يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Artinya : Wahai orang -orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah memberikan batas antara seseorang dengan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. (Qs. Al Anfal : 24)
Setiap yang diperintahkan maupun yang dilarang oleh Allah, pasti mengandung hikmah dan bermanfaat bagi keberlangsungan hidup manusia secara keseluruhan. Seperti kewajiban shalat, meskipun perintah tersebut bersifat pribadi, setidaknya dari sisi lahiriyah hanya merupakan interaksi antara pribadi dengan tuhannya, tetapi apabila dicermati akan tampak hikmah yang terkandung dalam perintah sholat tersebut ternyata ditujukan menghasilkan implikasi sosial diluar sholat yang terangkum pada keselamatan orang lain dari perbuatan buruk orang yang melakukan shalat.
Demikian juga dengan kehidupan ini. Seorang mukmin yang menggunakan intuisi keimanannya, maka ia akan selalu berfikir bahwa kehidupan ini tidaklah berhenti di dunia, tetapi juga akan berakhir dengan kehidupan akhirat yang lebih penting dan lebih panjang jangkauan waktunya. Karena di akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya.
Pepatah Arab mengatakan :
الكيس من دان تفسه وعمل لما بعد الموت
"Orang yang bijaksana ialah orang mampu mengendalikan hawa nafsunya dan mengutamakan amal untuk kehidupan setelah ia mati."
Demikian pentingnya kebijaksanaan dan pemahaman terhadap hakekat kehidupan ini akan menjadikan hidup manusia tidak sia-sia, bahkan mampu memberikan kemanfaatan yang lebih banyak bagi orang lain. Namun, idealitas makna kehidupan tersebut ternyata tidak sejalan bahkan terkadang berbanding terbalik dengan realitas kehidupan masyarakat. Hal ini dapat ditinjau dari kecenderungan-kecenderungan manusia, yang secara garis besar terbagi kedalam dua kecenderungan.
Dalam tinjauan psikologi, ahli psikoanalisis menyimpulkan bahwa pada dasarnya manusia terbagi kedalam dua macam kecenderungan : yaitu homo celebrolis dan homo abdominalis. Kedua tipologi inilah yang mewarnai kehidupan di dunia ini.
Celebro berarti akal dan/atau hati nurani. Homo celebrolis ialah kecenderungan manusia yang menganut paham, bahwa ukuran keberhasilan hidupnya ialah apabila ia mampu memberi manfaat bagi orang lain dan lingkungannya. Orang dalam katagori ini bersemboyan agar dirinya dapat bermanfaat, bahkan berperan, dalam kehidupan masyarakat. Hati mereka baru merasa puas dan tenteram apabila dirinya berguna bagi masyarakat. Kecenderungan kedua, ialah homo abdominalis. Abdominal berarti perut. Kelompok ini menjadikan kepemilikan/kekayaan sebagai ukuran keberhasilan pribadi. Dengan demikian tipe ini berpedoman bahwa parameter kesuksesan ialah apabila ia secara lahiriyah memiliki harta yang banyak, kedudukan yang tinggi maupun status social lain yang bersifat assesories, seperti kepemilikan rumah, mobil, maupun harta benda lainnya. Dalam batas tertentu, keinginan untuk memiliki harta, pangkat, jabatan dan kedudukan adalah sifat dasar manusia, namun demikian apabila kecenderungan tersebut telah menjadi ukuran keberhasilannya, maka akan sangat berbahaya dan merugikan banyak pihak. Hal ini terjadi karena kecenderungan tersebut telah mengalahkan akal dan hati nuraninya sehingga akhirnya cenderung menghalalkan segala macam cara dan melupakan norma-norma sosial, bahkan agama.
Saat ini, tampaknya sifat dan kecenderungan manusia yang suka terhadap kemegahan dan kemewahan duniawi seraya melupakan norma-norma susila dan agama merupakan fenomena yang lebih menonjol dibanding keinginan seseorang untuk berguna dan memberi manfaat kepada sesama. Lihatlah betapa banyak orang yang dalam kehidupannya hanya memburu kemulyaan yang diukur dengan pemenuhan kebutuhan perut dan gemerlap kemewahan duniawi. Hal ini sesuai dengan prediksi Nabi Muhammad 15 abad yang lalu, yang menyatakan :
سياء ت على الناس زمان همتهم بطونهم و شرافهم متاعهم و قبلتهم نساءهم و دينهم دراهيمهم
“Akan datang suatu masa, dimana perhatian utamanya ialah urusan perut, kemulyaan diukur dengan kepemilikan harta, perhatian (qiblat) mereka adalah wanita dan uang menjadi agamanya.” (HR. Ad-Dailamy & Thabraniy)
Dari hadits ini dapat diketahui bahwa kecenderungan manusia yang lebih mementingkan kemewahan duniawi telah menjadi fenomena umum dan melalaikan norma-norman susila dan agama. Maraknya korupsi, perampokan, pencurian, pelacuran dan fenomena social lainnya adalah bukti kebenaran hadits tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa hakekat pembinaan kehidupan beragama sampai saat ini belum berhasil, kalau tidak boleh dikatakan gagal. Agama hanya merupakan formalitas dan ritual, dan belum menjadi akhlaq manusia. Ajaran agama hanya dilaksanakan terbatas pada masjid dan ruang-ruang terbatas lainnya, dan tidak merasuk kedalam sanubari pemeluknya sehingga mampu mewarnai kehidupan mereka.
Ketika ditanya oleh seseorang tentang ajaran Islam yang paling berat dan paling ringan, Rasulullah menjawab :
الينه اشهد ان لا اله الا الله و ان محمدا عبده و رسوله و اشده يا اخا العالية الامانة انه لا دين لمن لا امانة له و لا صلاة ولا زكاة له
“Sebagian ajaran Islam yang ringan adalah bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan persaksian bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. Adapun ajaran yang berat ialah menjada dan menunaikan amanah. Sesungguhnya tidak disebut beragama orang yang tidak amanah, tidak sholat dan tidak zakat.” (HR. Al Bazzar)
Menjaga kepercayaan (amanah) mempunyai cakupan yang sangat luas, mulai dari lingkup terkecil didalam keluarga, pekerjaan, jabatan, dan masyarakat sesuai dengan tanggungjawab masing-masing. Integritas moral terhadap pengemban kepercayaan inilah yang sekarang masih kronis melanda masyarakat dan bangsa kita. Pejabat dan pemegang amanah tidak lagi menjadikan jabatan yang dipercayakan kepadanya sebagai sebuah tanggungjawab yang harus ditunaikan melainkan lebih menganggap jabatan, pangkat dan kedudukan yang diperoleh adalah hasil kerja keras dan usahanya sendiri, sehingga ia menganggap semua adalah miliknya sendiri. Dari sinilah awal kurupsi dan berbagai penyimpangan terjadi. Dalam sebuah khutbahnya, Abu Bakar Ash-shiddiq menyinggung kecenderungan buruk manusia, khususnya para pejabat :
اتخد الفيء دولا و الامانة مغنما و اللزكاة مغرما
harta Negara menjadi rebutan, kepercayaan/amanah rakyat/Negara dilupakan dan tidak terurus dan enggan membayar zakat karena merasa kehilangan” ( Atsar Riwayat At-Tirmidzi)
Demikianlah, betapa kecenderungan manusia untuk mementingkan diri sendiri, mengejar kesuksesan diri dengan mengesampingkan atau bahkan menyikut orang lain telah menjadi kecenderungan umum bangsa ini, oleh karena itulah sudah saatnya kita melakukan introspeksi dan mawas diri untuk menjadi seorang yang mampu memberikan kemanfaatan kepada orang lain dengan mengikis dan mengendalikan kecenderungan kenikmataan sesaat yang lebih bersifat assesories duniawi.
Marilah kita kembali kepada Hadits Nabi yang sangat masyhur ;
خير الناس انفعهم للناس
“Sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi manusia lainnya”.
Apabila kita cermati hadits ini, maka sebetulnya dalam kehidupan ini akan terjadi harmoni dan keselarasan dalam masyarakat sehingga akan terwujud masyarakat yang tenang dan tenteram lahir dan bathin, tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan dan adanya pihak-pihak yang dirugikan. Apabila kita mampu menyikapi kehidupan ini dengan baik, maka kebahagiaan dunia akhirat pasti akan dapat kita raih. Semoga…
0 comments: