyah. (LIstya, 3 April 2020)


Ilistrasi : hamil trisemester awal


Wa’alaikumussalam wr wb
Pertama saya ucapkan selamat atas karunia Allah berupa kehamilan pertama mbak Listya. Semoga Ibu dan bayinya senantiasa sehat hinggal lahir sempurna jasmani rohani. Aamiin Selanjutnya, untuk menjawal pertnyaaan anda, perlu saya sampaikan beberapa hal berikut.

Dalil tentang meninggalkan puasa Ramadhan dan penggantinya
Dasar kebolehan tidak puasa romadhan adalah karena sakit, safar (bepergian) dan/atau lemah) sebagaimana  surat  Al-Baqarah[2] : 184 :


ุงَูŠَّุงู…ًุง ู…َّุนْุฏُูˆْุฏٰุชٍۗ ูَู…َู†ْ ูƒَุงู†َ ู…ِู†ْูƒُู…ْ ู…َّุฑِูŠْุถًุง ุงَูˆْ ุนَู„ٰู‰ ุณَูَุฑٍ ูَุนِุฏَّุฉٌ ู…ِّู†ْ ุงَูŠَّุงู…ٍ ุงُุฎَุฑَۗ ูˆَุนَู„َู‰ ุงู„َّุฐِูŠْู†َ ูŠُุทِูŠْู‚ُูˆْู†َู‡ٗ ูِุฏْูŠَุฉٌ ุทَุนَุงู…ُ ู…ِุณْูƒِูŠْู†ٍۗ ูَู…َู†ْ ุชَุทَูˆَّุนَ ุฎَูŠْุฑًุง ูَู‡ُูˆَ ุฎَูŠْุฑٌ ู„َّู‡ٗۗ ูˆَุงَู†ْ ุชَุตُูˆْู…ُูˆْุง ุฎَูŠْุฑٌ ู„َّูƒُู…ْ ุงِู†ْ ูƒُู†ْุชُู…ْ ุชَุนْู„َู…ُูˆْู†َ

Artinya: (yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Yang dimaksud “beberapa hari tertentu” ialah 'shiyam' atau 'shaum' (berbilang) selama bulan Ramadan sebagaimana yang akan segera datang.
Ulama sepakat bahwa sebab sakit (yang masih mungkin sembuh) dan karena alasan safar (bepergian) wajib mengganti puasa di hari lain dan tidak ada kewajiban membayar fidyah.
Yang berbeda pendapat diantara ulama adalah tidakpuasa karena “berat”/‘payah” menjalankannnya ( ุงู„َّุฐِูŠْู†َ ูŠُุทِูŠْู‚ُูˆْู†َู‡ ). Menurut sebagian ulama, ayat tersebut berkenaan dengan orang tua baik laki-laki maupun wanita dan berkenaan dengan orang sakit yang tidak kuat berpuasa karena secara umum keduanya berat/payah apabila berpuasa.
Bagaimana dengan wanita hamil dan/atau menyusui
Menurut sebagian ulama, ayat tersebut awalnya khusus berkenaan dengan orang tua baik laki-laki maupun wanita, dan berkenaan dengan orang sakit yang tidak kuat berpuasa.
Di masa permulaan Islam, mereka diberi kesempatan memilih, apakah akan berpuasa atau membayar fidyah. Kemudian hukum ini dihapus (mansukh) dengan ditetapkannya berpuasa dengan firman-Nya. "Maka barang siapa di antara kamu yang menyaksikan bulan, hendaklah ia berpuasa."
Selanjutnya, apakah wanita hamil atau wanita menyusui apabila tidak berpuasa pada bulan Ramadhan, karena khawatir terhadap bayinya harus membayar fidyah saja, atau membayar fidyah dan mengqadla puasa sebagai pengganti puasa yang ditinggalkan?
Terkait dengan hal tersebut Ibnu Abbas berkata, Orang tua diberi rukhshah (keringanan) untuk berpuasa, dan memberi makan seorang miskin setiap hari, tanpa mengqadla puasa. Namun ia menambahkan "Kecuali wanita hamil dan yang sedang menyusui, jika berbukanya itu disebabkan kekhawatiran terhadap bayi, maka membayar fidyah itu tetap menjadi hak mereka tanpa nasakh." Dengan demikian, dari pemahaman ini, wanita yang meninggalkan puasa karena khawatir terhadap bayi/kandungannya, ia tetap menggganti puasa (lebih baik) dan (juga) membayar fidyah sebagai tathawwu` atau kebaikan (lebih baik baginya).
Adapun wanita hamil dan wanita menyusui, apabila mengkhawatirkan bagi dirinya dan anaknya, maka ia boleh berbuka sebab hukumnya sama dengan orang yang sakit. Al Hasan al Bishriy pernah ditanya tentang wanita hamil dan menyusui, apabila ia mengkhawatirkan terhadap dirinya dan anaknya. Ia menjawab: kehamilan adalah lebih berat dari pada sakit, maka ia boleh berbuka dan wajib mengqadla. (Ash Shabuniy, I: 209).
Para ulama berbeda pendapat apakah wajib mengqadla beserta membayar fidyah atau mengqadla saja. Asy Syafi’iy dan Ahmad berpendapat wajib mengqadla dan membayar fidyah, jika mengkhawatirkan terhadap kesehatan anaknya saja. Jika mengkhawatirkan terhadap kesehatan dirinya saja, atau terhadap kesehatan dirinya dan anaknya, maka ia hanya wajib mengqadla saja. Sebab wanita hamil dan wanita menyusui tercakup dalam ayat tersebut yakni:
ูˆَุนَู„َู‰ ุงู„َّุฐِูŠู†َ ูŠُุทِูŠู‚ُูˆู†َู‡ُ ูِุฏْูŠَุฉٌ ุทَุนَุงู…ُ ู…ِุณْูƒِูŠู†ٍ
Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita hamil dan wanita menyusui hukumnya sama dengan orang sakit, sebagaimana dikatakan oleh al Hasan al Bishriy, bahwa kehamilan itu lebih parah dari pada sakit. Maka ia wajib mengqadla saja.
Pendapat ini dipahami bahwa wanita hamil dan/atau menyusui masih memiliki kesempatan mengqadlo pada kesempatan lain. Adapun orang tua, tidak mungkin mampu mengqadla, maka ia diperbolehkan berbuka dan menggantinya dengan fidyah, sebab tidak mungkin lagi datang kemampuan untuk berpuasa pada hari-hari lainnya.
Memilih puasa atau fidyah
Perbedaaan terjadi terkait hokum meninggalkan puasa Ramadhan bagi wanita hamil dan wanita menyusui. Pendapat pertama ia masih memiliki kesempatan karenanya perlu mengqadla puasa, pendapat kedua menggolongkan termasuk orang yang berudzur berat, maka baik hamil/atau menyusui wajib membayar fidyah saja.
Seandainya wajib mengqadla dan membayar fidyah, maka berarti menggabungkan dua pengganti; dan yang demikian itu tidak boleh. Sebab mengqadla adalah pengganti puasa dan fidyah juga pengganti puasa, maka tidaklah mungkin mengumpulkan keduanya, sebab yang wajib hanyalah satu. (Al Qurthubiy, II: 269).

Apa fidyah orang hamil dan/atau menyusui
Fidyah orang hamil dan/atau menyusui sama dengan fisyahnya orang tua dan ornag sakit yang sudah tidak mungkin lagi mengaqha puasa di hari lain. Bentuknya berupa memberi makan seorang miskin. Yaitu sebanyak makanan seorang miskin setiap hari. Banyaknya satu gantang/mud dari makanan pokok penduduk negeri. Menurut satu qiraat, dengan mengidhafatkan 'fidyah' dengan tujuan untuk penjelasan. Ada pula yang mengatakan tidak, bahkan tidak ditentukan takarannya.
Dari penjelasan di atas dapat di tarik kesimpulan, bahwa wanita hamil dan/atau wanita menyusui hanya wajib membayar fidyah saja sebagaimana orang yang tidak mampu berpuasa. Tentang ukurannya tidak bisa dipastikan jumlahnya secara pasti.
Saya menyarankan bayarlah fidyah dengan memberikan makan kepada fakir/miskin minimal satu kali makan sebagaimana biasa kita makan, baik jumlah maupun kepantasannya seperti sayur dan lauknya. Syukur dapat memberikan makan untuk satu hari. Sedang bila ingin mengambil keutamaan, kalau kita biasa makan tiga kali maka baik juga kita memberi makan tiga kali sehari. Sekali lagi ini keutamaan. 

Kesimpulan 
Fidyah dapat diberikan setiap hari bersamaan kita tidak puasa dan dapat juga dibayarkan beberapa hari sekaligus, misalnya satu bulan tidak berpuasa, sebanyak itu juga dibayarkan sekali juga diperbolehkan.
Semoga ibu dan bayinya senantiasa diberikan kesehatan, lahir dalam keadaan sehat, sempurna dan dari pembayaran fidyah tersebut dapat mengambil hikmah kebiasaan berbagi/bersedekah.
Wallahu a’lam.

Sebelumnya
Berikutnya

0 comments: