Simbul mencium hajar aswad, dengan melambaikan tangan di sudut hajar aswad |
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ
بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ
عَمِيقٍ
Dan berserulah
kepada manusia untuk menunaikan ibadah haji, niscaya mereka akan dating
memenuhi seruanmu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang
dating dari segenap penjuru yang jauh (Al Hajj (22) : 27)
Semua orang yang akan dan telah melaksanakan ibadah haji
tentu sangat berharap agar memperoleh haji yang mabrur. Penyebutan Istilah haji
mabrur ini sekaligus merupakan petunjuk bahwa tidak semua orang yang
melaksanakan haji dapat mencapai haji mabrur. Oleh karena itu, Rasulullah SAW
sebagai pembawa risalah Islamiah telah menjadi sumber rujukan utama dalam
bagaimana melaksanakan ajaran Islam secara sempurna. Ibadah haji merupakan
sesuatu yang principil dari ajaran Islam sehingga ia menjadi salah satu dari
rukun Islam. Terhadap hal demikian tentu tentu Rasulullah SAW, telah memberikan
petunjuk tentang bagaimana melaksanakan ibadah haji secara baik sehingga pada
akhirnya haji tersebut sampai kepada derajat mabrur.
Bagaimana petunjuk Rasulullah SAW tersebut? Inilah yang
akan menjadi titik sentral uraian pembahasan tulisan berikut dengan terlebih
dahulu memberikan pengertian tentang definisi haji mabrur tersebut.
Pengertian
Haji Mabrur
Salah seorang ulama hadits Al hafidz Ibn Hajar al-Asqalani
dalam kitab fathul Bari ,
Syarah Bukhari Muslim, mendefinisikan bahwa “Haji mabrur adalah haji yang
maqbul yakni haji yang diterima oleh Allah SWT. Pendapat lain yang saling
menguatkan dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam syarah muslim, bahwa : “Haji
mabrur itu adalah haji yang tidak dikotori oleh dosa, atau haji yang diterima
Allah SWT, yang tidak ada riya’, tidak ada sum’ah, tidak rofats dan tidak
fusuq”. Selanjutnya Abu Bakar Jabir al Jazari dalam kitab Minhajul Muslimin
mengungkapkan bahwa : “Haji mabrur itu ialah haji yang bersih dari segala dosa,
penuh dengan amal shaleh dan kebajikan-kebajikan”.
Berdasarkan rumusan-rumusan yang diberikan oleh para ulama
tersebut, dapat kita simpulkan bahwa haji mabrur adalah haji yang dapat
disempurnakan segala hukum-hukum berdasarkan perintah Allah dan Rasulullah SAW,
sebuah predikat haji yang tidak
mendatangkan perasaan riya’, bersih dari dosa, senantiasa dibarengi dengan peningkatan amal
shaleh, tidak ingin disanjung dan tidak melakukan perbuatan keji dan merusak.
Petunjuk
Rasul dalam menggapai Haji Mabrur
Pada Hakekatnya hanya Allah yang mengetahui dan menentukan
apakah haji yang telah ditunaikan oleh seseorang itu diterima atau tidak,
meskipun demikian melalui penjelasan yang bersumber dari Rasululah SAW, setidaknya kita dapat melakukan instrosteksi
diri/mengukur diri seraya berharap kepada Allah agar haji yang kita tunaikan
menjadi mabrur.
Diantara petunjuk untuk menggapai haji mabrur dari beberapa
hadits Rasulullah, diantaranya :
- Niat Ikhlas karena Allah SWt.
Dalam Islam, niat menempati kedudukan sentral dan menempati
posisi yang sangat penting, bahkan niat menjadi penentu atas nilai sebuah
ibadah yang kita tunaikan. Begitu juga halnya dengan pelaksanaan ibadah yang
memerlukan kesanggupan materiil dan spirituil ini.
Penegasan dan pelurusan niat yang benar-benar harus ditujukan
dalam rangka mencapai ridha Allah SWT
secara eksplisit dijelaskan dalam firman-Nya :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا
لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ
وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Dan tidaklah mereka disuruh kecuali untuk menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan agama dengan lurus,
dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, dan yang demikian
itulah agama yang lurus”. (Al Bayyinah (98) : 5)
Hal ini diperkuat lagi oleh Rasulullah dalam sabdanya,
انما
الاعمال بالنيات و انما لكل امرئ ما نوي
artinya :” Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung dari
niatnya dan masing-masing mendapat pahala dari niatnya itu”.
Oleh karena itu, haji harus benar-benar diniatkan karena Allah
SWT. Terlebih haji ini sangat dekat dengan perasaan riya’ dan sum’ah, mengingat
tidak semua orang dapat menunaikan ibadah ini sebagaimana ibadah yang lain.
Tidak sedikit orang yang menunaikan ibadah haji karena ingin memperoleh
predikat “Haji” untuk memperkuat status sosial, khususnya untuk mendapatkan
legitimasi sosial dari masyarakat.
- Sumber biaya yang halal
Segala biaya dan nafkah yang digunakan untuk menunaikan ibadah
haji haruslah benar-benar bersumber dari yang halal. Hakekat yang ingin kita
capai dari pelaksanaan ibadah haji adalah ingin menyempurnakan sesuatu yang
prinsipil terhadap keberislaman kita, sehingga kita termasuk orang-orang yang
dekat kepadanya. Oleh karena itu, apa artinya kita menunaikan ibadah haji haji,
jika ternyata tidak dapat lebih mendekatkan diri kita kepada Allah SWT., karena
harta yang kita gunakan tidak bersumber dari harta yang halal. Karena setiap
ibadah yang kita tunaikan dengan biaya yang bersumber dari yang haram, tidak
akan bernilai disisi Allah SWT. Dengan kata lain ibadah hajinya akan ditolak (ma’zur).
Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah SAW, artinya : “Jika
seseorang menunaikan ibadah haji pergi dengan biaya dari harta yang halal dan
diucapkannya, labbaika allahumma labbaik (ya Allah, inilah aku datang memenuhi
panggilan-MU), maka berkata penyeru dari langit : “Allah menyambut dan menerima
kedatanganmu dan semoga kamu berbahagia. Perbekalanmu halal, pengangkutanmu
juga halal, maka hajimu mabrur, tidak dicampuri dosa”. Sebaliknya
jika ia pergi dengan harta yang haram, dan ia mengucapkan “Labbaik”, maka
penyeru dari langit berseru : “Tidak diterima kunjunganmu dan engkau tidak
berbahagia. Perbekalanmu haram, pembelanjaanmu juga haram, maka hajimu ma’zur
(mendatangkan dosa) atau tidak diterima. (HR. Thabrani).
Berdasarkan hadits Rasulullah dan logika/akal sehat kita
sendiri, dapat kita simpulkan bahwa bagaimana mungkin haji kita berkenan disisi
Allah SWT, sedangkan biaya pelaksanaannya bersumber dari harta yang tidak
diridhai Allah SWT.
- Manasik Haji sesuai tuntunan
Rasulullah SAW..
Ibadah Haji merupakan ibadah mahdhah dan sudah ditetapkan
ketentuan dan tata caranya. Kita mutlak
harus mempedomani kaifiyah dan tata cara manasik yang dituntunkan oleh Rasulullah
SAW. Dengan demikian, manasik haji yang kita lakukan harus benar-benar sesuai dengan
manasik haji yang dilakukan oleh Rasulullah SW, sebagaimana sabdanya : “Hendaklah
kmu mengambil manasik hajimu dari aku”. (HR. Muslim)
Alangkah baiknya, jika setiap kita yang ingin menunaikan
ibadah haji terlebih dahulu mempelajari dengan sebaik-baiknya manasik haji
Rasulullah SAW. Karena manasik haji ini sangat menentukan kemabruran haji kita,
dan manasik haji yang tepat dan benar adalah manasik hajinya Rasulullah SAW.
- Ibadah Haji berbuah perbaikan
akhlaq dan tingkah laku.
Ibadah Haji yang telah ditunaiakn harus mampu memperbaiki
akhlaq dan tingkah laku. Sesudah menyelesaikan manasik hajinya secara sempurna,
mulai berihram di miqat yang telah ditentukan, thawaf mengelilingi ka’bah
baitullah, wuquf di Arafah, mabit di muzdalifah. melontar jumroh dan bermalam
di Mina, thawaf ifadhah dan akhirnya thawaf wada’ telah dilakukan sesuai dengan
tuntunan Rasulullah SAW, maka sekembalinya jama’ah di tanah air semua aktiftas
yang telah dilakukan delama ibadah haji harus mampu menjadi sarana untuk
memfungsionalisasikan tujuan hidup kita agar kembali ke fitrah yang sebenarnya,
yakni menjadi manusia yang memiliki akhlaq yang terpuji.
Kita harus mengingat bahwa tujuan ibadah dalam Islam , tidak
terkecuali ibadah haji, adalah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Upaya pendekatan diri ini sekaligus mensucikan jiwa kita menjadi jiwa bersih,
sehingga dengan jiwa yang bersih ini melahirkan perilaku dan akhlaq yang mulia.
Ibadah haji yang membentuk perilaku akhlaq terpuji dan mulia ini diukur dengan
peningkatan amal-amal kebajikan yang kita lakukan, baik terhadap Allah SWt
secara vertikal, dan hubungan sesama manusia secara horisontal.
Kesimpulan
Tidak ada satupun diantara kita yang
menginkan ibadah yang kita lakukan tidak diterima Allah SWT, tidak terkecuali
ibadah haji. Dalam Islam, pelaksanaan ibadah haji merupakan pelaksanaan yang
memerlukan kesanggupan yang lebih besar daripada ibadah lainnya, karena
disamping ibadah ini merupakan ibadah yang berdimensi spiritualitas tinggi, ia
juga sangat sarat dengan nilai-nilai
sejarah dalam tradisi kenabian yang agung.
Keberangkatan yang dilakukan dengan niat
yang suci dan ikhlas semata-mata berharap ridha Allah SWT, biaya haji yang
mahal yang dikeluarkan dari sumber yang halal, mengikuti manasik haji yang
dipraktikkan Rasulullah SAW dan menghiasi dirinya dengan amal-amal shalih dan
akhlaqul karimah, akan menjadi sebagian tanda kemabruran haji seseorang, yang
balasannya tidak lain adalah surga.
Akhirnya kami ucapkan Sugeng tindak
ngantos kondur, mugi dados haji mabrur. Amien…
0 comments: