Friday, May 27, 2022

Otentik : Tulisan Pramono U. Tanthowi mengenang Buya Syafii Ma'arif



Selama menjabat sbg Ketua Umum PP Muhammadiyah (1999-2005), Buya Syafii mendapat dukungan finansial dari bbrp pengusaha Muhammadiyah utk mendukung mobilitasnya. Terutama jika ada undangan mendadak dari PWM/PDM di berbagai daerah. Buya tdk mau merepotkan staf di sekretariat. Uang yg diterima Buya itu digunakan utk membeli tiket pesawat (PP), penginapan, serta sumbangan utk PWM/PDM atau Amal Usaha yg dikunjungi. Tradisi di Muhammadiyah memang begitu. Pimpinan yg diundang ke daerah bukannya diberi amplop. Kebanyakan malah ninggalin amplop. 


Suatu ketika, beberapa minggu menjelang Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tahun 2005. Salah satu pengusaha bercerita, bahwa Buya menyerahkan laporan secara lengkap soal uang itu: tanggal berapa saja diterima, jumlahnya berapa, dan total uang yg diterima. Lalu ada juga rincian pengeluaran: tanggal berapa pergi ke mana, harga tiket (PP) berapa, biaya penginapan, serta amplop tinggalan. 


Dari laporan itu ternyata masih ada sisa uang kira2 Rp. 19 Juta. Pengusaha itu bercerita bahwa Buya bertanya, sisa uang itu harus dikembalikan ke mana. Pengusaha itu setengah tdk percaya. Ia bahkan tdk pernah menghitung uang yg diberikan ke Buya, tapi malah Buya yg mencatat lengkap berapa yg diterima, berapa yg dikeluarkan, berapa sisanya, dan masih ingin mengembalikan sisanya. 


Uang Rp. 19 Juta, meski itu tahun 2005, tentu hanya receh bagi tokoh sekelas Ketua Umum PP Muhammadiyah. Tapi begitulah Buya. Ia terbiasa hidup bersahaja. Ia tdk akan mengambil yg bukan haknya. Ia juga seperti tdk butuh apa2. Kediriannya sdh sangat besar, jauh melebihi segala aksesoris, apakah itu berupa baju, barang2 bermerk, rumah, kendaraan, atau ajudan. Dan itu semua sikap hidup yg otentik. Bukan basa-basi, dibuat2, apalagi pencitraan. 


Itu hanya contoh kecil. Cerita2 serupa banyak sekali yg didengar para aktivis AMM pada awal tahun 2000an. Buya memang memimpin Muhammadiyah dg keteladanan. Tapi sayangnya, kami tidak mampu mencontohnya. Paling jauh kami hanya bisa menjadikannya cermin. 


Hingga suatu ketika, ada seorang senior saya pernah berkomentar gini: buya itu sikap zuhudnya terlalu ekstrim. Kita gak akan sanggup mengikutinya. Senior lain malah bilang: kalau melihat sikap hidup Buya, saya jadi merasa gak pantas kalau masuk jajaran 13 PP Muhammadiyah. 


Inna li-Llahi wa inna Ilaihi roji'un.

Selamat jalan, Buya Ahmad Syafii Maarif (31 Mei 1935 - 27 Mei 2022).


Sumber : fb Pramono U. Tantowi

Sebelumnya
Berikutnya

0 comments: