Monday, August 24, 2020

Adopsi dan larangan menghilangkan nasab



 Ada praktek sosial dalam masyarakat “mengangkat” anak atau adopsi yang dalam istilah fiqh disebut hadhanah. Sebabnya ada beberapa, antara lain karena sudah lama menikah tidak memiliki keturunan, atau karena membantu orang yang secara ekonomi lemah sehingga terbebani dengan banyaknya anak, atau karena menemukan anak yang dibuang dan tidak sedikit yang disebabkan menutup aib karena lahir tanpa ayah sebab kehamilan sebelum menikah.

Dalam Islam, adopsi atau hadhonah pada dasarnya diperbolehkan dengan tidak menghilangkan nasab anak. Pada kenyataannya tidak sedikit praktik adopsi dilakukan dengan menisbatkan nasab anak angkat kepada orang tua angkatnya, sehingga nasab anak kepada orang tua kandungnya seakan terputus. Tak hanya nasab yang terputus, praktik adopsi tak jarang juga mengakibatkan hubungan si anak dengan orang tuanya benar-benar hilang hingga sang anak sama sekali tak mengenali orang tua kandung dan keluarga asalnya. Pada gilirannya, banyak kepentingan anak yang semestinya melibatkan orang tua kandung digantikan oleh orang tua angkat meski hal itu acapkali melanggar aturan syariat.

Asal usul praktek adopsi

Praktik  mengadopsi anak merupakan salah satu praktik sosial yang sudah lama berlaku. Tidak terkecuali pada bangsa Arab. Budaya masyarakat Arab yang mengangkat seseorang sebagai anaknya akan memperlakukan anak tersebut sebagaimana anak kandung sendiri. Bahkan mereka menasabkan anak angkat kepada orang tua angkatnya. Hal itu pula yang dilakukan oleh Rasulullah terhadap Zaid bin Haritsah. Zaid bin Haritsah adalah seorang budak yang dihadiahkan oleh Khadijah kepada suaminya  (Rasulullah) dan kemudian oleh Rasulullah dimerdekakan dan diangkat sebagai anak. Rasulullah menasabkan Zaid kepada dirinya sehingga para sahabat memanggil Zaid bin Muhammad. Bahkan Rasulullah sempat mengumumkan kepada masyarakat dengan mengatakan, “Wahai bangsa Quraisy, saksikanlah bahwa sesungguhnya Zaid adalah anakku. Ia mewarisiku dan aku pun mewarisinya.” (marah Labid: darul fikri, 2007).

Islam meluruskan praktek adopsi

Praktek adopsi yang dilakukan oleh rasulullah tersebut kemudian diluruskan oleh Allah dengan turunnya ayat 5 surat al Ahzab :

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Artinya:

“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan menasabkan kepada bapak-napak mereka. Hal itu lebih adil di sisi Allah. Apabila kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka panggillah mereka sebagai saudaramu dalam agama dan maula-maula kalian. Tidak ada dosa atas kalian di dalam apa yang tak kalian sengaja, akan tetapi (berdosa) apa yang disengaja oleh hati kalian. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


               Para ahli tafsir berpendapat bahwa sebab turunnya (asbabun nuzul) ayat tersebut berkenaan dengan Zaid bin Haritsah sebagai anak angkat Rasulullah. Dengan ayat ini Allah memerintahkan untuk mengembalikan nasab anak angkat kepada ayah yang sesungguhnya. Berdasarkan ayat itu pula Allah menyampaikan bahwa perbuatan menisbatkan anak angkat kepada ayah angkat karena ketidaktahuan (hukum) tidak berdosa. Artinya yang telah berlalu diampuni oleh Allah, tetapi ketika sudah tahu hokum namun tetap menyengaja menisbatkan nasab anak angkat kepada orang tua angkatnya, maka perbuatan tersebut merupakan dihukumi dosa.


Antara panggilan dan hilangnya nasab

Ibnu Kasir berpendapat bahwa memanggil orang lain dengan sebutan “anakku” tidak menjadi masalah bila itu dilakukan dalam rangka memuliakan dan menunjukkan rasa cinta. Ia menyandarkan pendapatnya pada hadits yang meriwayatkan bahwa sahabat Anas bin Malik pernah dipanggil oleh Rasulullah dengan panggilan “wahai anakku”.  

Merujuk pada pendapat terserbut dan pernyataan Allah dalam Ayat 4 surat al Ahzab “dan tidaklah Allah menjadikan yang kamu panggil anak(ku) itu menjadi anakmu”

 وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ

maka panggilan anakku dari guru ke murid, atau ustadz ke santri, atau pangilan saying dari yang tua kepada yang muda tidaklah termasuk yang dilarang. Yang dilarang ialah menghilangkan nasab.

Dalam tataran praksis kontemporer, larangan ini lebih tepat dipahami sebagai larangan menisbatkan anak angkat kepada orang tua angkat terutama dalam mencantumkan nama ayah dan/atau ibu pada dokumen administrasi kependudukan, terutama pada Akta Kelahiran dan Kartu Keluarga.

Islam tidak melarang umatnya untuk mengasuh, mendidik, dan mengadopsi seorang anak. Bahkan mengangkat anak  dapat digolongkan sebagai kebaikan sebagaimana yang dianjurkan oleh Islam. Meski demikian, kebaikan tidak boleh dilakukan dengan mengabaikan ketentuan agama. Dalam konteks ini, nilai kebaikan mengangkat anak dengan mengasuh, membimbing dan mendidik anak angkat tidak boleh dilakukan dengan menghilangkan nasabnya kepada orang tua yang sebenarnya.

Dalam Islam, anak angkat tetaplah anak bagi orang tua yang melahirkannya dan selamanya tidak akan pernah berubah menjadi anak bagi orang yang mengadopsi. Ketika anak angkat dinisbatkan kepada ayah dan ibu angkat, maka akan banyak persoalan penyerta. Misalnya, saat seorang anak perempuan angkat hendak melangsungkan pernikahan maka pihak KUA akan menetapkan dan menuliskan nama ayah dan walinya berdasarkan nama yang tercantum di akta kelahiran. Padahal nama ayah yang tercantum pada akta kelahiran dan Kartu keluarga tersebut adalah nama orang tua angkat, bukan orang tua yang semestinya. Padahal dalam onteks wali nikah, ayah angkat tidak sah menjadi wali.  Bila hal ini terus ditutupi, akad nikahnya tidak sah secara syariat. Demikian juga akan muncul masalah terkait waris.

Allâhu a’lam.
Sebelumnya
Berikutnya

0 comments: