Thursday, September 21, 2017

Memaknai tahun hijriyah dengan penguatan aqidah


R. Agung Nugraha, S.Ag. MA

Salah satu catatan penting dari peringatan peristiwa Hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah ialah komitmen meninggalkan Aqidah (keyakinan) jahiliyah yaitu mempertuhankan berhala Latta, Uzza dan Mannat menuju Aqidah Tauhid, persaksian bahwa tidak ada Tuhan Selain Allah. Ini disebut Hijrah Aqadiyah.
Dalam konteks inilah, penting bagi kita mempertanyakan kembali Aqidah Kita? Sudah berapa lamakah kita bersyahadat? dan sejauh mana implementasi syahadat yang telah kita ucapkan?  suatu pertanyaan yang barangkali jarang kita tujukan untuk diri kita sendiri. Dari pertanyaan ini kita akan mencoba menelusuri kembali keberadaan syahadat kita, seberapa besar pengaruhnya dalam kehidupan kita ?
Ikrar laa ilaaha illahhah tidak akan dapat diwujudkan secara benar jika tanpa petunjuk yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Oleh karena itu ikrar laa ilaaha illallah diikuti dengan ikrar Muhammadan Rasulullah. Dua ikrar itulah yang kita kenal dengan dua kalimat syahadat (syahadatain) yang merupakan pintu gerbang seseorang memasuki agama (al-dien) Allah SWT. Nama Muhammad menjadi sangat urgen karena kedudukannya sebagai Rasulullah, bukan nama Muhammad/Ahmad itu sendiri.
Kata asyhadu secara etimologis berakar dari kata syahada yang mempunyai tiga pengertian: musyahadah (menyaksikan), syahadah (kesaksian), dan half (sumpah). Ketiga pengertian tersebut ada relevansinya yang kuat, seseorang akan bersumpah jika ia memberi kesaksian, dan ia akan berani memberi kesaksian apabila menyaksikan.
Inti dari syahadat yang pertama adalah beribadah hanya kepada Allah SWT, sedangkan yang kedua menjadikan Rasulullah saw sebagai figur sentral keteladanan (uswah hasanah) baik dalam hubungan dengan Allah SWT (hablun minallah), maupun dalam hubungan dengan sesama manusia (hablun minannas).
Ikrar laa ilaaha illallah dan Muhammad Rasulullah bila dipahami secara benar tentu akan memberikan pengaruh yang sangat positif kepada setiap muslim, yang antara lain dapat diukur dari dua sikap yang dilahirkan yaitu cinta (mahabah) dan ridha kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah sesungguhnya yang harus kita wujudkan dan kita rasakan, sebagai jawaban atas pertanyaan di atas.
Seorang Muslim yang telah mengikrarkan dan memahami dua kalimah syahadat dengan benar akan memberikan cinta yang pertama dan utama kepada Allah SWT, kemudian kepada Rasulullah saw, dan jihad fi sabilillah. Dia bisa menempatkan cintanya kepada anak-anak, orang tua, suami/isteri, saudara, harta benda, pekerjaan/jabatan, rumah tinggal dll (yang boleh dicintai) di bawah/setelah cintanya kepada yang pertama dan utama. Yaitu Allah SWT, Rasulullah saw, dan jihad fii sabilillah sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surat At Taubah ayat 24 berikut :

قُلْ إِنْ كَانَ اَبَآؤُكُمْ وَ اَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَ اَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَاَمْوَالُ نِاقْتَرَفْتُمُوُهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَكِنُ تَرْضَوْنَهَآ اَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِّنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهِ فَتَرَبَّصُوْاحَتَّى يَأ تِيَ اللهُ بِاَمْرِهِ وَ اللهُ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الْفَسِقِيْنَ

Katakanlah:”Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri kamu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaanmu yang kamu khuwatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (At-Taubah: 24)

Berdasarkan ayat di atas, Abdullah Nasih Ulwan membagi cinta (al mahaabah) menjadi tiga tingkatan, yakni: 1) Al Mahabatul Ula, yaitu mencintai Allah, Rasul-Nya, dan Jihad fii sabilillah; 2) Al Mahabatul Wustha, yaitu mencintai segala sesuatu yang boleh dicintai oleh Allah     dan Rasul-Nya dengan cara-cara yang diijinkan-Nya, seperti cinta kepada anak, isteri/suami, orang tua, harta, bisnis, dll; dan 3) Al Mahabatul Adhna, yaitu mencintai segala sesuatu yang bolehkan oleh Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada Allah SWT, Rasulullah, dan jihad fii sabilillah.
Kecuali cinta, seorang Muslim yang mengikrarkan dua kalimah syahadat akan memiliki sikap ridha di dalam dirinya. Ridha terhadap Allah dan Rasul-Nya, ridha dengan segaala keputusan-Nya, tanpa ada rasa tidak puas sedikitpun dalam hatinya.
Dalam surat An Nisa (4) ayat 65 Allah SWT menafikkan iman seseorang sebelum ia bertahkim kepada Rasulullah saw (Islam) dan menerima keputusan beliau dengan sepenuh hati, dengan tidak ada rasa penolakkan sedikitpun dalam hatinya.
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْ مِنُوْنَ حَتَّى يُحَكِّيْمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَيَجِدُوْا فِيْ~أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْاتَسْلِيْمًا.
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian merek tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS 4: 65)
Pengaruh dari syahadatain bagi seorang Muslim adalah tiga unsur pokok yang dimiliki manusia, yaitu: akal, hati, dan jasadnya akan mendapatkan shibghah (celupan, identitas) dari Allah SWT.
صِبْغَةَاللهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَه’عَبِدُوْنَ (البقرة:138)
Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah ? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah. (QS 2: 138)
Artinya hati, akal, dan jasad seseorang (Muslim) yang mengikrarkan dua kalimah syahadat akan mendapatkan shibghah (celupan, identitas) dari Allah SWT, sehingga 1) dari hatinya lahirlah keyakinan yang benar (al I’tiqad ash shahih) dan selanjutnya melahirkan niat yang ikhlas; 2) dari akalnya lahirlah pikiran-pikiran yang Islami (al afkar al islamiyah) kemudian muncul system yang Islami; dan 3) dari jasadnya lahirlah amal shalih (al a’mal ash shalihah) sebagai tanfidz (manifestasi) dari keinginan hati dan rancangan akal.
Said Hawa dalam bukunya Al Islam, menyatakan bahwa banyak orang yang salah mengira apabila sudah mengucapkan dua kalimah syahadat, maka tidak ada satu sikap atau perbuatan yang dapat membatalkan keislaman atau membatalkan syahadatnya. Menurutnya, sebenarnya banyak sikap atau perbuatan yang dapat membatalkan syahadat seseorang, antara lain : 1) bertawakal bukan kepada Allah; 2) tidak mengakui bahwa semua nikmat lahir maupun bathin adalah karunia Allah; 3) beramal dengan tujuan kepada selain Allah; 4) memberikan menghalalkan dan mengharamkan, hak memerintah dan melarang, atau menentukan syariat/hukum kepada selain Allah; 5) taat secara mutlaq kepada selain Allah dan Rasul-Nya; 6) tidak menegakkan hukum Allah; 7) membenci Islam seluruhnya atau sebagian; 8) mencintai kehidupan dunia melebihi akhirat, atau menjadikan dunia segala-galanya; 9) memperolok-olok al Qur’an dan as Sunnah atau orang-orang terhadap yang menegakkan keduanya; 10) menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan-Nya; 11) tidak beriman dengan keseluruhan al Qur’an dan as Sunnah; 12) mengangkat orang-orang kafir dan munafiq menjadi pemimpin dan tidak mencintai orang-orang yang beraqidah Islam; 13) tidak beradab dalam bergaul dengan Rasulullah; 14) tidak menyenangi tauhid, malah suka kemusyrikan; 15) menyatakan bahwa makna yang tersirat (bathin) dari suatu ayat bertentangan dengan makna yang tersurat (sesuai pengartian bahasa); 16) memungkiri salah satu asma, sifat, dan af’al (perbuatan) Allah SWT; 17) memungkiri salah stu sifat Rasulullah saw yang telah ditetapkan oleh Aallah SWT atau memberinya sifat yang tidak baik, atau tidak meyakininya sebagai uswah hasanah; 18) mengkafirkan orang Islam atau menghalalkan darahnya, atau tidak mengkafirkan orang kafir; 19) beribadah bukan kepada Allah SWT; dan 20) melakukan syirik kecil.
20 point diatas adalah diantara sikap dan perbuatan yang dapat membatalkan syahadat seseorang menurut Said Hawa. Tentu saja yang demikian bukan untuk menghakimi orang lain, tetapi untuk menjadikan peringatan bagi diri sendiri agar lebih berhati-hati dalam menjaga/memelihara syahadat.
Akhirnya, marilah kita lihat kembali syahadat kita, kita tanyakan pada diri kita, apakah syahadat kita telah  melahirkan rasa al mahabah wa al ridha terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya?  ataukah baru menjadi ucapan formal yang belum berdampak.
Memasuki tahun 1439 Hijriah ini, semoga kita mampu berjirah dengan sebenarnya. Amin…

Ditulis ulang dengan beberapa penyesuaian dari Bulletin 'Ibrah, Edisi 52 Pusat Kajian Islam dan Kemasyarakatan (PeKIK) Darul Fikri Yogyakarta
Kaki merapi, 01 Muharram 1439 H


Sebelumnya
Berikutnya

0 comments: