Seusai Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, psi-war (perang mental) dilancarkan Belanda dan sekutu dalam hal diplomasi internasional. Selain itu Pihak Belanda dengan membonceng Pasukan Sekutu, mereka kembali masuk ke Indonesia dengan kekuatan senjata.
Proklamasi kemerdekaan ini mulai terdengar ke mancanegara. Tak terkecuali negara-negara di jazirah Arab. Mereka bertekad mengakui kedaulatan Indonesia. Untuk membuktikan niat tersebut, Liga Arab mengutus delegasi untuk datang ke Indonesia.
Utusan yang di tunjuk adalah Konsul Jenderal Negara Mesir di Bombay, yaitu Muhammad Abdul Mu'nim. Awalnya disusun rencana sang utusan akan naik pesawat LANGSUNG menuju Indonesia. Namun hal ini dinilai terlalu beresiko, karena ketatnya penjagaan udara yang dilakukan tentara Belanda.
Kemudian di lakukan rencana ke dua yaitu. Akhir Februari 1947 Mun’im tiba di Singapura. Namun Konsulat Belanda yang ada di Singapura mengeluarkan surat pelarangan wakil negara asing masuk Indonesia.
Qadarullah di Singapura Mun'im bertemu seorang pilot wanita asal Amerika yang mendukung kemerdekaan Indonesia, yaitu Ketut Tantri, dan pilot wanita Amerika ini bersedia menerbangkan pesawat secara ilegal dari Singapura ke ibukota Indonesia saat itu, yaitu Yogyakarta.
Ketika tengah terbang menuju Yogyakarta, pesawat yang ditumpangi Mun’im dikejar pesawat Belanda. Terjadi Aksi kejar-kejaran yang menegangkan, dan Qadarullah (atas izin Allah) mereka berhasil lolos dari kejaran pesawat-pesawat tempur Belanda.
Pada hari Kamis 13 Maret 1947 Komandan Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta, Mayor Sudjono kaget mendengar ada suara pesawat yang melintas di atas Pangkalan Udara Maguwo, dan di kejauhan tampak pesawat jenis Dakota DC-3 dengan posisi hendak mendarat. Maka pasukan pun disiapkan untuk menjaga agar Pangkalan Udara Maguwo tidak jatuh ke tangan Musuh.
Keesokan harinya Jumat 14 Maret 1947, tersiar kabar menggemparkan tentang utusan negara-negara Liga Arab yang berhasil tiba di Yogyakarta, dan mampu menembus blokade udara oleh pihak Belanda. Kedatangan Abdul Mun’im juga membuat pejabat Indonesia kelabakan, pasalnya inilah kali pertama mereka menerima Tamu Negara.
Komandan Pangkalan Udara Maguwo (Mayor Sudjono) berusaha mengontak Istana Gedung Agung agar segera mengirimkan mobil penjemputan Tamu Negara. Tetapi tampaknya agak susah mencari mobil kenegaraan, sementara . sang utusan (Mu'nim) meminta agar segera diantarkan ke istana. Tamu Negara ini mengatakan bahwa tak masalah baginya meskipun terpaksa menggunakan mobil seadanya. Akhirnya perjalanan 15 km dari Maguwo ke Istana Negara ditempuh dengan menggunakan mobil pick up.
Setiba di Istana Negara (Gedung Agung - Yogykarta), ternyata Presiden Soekarno sedang memimpin sidang kabinet. Presiden sangat terkejut ketika mengetahui bahwa Utusan Negara-Negara Liga Arab sudah sampai di depan istana.
Sekjen Kementerian Agama, HM. Rasyidi, yang pernah belajar di Mesir akhirnya diminta menyambut dan menemui sementara sang utusan, dan beliau juga yang mencarikan tempat menginap untuk Mun’im. Tetapi hotel-hotel di Yogya yang layak untuk Tamu Negara, semuanya sudah penuh terisi. Setelah mendapat persetujuan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Mun’in akhirnya dipersilakan menginap di Kepatihan (Kantor Administrasi Kesultanan Yogyakarta)
Mun’im menunaikan shalat Jumat di Masjid Gedhe Kauman bersama Sultan dan para menteri. Masyarakat Yogya yang mengetahui hal itu menjadi sangat sangat antusias. Mereka mengerubuti Mun’im dan Sultan. Mun’im merasa terharu, tak pernah membayangkan bisa menemui saudara-saudaranya di Indonesia.
Sabtu, 15 Maret 1947, Muhammad Abdul Mun’im, tamu negara pertama di Indonesia itu pun diterima secara resmi oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Mun’im membacakan pidato yang intinya: Keputusan Dewan Liga Arab pada sidang 18 November 1946 menganjurkan kepada negara-negara Liga Arab yang memang memiliki pertalian agama dan persaudaraan secara keimanan dengan Bangsa Indonesia agar mengakui kedaulatan Indonesia.
Padahal saat itu Belanda sedang melakukan upaya-upaya diplomasi internasional guna mementahkan menentang pengakuan kemerdekaan oleh bekas jajahannya tersebut. Dengan demikian, pengakuan atas kedaulatan Republik Indonesia oleh negara lain, merupakan modal besar bagi sebuah negara yang baru saja merdeka.
Referensi :
1.Seratus Tahun Agus Salim (1984: sinar harapan)
2.Historia "Mesir dan Kemerdekaan Indonesia" (artikel 2011)
Foto : Sri Sultan HB IX menerima tamu Mesir Muhammad Abdul Mu'nim, didampingi Imam Masjid Gede Kauman dan masyarakat Yogya, setelah sholat Jumat di serambi mahkamah alkabirah, Masjid Gede Kauman Yogyakarta.
(copas dari : Sejarah Yogyakarta).
_____________
Disclaimer :
naskah ini copas dari grup WA yang menurut kami pantas diarsipkan
0 comments: