Ada praktek sosial dalam masyarakat “mengangkat” anak atau adopsi yang dalam istilah fiqh disebut hadhanah. Sebabnya ada beberapa, antara lain karena sudah lama menikah tidak memiliki keturunan, atau karena membantu orang yang secara ekonomi lemah sehingga terbebani dengan banyaknya anak, atau karena menemukan anak yang dibuang dan tidak sedikit yang disebabkan menutup aib karena lahir tanpa ayah sebab kehamilan sebelum menikah.
Dalam
Islam, adopsi atau hadhonah pada dasarnya diperbolehkan dengan tidak
menghilangkan nasab anak. Pada kenyataannya tidak sedikit praktik adopsi dilakukan
dengan menisbatkan nasab anak angkat kepada orang tua angkatnya, sehingga nasab
anak kepada orang tua kandungnya seakan terputus. Tak hanya nasab yang
terputus, praktik adopsi tak jarang juga mengakibatkan hubungan si anak dengan
orang tuanya benar-benar hilang hingga sang anak sama sekali tak mengenali
orang tua kandung dan keluarga asalnya. Pada gilirannya, banyak kepentingan
anak yang semestinya melibatkan orang tua kandung digantikan oleh orang tua
angkat meski hal itu acapkali melanggar aturan syariat.
Asal usul praktek adopsi
Praktik
mengadopsi anak merupakan salah satu
praktik sosial yang sudah lama berlaku. Tidak terkecuali pada bangsa Arab.
Budaya masyarakat Arab yang mengangkat seseorang sebagai anaknya akan
memperlakukan anak tersebut sebagaimana anak kandung sendiri. Bahkan mereka
menasabkan anak angkat kepada orang tua angkatnya. Hal itu pula yang dilakukan
oleh Rasulullah terhadap Zaid bin Haritsah. Zaid bin Haritsah adalah seorang
budak yang dihadiahkan oleh Khadijah kepada suaminya (Rasulullah) dan kemudian oleh Rasulullah dimerdekakan
dan diangkat sebagai anak. Rasulullah menasabkan Zaid kepada dirinya sehingga para
sahabat memanggil Zaid bin Muhammad. Bahkan Rasulullah sempat mengumumkan kepada
masyarakat dengan mengatakan, “Wahai bangsa Quraisy, saksikanlah bahwa
sesungguhnya Zaid adalah anakku. Ia mewarisiku dan aku pun mewarisinya.” (marah
Labid: darul fikri, 2007).
Islam meluruskan praktek adopsi
Praktek adopsi yang dilakukan
oleh rasulullah tersebut kemudian diluruskan oleh Allah dengan turunnya ayat 5
surat al Ahzab :
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ
اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ
مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya:
“Panggillah mereka
(anak-anak angkat itu) dengan menasabkan kepada bapak-napak mereka. Hal itu
lebih adil di sisi Allah. Apabila kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka
maka panggillah mereka sebagai saudaramu dalam agama dan maula-maula kalian.
Tidak ada dosa atas kalian di dalam apa yang tak kalian sengaja, akan tetapi (berdosa)
apa yang disengaja oleh hati kalian. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Para ahli tafsir berpendapat bahwa sebab
turunnya (asbabun nuzul) ayat tersebut berkenaan dengan Zaid bin Haritsah
sebagai anak angkat Rasulullah. Dengan ayat ini Allah memerintahkan untuk
mengembalikan nasab anak angkat kepada ayah yang sesungguhnya. Berdasarkan ayat
itu pula Allah menyampaikan bahwa perbuatan menisbatkan anak angkat kepada ayah
angkat karena ketidaktahuan (hukum) tidak berdosa. Artinya yang telah berlalu
diampuni oleh Allah, tetapi ketika sudah tahu hokum namun tetap menyengaja
menisbatkan nasab anak angkat kepada orang tua angkatnya, maka perbuatan
tersebut merupakan dihukumi dosa.
Antara panggilan dan
hilangnya nasab
Ibnu
Kasir berpendapat bahwa memanggil orang lain dengan sebutan “anakku” tidak
menjadi masalah bila itu dilakukan dalam rangka memuliakan dan menunjukkan rasa
cinta. Ia menyandarkan pendapatnya pada hadits yang meriwayatkan bahwa sahabat
Anas bin Malik pernah dipanggil oleh Rasulullah dengan panggilan “wahai
anakku”.
Merujuk
pada pendapat terserbut dan pernyataan Allah dalam Ayat 4 surat al Ahzab “dan
tidaklah Allah menjadikan yang kamu panggil anak(ku) itu menjadi anakmu”
وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ
maka panggilan anakku dari
guru ke murid, atau ustadz ke santri, atau pangilan saying dari yang tua kepada
yang muda tidaklah termasuk yang dilarang. Yang dilarang ialah menghilangkan
nasab.
Dalam
tataran praksis kontemporer, larangan ini lebih tepat dipahami sebagai larangan
menisbatkan anak angkat kepada orang tua angkat terutama dalam mencantumkan
nama ayah dan/atau ibu pada dokumen administrasi kependudukan, terutama pada
Akta Kelahiran dan Kartu Keluarga.
Islam
tidak melarang umatnya untuk mengasuh, mendidik, dan mengadopsi seorang anak.
Bahkan mengangkat anak dapat digolongkan
sebagai kebaikan sebagaimana yang dianjurkan oleh Islam. Meski demikian,
kebaikan tidak boleh dilakukan dengan mengabaikan ketentuan agama. Dalam konteks
ini, nilai kebaikan mengangkat anak dengan mengasuh, membimbing dan mendidik
anak angkat tidak boleh dilakukan dengan menghilangkan nasabnya kepada orang
tua yang sebenarnya.
Dalam
Islam, anak angkat tetaplah anak bagi orang tua yang melahirkannya dan
selamanya tidak akan pernah berubah menjadi anak bagi orang yang mengadopsi. Ketika
anak angkat dinisbatkan kepada ayah dan ibu angkat, maka akan banyak persoalan penyerta.
Misalnya, saat seorang anak perempuan angkat hendak melangsungkan pernikahan
maka pihak KUA akan menetapkan dan menuliskan nama ayah dan walinya berdasarkan
nama yang tercantum di akta kelahiran. Padahal nama ayah yang tercantum pada
akta kelahiran dan Kartu keluarga tersebut adalah nama orang tua angkat, bukan
orang tua yang semestinya. Padahal dalam onteks wali nikah, ayah angkat tidak sah
menjadi wali. Bila hal ini terus
ditutupi, akad nikahnya tidak sah secara syariat. Demikian juga akan muncul
masalah terkait waris.
0 comments: