Dari Abu Hurairah, Bahwa Nabi Bersabda : " Apabila kamu hendak mendirikan sholat, maka sempurnakan wudhu, kemudian menghadap kiblat dan bertakbirlah...”( HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan perhitungan astonomis (falaq) tanggal 27 dan 28 Mei pada jam 16.18 WIB, atau tanggal 15 dan 16 Juli pukul 16.26 mataharai tepat berada di atas kota Makkah (Ka’bah). Keadaan itu dalam ilmu falaq disebut istiwa’ a’dhom (istiwa’ utama) yang kemudian kondisi tersebut dapat digunakan untuk meluruskan arah qiblat dengan menggunakan bayangan matahari. Kegiatan meluruskan arah qiblat dengan menggunakan bayangan matahari tersebut dinamakan rusydul qiblat.
Istiwa’ adalah peristiwa dimana posisi matahari tepat berada diatas kepala kita (tengah hari). Dalam kaitan dengan ibadah sholat, istiwa adalah peristiwa dimana matahari berada diatas tempat sholat kemudian menjadi pedoman masuknya waktu sholat dzuhur yaitu sesaat setelah matahari tergelincir. (zawal asy’syamsi),
Bagi umat Islam, peristiwa istiwa’ a’dham ini menjadi penting karena keberadaan ka’bah didalam Masjidil Haram merupakan arah yang harus dituju oleh setiap orang yang akan melaksanakan shalat , dan keberadaan matahari diatas Ka’bah (kota Makkah) menjadi petunjuk yang sangat mudah dan akurat meluruskan arah qiblat kita.
Meski demikian, kegiatan meluruskan arah qiblat, dengan menggunakan bayangan matahari memerlukan beberapa persyaratan, diantaranya : 1) kita harus mengetahui saat yang tepat keberadaan matahari diatas Ka’bah, 2) tempat yang akan diluruskan arah kiblatnya harus terbuka sehingga memungkinkan sinar matahari dapat menimbulkan bayangan, 3) pada jam tersebut keadaan harus terang, karena kalau mendung tidak akan mendapatkan bayangan benda, 4) benda/tongkat yang digunakan harus llurus dan dipasang dengan pada posisi tegak lurus diukur dengan menggunakan bandul, dan 5) jam yang digunakan harus dikalibrasi (dicocokkan) dengan waktu GMT.
Pentingnya kegiatan rusydul qiblat (meluruskan arah qiblat) ini tidak terlepas dari pembahasan yang didasarkan dalil syar’i. Oleh karena itu berikut beberapa hal yang perlu kita pahami.
Dalil Arah Kiblat
Berdasarkan hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, nabi bersabda : “.....apabila kami (akan) mendirikan shalat, sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah kiblat dan bertakbirlah...”.
Berdasarkan hadits ini, maka seluruh ulama bersepakat bahwa menghadap kiblat merupakan syarat sahnya shalat. Namun demikian, ada dua pendapat besar tentang apa dan dimana kiblat itu.
Pendapat pertama (diantaranya kaum malikiyah dan Hanafiyah) menyatakan bahwa yang dimaksud Kiblat ialah Masjidil Haram. Hal ini didasarkan pada Firman Allah Qs. Al Baqorah (2) 150 :
“... Dan dimanapun kamu berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram...”.
Pendapat kedua (kaum syafi’iyah dan Hanabilah) menyatakan bahwa yang dimaksud kiblat adalah Ka’bah. Hal ini didasarkan pada hadits Riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas :
“....Ketika Nabi saw masuk ke dalam Baitullah (ka’bah), beliau berdo’a di setiap sudutnya dan tidak salat sehingga Beliau keluar dari Baitullah, setelah keluar Beliau salat dua raka’at dengan menghadap (di hadapan) Ka’bah, dan (Nabi saw) bersabda: ini adalah Kiblat :
Pengertian Kiblat
Kiblat ialah arah yang merujuk ke suatu tempat dimana bangunan Ka’bah berada.
Ka’bah adalah bangunan berbentuk Kotak yang terletak di tengah-tengah Masjidil Haram kota Makkah, Saudi. Bangunan ini disebut juga sebagai Baitullah, dan merupakan pusat ibadah Umat Islam seluruh dunia.
Dari pengertian ini, maka perbedaan tentang yang dimaksud kiblat adalah Masjidil Haram atau Ka’bah dapat dipertemukan.
Hukum (terkait) Arah Kiblat
Berangkat dari pembahasan tentang kiblat dan arah kiblat tersebut, terdapat juga beberapa kajian yang terkait, yang oleh ulama fiqh dibedakan menjadi beberapa hukum, yaitu :
1. Wajib: diantara kegiatan yang diwajibkan menghadap kiblat ialah ketika shalat, baik fardhu ataupun shalat sunat, ketika melakukan tawaf di Baitullah, serta ketika menguburkan jenazah maka harus diletakkan miring bahu kanan menyentuh liang lahat dan muka menghadap kiblat.
2. Sunnah: seperti ketika membaca Al-Quran, berdoa, berzikir, tidur (bahu kanan dibawah) dan lain-lain kegiatan yang pernah dicontohkan oleh nabi.
3. Haram; yaitu ketika buang air besar atau kecil ditanah lapang/tempat terbuka tanpa ada dinding penghalang (sutrah).
4. Makruh: Makruh membelakangi kiblat dalam beberapa kegiatan seperti buang air besar atau kecil meski terhalang dinding, tidur dengan mengarahkan kaki ke kiblat, dan hal lain.
Qiblat Yakin, dhan dan Ijtihad
Imam Syafi’i membagi lagi bahasan tentang kiblat menjadi tiga macam, yaitu 1) Kiblat yakin, yaitu ketika kita secara nyata dengan mata kita dapat melihat Ka’bah, hal ini terjadi ketika kita berada didalam masjidil Haram; 2) kiblat Dhan, yaitu ketika kita berada diluar masjidil haram, tidak dapat melihat Ka’bah tetapi dapat menyaksikan langsung Masjidl Haram, dan 3) kiblat ijtihad, ketika kita tidak dapat melihat Ka’bah dan Masjidil Haram, seperti kita di Indonesia. Oleh karena itu kemudian kitaberusaha (berijtihad) mengarahkan shalat kita kearah Ka’bah (masjidl haram).
Meluruskan Arah Kiblat
Meski ulama bersepakat bahwa menghadap kiblat merupakan syarat sahnya shalat, namun sebagian ulama berpendapat bahwa ketidak tepatan atas arah kiblat, khususnya yang tidak mampu melihat secara langsung Ka’bah, tidak serta-merta menggugurkan keabsahan sholat.
Namun demikian, tentu ketentuan menghadap kiblat sebagai syarat sahnya sholat menuntut kita untuk secara terus menerus berusaha mengarahkan sholat kita lebih tepat atau setidaknya mendekati arah yang tepat.
Hal ini penting, terlebih ketika jarak antara tempat sholat kita (indonesia) dengan Ka’bah (Makkah) sekirar 8.361 Km. Maka karena jarak yang cukup jauh tersebut, pergeseran satu derajat akan sangat berpengaruh terhadap ketepatan arah shalat kita.
Dengan demikian, kita perlu menyikapi hal tersebut dengan positif, bahwa kita tidak perlu resah dan mencari kesalahan siapa yang membangun masjid kita, bagaimana mengukurnya dst, melainkan bagaimana upaya kita agar kedepan sholat kita lebih sempurna.
Oleh sebab itu gerakan meluruskan arah kiblat perlu kita lakukan tanpa harus membongkar masjid kita namun cukup dengan membenarkan shoff masjid kita. Dengan pendekatan persuasif dan penjelasan yang baik, insya’allah kegiatan tersebut dapat diterima oleh sekua masyarakat dan tokoh agama. Ceritera bahwa KH. Ahmad Dahlan diusir dari kampung Kauman ketika merubah shoff musholla di Kauman cukuplah menjadi tonggak betapa menyempurnakan ibadah itu penting dan terus menerus perlu kita lakukan.
0 comments: