Dua orang, pria
dan wanita, datang ke KUA Sleman. Keduanya mengaku sengaja datang dari Jakarta
untuk mencari informasi tentang nikah beda agama yang menurut keduanya dapat
dilayani di Jogja. Ketika saya jawab tidak ada KUA yang melayani perkawinan
seperti itu, keduanya justru menunjukkan dokumen dan foto pernikahan temannya
di salah satu hotel di jogja. Keduanya kemudian menceritakan runtut bahwa
pernikahan temannya tersebut benar-benar terjadi, tanpa harus merubah status
agama. Menurut keduanya, mulanya pernikahan dilaksanakan secara Islam, yaitu
nikah sirri. Kemudian dilaksanakan pemberkatan di gereja dan 0masih menurut
keduanyanya- teman tersebut mendapatkan Akta perkawinan dari Catatan Sipil.
Dalam dialog
tersebut saya juga sempat bertanya pada keduanya, terlepas dari masalah
pencatatan, bagaimana pemahaman mereka tentang perkawinan beda agama? Apakah agama
mereka membolehkan. Menjawab pertanyaan saya tersebut, yang pria (muslim)
menjawab “katanya dalam Islam boleh menikahi wanita beragama lain (ahli
kitab)”; sedang yang putri, beragama Kristen, menjawab “memang dalam kitab kami diperintahkan
yang seiman, tapi kami berdua sudah saling mencintai; dan kami sepakat menikah
dengan tetap pada keyakinan masing-masing”.
Dalam
kesempatan lain, ketika hal tersebut saya konfirmasi ke Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil terkait kebenaran hal tersebut, didapat jawaban bahwa hal itu dimungkinkan
berdasarkan fatwa Mahkamah Agung.
Dalam kesempatan berbeda, seorang pria beragama Islam minta dibimbing masuk Islam untuk keperluan merubah data pada KTP. Ketika ditanya kenapa bisa terjadi, jawabnya : dulu saya nikah di gereja dengan orang Kristen (katolik), tidak tahu kenapa KTP dan KK berubah jadi katolik, padahal saya sejak kecil Islam, dan tidak pindah agama saat nikah di gereja.
Dalam kesempatan berbeda, seorang pria beragama Islam minta dibimbing masuk Islam untuk keperluan merubah data pada KTP. Ketika ditanya kenapa bisa terjadi, jawabnya : dulu saya nikah di gereja dengan orang Kristen (katolik), tidak tahu kenapa KTP dan KK berubah jadi katolik, padahal saya sejak kecil Islam, dan tidak pindah agama saat nikah di gereja.
Berangkat dari
kasus tersebut, ada beberapa catatan penulis yang diharapkan dapat menjadi
perhatian pihak-pihak terkait.
Hakekat perkawinan
dan kewajiban pencatatannya
Dalam pasal 1 undang-undang
no 1 tahun 1974, disebutkan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha
Esa”. Pengertian berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ialah berdasarkan
ketentuan agama. Karenanya pasal 2 ayat (1) menyebutkan “perkawinan adalah
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu”.
Dalam
penjelasan dinyatakan “Dengan perumusan pada Pasal
2 ayat (1) ini, tidak ada Perkawinan diluar hukum rnasing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang- undang
ini”.
Kemudian pasal
2 ayat (2) menyatakan “Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Adapun
ketentuan pencatatan perkawinan diatur dalam
pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang menyatakan bahwa: Bagi yang
beragama Islam pencatatannya oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk. Dan
bagi mereka yang bukan Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat
perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.
Berdasarkan
pengertian dan ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa perkawinan tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan agama, dan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum maka
perkawinan dicatat. Dengan demikian semestinya perkawinan yang dicatat hanyalah
perkawinan yang benar menurut hukum agama. Karenanya pencatatan perkawinan
bukan sekedar fungsi administratif semata.
Terkait agama, negara Indonesia didirikan atas ketuhanan Yang Maha Esa.
Artinya, agama dan iman kepada tuhan menjadi pedoman hidup bagi seluruh rakyat
Indonesia. Karenanya, melalui proses yang panjang, pencantuman kolom agama dalam KTP telah diatur dalam UU administrasi
kependudukan. Hal tersebut penting dan berkorelasi tidak sekedar keperluan
administrasi, tetapi juga perlakuan terhadap seseorang. Misalnya urusan
perkawinan, hak waris, adopsi anak/hak asuh, bahkan terkait dengan kematian
sekalipun. Dengan adanya identitas agama pada mayit, orang tidak bisa berebut
mengurus jenazah karena perlakukan disesuaikan dengan agama yang dianut si
mayit.
Penyelundupan hukum
perkawinan
Menjawab
permohonan penjelasan dari Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian
Dalam Negeri, Panitera Mahkamah Agung melalui Surat (Fatwa) Nomor 231/PAN/HK.05/1/2019
tertanggal 30 Januari 2019 memberikan jawaban mencakup 4 point, yaitu 1)
Pencatatan perkawinan yang tidak dapat
memenuhi persyaratan pencatatan perkawinan Agama/penghayat kepercayaan, 2)
Pencatatan Perkawinan Beda Agama, 3) Pencatatan Kematian, dan 4)
Putusan/penetapan pengadilan yang amar putusannya bertentangan dengan
Undang-undang Administrasi kependudukan.
Diantara yang
krusial adalah jawaban terkait pencatatan Perkawinan Beda Agama. Panitera Mahkamah
Agung memberikan jawaban : “Perkawinan beda agama tidak diakui oleh negara
dan tidak dapat dicatatkan. Akan tetapi jika perkawinan tersebut dilaksanakan
berdasarkan agama salah satu pasangan dan pasangan yang lain menundukkan diri
kepada agama pasangannya, maka perkawinan tersebut dapat dicatatkan, misalnya
jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Kristen maka dicatatkan di
kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, begitu pula jika perkawinan
dilaksanakan berdasarkan agama Islam maka perkawinan pasangan tersebut
dicatatkan di Kantor Urusan Agama”.
Menurut penulis,
frasa “menundukkan diri” dalam fatwa ini mengandung penyelundupan hukum
perkawinan dan mengandung muatan konversi agama secara terselubung yang
berpotensi menimbulkan benturan dimasyarakat.
Menurut KBBI, menundukkan
berasal dari kata tunduk. Menundukkan berarti “mengalahkan (sampai tunduk)”; “menaklukkan”.
Dengan demikian, kalimat menundukkan diri dalam fatwa MA tersebut dapat
dipahami bahwa orang tersebut mengalah, tunduk dan takluk kepada agama lain.
Dalam pengertian lain, dia berpindah/meninggalkan agama (lama) dan tunduk,
takluk kepada agama (baru) yang menjadi keyakinan pasangannya.
Sampai disini, fatwa
ini secara tidak langsung telah memberikan peluang konversi agama terselubung atau
bahkan melalui peluang pencatatan tersebut “memaksa” seseorang tunduk kepada
agama pasangannya. Artinya, meski identitas agama didalam dokumen administrasi
kependudukan berupa KTP dan KK tidak berubah (misalnya : Islam), sebetulnya ia
telah dipaksa beragama lain ketika pelaksanaan perkawinan tidak dengan cara
Islam. Demikian juga sebaliknya. Atau, kalaupun kata menundukkan diri tidak
disebut pindah agama dengan alasan KTPnya tidak dirubah (dalam contoh tersebut
Islam dan Kristen), maka berarti telah terjadi perkawinan beda agama yang
jelas-jelas tidak diakui dan tidak bisa dicatatkan.
Apabila ditanya
kepada pasangan yang menempuh perkawinan demikian, mereka akan menjawab bahwa
kami tetap dalam agama kami masing-masing. Artinya dalam kesadaranya mereka
tetap memeluk agama Islam dan Kristen. Meraka akan berkata bahwa mereka berbeda
agama, saling mencinta dan sepakat menikah dengan perbedaan agama, menikah
berbeda agama dan mendapat pengakuan dengan diberikannya Akta Perkawinan.
Disinilah fatwa ini telah melakukan penyelundupan hukum perkawinan, dengan
membolehkan terjadinya perkawinan beda agama dan konsekwensinya terjadi
pencatatan perkawinan beda agama.
Memang, persoalan
agama adalah hak individu, bahkan merupakan hak asasi seseorang. Namun apabila
tidak diikuti dengan penyesuaian administrasi berupa perubahan data di KTP,
akan berpotensi menimbulkan masalah.
Oleh karena itu, untuk menjaga kondusifitas dan ketenteraman di
masyarakat, perbuatan “menundukkan diri” semestinya harus dilandasi dengan kesadaran
penuh dan diikuti dengan perubahan data administtrasi kependudukan (KTP dan
KK),
“Kasus” ini
memberikan konfirmasi adanya pengaduan beberapa kasus yang mengaku pernah nikah
di gereja tanpa merubah KTP, ketika akhirnya bercerai kemudian hendak menikah (lagi)
di KUA, ia baru tersadar bahwa KTP dan/atau KKnya berubah agama, sementara ia
tidak pernah merasa berpindah agama. Ini nyata terjadi karena ketika pengurusan
Kartu Keluarga yang mengurus salah satu dari pasangan tersebut.
Fatwa MA melampuai kewenangan
Pasal 24A Undang-undang Dasar RI
1945, mengatur bahwa Mahkamah Agung mempunyai kewenangan 1) mengadili pada
tingkat kasasi, 2) menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap
undang-undang, dan 3) mempunyai wewenang lainnya yang diberikan
undang-undang. Disamping itu, Mahkamah
Agung mempunyai kewenangan memberikan fatwa hukum. Fatwa Mahkamah Agung berisi
pendapat hukum Mahkamah Agung yang diberikan atas permintaan Lembaga negara.
Dalam konteks ini, memang MA
berwenang memberikan fatwa atas permintaan Kementerian Dalam Negeri, namun menurut
penulis, fatwa ini telah melampuai kewenangan sebagaimana diatur, karena fatwa
ini telah “menguji” Pasal 2 ayat (1) undang-undang Nomor 1 tahun 1974, padahal
kewenangannya sebatas menguji yang dibawah undang-undang.
Simpulan
Penulis
berkesimpulan bahwa fatwa MA Nomor 231/PAN/HK.05/1/2019 tertanggal 30 Januari
2019 telah membuat norma hukum baru. Itulah yang saya sebut sebagai penyelundupan
hukum. Disamping bertentangan dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) undang-undang Nomor
1 tahun 1974 tentang Perkawinan, juga menimbulkan banyaknya ketidaksesuaian data kependudukan, serta berpotensi menimbulkan
konflik di masyarakat akibat kecurigaan liberalisasi agama.
.
[1]
Penghulu Madya/Kepala KUA Kecamatan Sleman & Ketua Pusat Kajian Islam dan Kemasyarakatan
(PeKIK) Darul Fikri Yogyakarta
0 comments: