HUKUM
PERKAWINAN DALAM ISLAM[1]
Oleh
: R Agung Nugraha[2]
I.
PENGERTIAN
Perkawinan dalam Islam disebut Pernikahan.
Nikah menurut pengertian bahasa adalah hubungan suami istri. Secara istilah
(terminology) Nikah adalah …..
Dari berbagai rumusan pengertian nikah, kemudian
diakomodir dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu ; Perkawinan
(-pernikahan-) adalah ikatan lahir dan batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri, untuk membentuk
keluarga/rumahtangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
II.
SYARIAT
NIKAH
1. Manusia diciptakan untuk saling mengenal (Qs.
Al Hujurat : 13)
2. Ada rasa cinta (Qs. Ali Imron : 14, Ar-rum :
21)
3. Perintah NIkah (An-Nur : 32)
4. Tujuan NIkah (Ar-rum : 21)
5. Halangan Nikah (An-Nisa : 23 dan An Nur : 3)
6. Umur Kehamilan (Al Ahqaf : 15)
7. Umur / batasan menyusui (Al Baqarah : 233,
Luqman : 14)
8. Perceraian (Al baqoroh : 231-232, 236 dan
At-Thalaq : 1)
9. Tuduhan Zina (An Nur : 4, 6, 24)
10. Masa Iddah (At Thalaq : 1, Al Ahzab : 49)
11. Rujuk (Al Baqoroh : 230)
III. SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Setiap orang yang akan menikah harus memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh syari’at Islam maupun syarat administrative, yaitu :
1. Syarat dari sisi syariat :
1) Islam
Pernikahan hanya diperbolehkan bagi orang
yang seagama. Tidak diperbolehkan pernikahan beda agama. Orang Islam hanya
nikah dengan orang Islam.
2) Baligh (Dewasa)
a. Ukuran Kedewasaan tidak menggunakan batasan
menstruasi bagi wanita dan mimpi basah bagi laki-laki; melainkan dengan batasan
usia yaitu 21 tahun. Hal ini dipahami bahwa pada usia tersebut diharapkan calon
pengantin telah siap dan matang baik dari sisi fisik maupun mental.
b. Apabila Calon pengantin belum mencapai umur
21 tahun tetapi diatas 19 tahun (bagi caten pria) dan diatas 16 tahun (bagi
caten wanita) dapat melangsungkan pernikahan dengan tambahan ijin dari orang
tua/wali. (Blangko Model N5).
c. Apabila Calon pengantin kurang dari 19 Tahun
(caten Pria) atau 16 Tahun (caten Wanita); pernikahan dapat dilaksanakan
setelah mendapatkan ijin / Dispensasi dari Pengadian Agama.
Pengaturan batasan umur ini dibuat dalam
rangka mewujudkan tujuan syari’at nikah (maqasid at-tasyri’) yaitu
terwujudkan keluarga yang bahagian dan kekal (sakinah, mawaddah dan rahmah).
3) Berakal dan Merdeka (sehat jasmani dan rohani
dan tidak dalam keadaan terpaksa)
Pernikahan yang akan dilaksanakan oleh calon
suami dan calon istri dalam keadaan sadar, tidak dalam keadaan terpaksa.
Dibuktikan dengan adanya surat persetujuan Nikah (Model N3)
4) Tidak ada halangan untuk nikah
Antara Calon suami dan calon istri harus
terbebas dari halangan/larangan nikah, baik yang bersifat tetap (muabbad)
maupun sementara. Halangan-halangan nikah ini akan dijelaskan tersendiri.
2. Syarat administrative :
1) FC KTP & FC KK
2) FC Akta Kelahiran dan FC Ijazah terakhir.
3) Model N1-N2, N3, N4 dan N7 dari Pemerintah
Desa/Kalurahan.
4) Model N5 apabila calon pengantin belum
berusia 21 tahun.
5) Model N6 apabila calaon suami/calon istri
duda/janda.
6) Akta Kematian atau Akta Cerai apabila calon
pengantin berstatus Duda/Janda.
7) Dispensasi Pengadilan Agama; apabila usia
Calon Pengantin pria kurang dari 19
tahun dan calon pengantin putrid kurang dari 16 Tahun..
8) Dispensasi Camat apabila waktu pelaksanaan
akad nikah kurang dari 10 hari kerja dari tanggal pendaftaran.
9) Bukti Imunisasi (TT) dari puskesmas.
10) FC Surat nikah orang tua calon pengantin
putri.
IV. HALANGAN NIKAH
Tidak setiap orang (pria ataupun wanita)
dapat melangsungkan pernikahan. Meskipun sudah saling suka (cinta) namun
keduanya harus dapat dipastikan terbebas dari larangan nikah yang bersifat tetap/permanen
ataupun yang sifatnya sementara.
1.
Halangan
Tetap
Yang dimaksud dengan halangan tetap, ialah
halangan yang berlaku selamanya; meliputi :
1) Halangan karena hubungan Nasab
(hubungan darah), sebagaimana disebutkan dalam An Nisa (4) : 23; yaitu :
a. Ibu, ibunya ibu, ibunya ayah (dan seterusnya
ke atas)
b. Anak, anaknya anak (dan seterusnya kebawah)
c. Saudara kandung, saudara seayah, saudara
seibu.
d. Saudara ayah
e. Saudara ibu
f. Anak dari saudara.
2) Halangan karena hubungan Rodho’ah
(hubungan persusuan)
a. Saudara sesusuan
b. Ibu Susu
3) Halangan karena hubungan Mushoharoh
(hubungan perbesanan) sebagaimana disebutkan dalam An Nisa (4) : 22 dan 23;
a. Perempuan yang telah dinikahi ayahnya.
b. Perempuan yang telah dinikahi anaknya.
c. Ibu mertua, ibunya ibu mertua.
d. Anak perempuan istri (anak bawaan istri) è bila istrinya telah digauli.
2.
Halangan
Sementara
Yang dimaksud larangan/halangan nikah
sementara, ialah halangan nikah yang berlaku untuk beberapa waktu tertentu,
antara lain :
1) Wanita yang masih dalam masa Iddah (masa
menunggu) è(An
Nisa (4) : 23) dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Wanita yang cerai dari suaminya
; masa iddahnya 3 bulan (90 hari) sejak tanggal putusnya perkawinan yang telah
mempunyai kekuatan hokum tetap.
b. Wanita yang ditingal mati suaminya:
masa iddahnya adalah empat bulan lebih sepuluh hari (130 hari) sejak kematian
suaminya.
c. Wanita yang cerai atau ditinggal mati
suaminya sedangkan ia dalam keadaan hamil;
masa iddahnya sampai melahirkan bayi yang dikandung.
2) Mengumpulkan dua saudara (An Nisa (4) : 23);
yaitu menikahi sekaligus dua orang wanita kakak beradik, atau wanita dengan
bibinya (baik jalur ayah maupun jalur ibu)
3) Pernikahan yang kelima; karena maksimal
menikahi 4 wanita.
4) Perempuan yang bersuami è An NIsa (4) : 24
5) Mantan istri yang sudah ditalak tiga (bain
kubro)è Al
Baqoroh (2) : 230.
6) Dalam keadaan ihrom (Haji)
V. RUKUN PERKAWINAN
Pernikahan baru dinyatakan sah apabila
memenuhi rukun nikah, yaitu sebagai berikut :
1. Calon Suami & Istri
Baik calon suami maupun calon istri harus
memenuhi syarat-syarat syar’I maupun syarat administrative dan terbebas dari
halangan nikah sebagaimana telah disebutkan diatas.
2. Wali NIkah
Wali nikah adalah orang yang berhak
menikahkan calon pengantin perempuan. Wali nikah terdiri dari dua macam
sebagaimana diatur dalam PMA No. 30 Tahun 2005, yaitu :
1) Wali Nasab
Wali nasab adalah pria beragama Islam seorang
pria yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah
menurut hokum Islam. Wali nasab dapat dirinci sebagai berikut :
a. Ayah kandung, ayahnya ayah/kakek (dan terus
ke atas)
b. Saudara kandung (seayah dan seibu) dan
saudara seayah
c. Saudara laki-laki ayah (Paman) dan
keturunannya yang laki-laki
2) Wali Hakim
Wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan yang ditunjuk oleh menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah
bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali atau walinya tidak
memenuhi syarat, mafqud, adhal.
Keberadaan Wali hakim ini didasarkan pada
Hadits Nabi : “…. Sultan (pemerintah) menjadi wali bagi mempelai wanita
yang tidak mempunyai wali”.
3. Ijab & Qabul
Ijab ialah ikrar/pernyataan wali (atau
wakilnya) menikahkan wanita yang ada didalam perwaliannya (saya nikahkan fulanah)
; sedangkan Qabul adalah ikrar/pernyataan calon suami (atau wakilnya) yang
berisi kesangupan menerima pernikahan tersebut.(saya terima nikahnya fulanah)
4. Saksi dua orang
Setiap pernikahan harus disaksikan minimal
oleh dua orang saksi dengan syarat-syarat :
1) Islam
2) Baligh
3) Berakal dan merdeka
4) Mendengar
5) Melihat
6) Adil
VI. PENCATATAN NIKAH
Apabila mengacu pada kitab-kitab fiqh yang
ada, masalah pencatatan nikah memang tidak dibahas. Artinya persoalan
pencatatan nikah merupakan sesuatu yang bisa dikatakan (relative) baru, meski
demikian bukan berarti tidak ada dasarnya sama sekali.
Di Negara-negara maju, tidak terkecuali
Negara Islam seperti Turki, Malaysia dan di arab (timur tengah), pencatatan
pernikahan juga menjadi sesuatu yang niscaya. Sedangkan di Indonesia,
pencatatan nikah,didasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974.
Umumnya kewajiban pencatatan nikah dipahami
berdasarkan pertimbangan bahwa pernikahan, meskipun merupakan peristiwa agama,
ia juga mempunyai implikasi social maupun aspek lainya. DIantaranya persoalan
hak dan kewajiban masing-masing pihak yang menikah, juga anak yang lahir dari
pernikahan tersebut, juga aspek administrasi kenegaraan.
Perintah mencatat nikah juga dinisbatkan pada
ayat yang mengatur tentang perintah mencatatkan transaksi hutang-piutang
sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Baqarah : 282 “Apabila kamu melakukan
perjanjian hutang-piutang untuk jangka waktu tertentu, maka tulislah…” (idza
tadayantum bidainin ila ajalin musamma…faktubuh..)
Dari ayat itu, urusan hutang piutang saja
diperintahkan untuk dicatat apalagi terhadap pernikahan yang mempunyai
implikasi yang sangat kompleks sebagaimana telah disebut di atas.
VII. PERCERAIAN
Dalam Islam, perceraian memang dibolehkan.
Akan tetapi hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat dibenci oleh Allah. Ia
hanyalah pintu darurat bagi keluarga (pasangan suami istri) yang sudah tidak
mungkin lagi diselamatkan (dipertahankan).
Setiap pasangan suami istri tentu akan
mengalami ‘konflik’; namun demikian tidak setiap perselisihan harus diakhiri
dengan perceraian. Disinilah pentingnya fungsi mediasi sebagaimana diamanatkan
QS. An NIsa : 35 (maka datangkanlah penengah dari pihak laki-laki dan penengah
dari pihak perempuan);
Berdasarkan ayat diatas, maka putusnya
perceraian hanya terjadi apabila dilakukan dihadapan hakim pengadilan agama
setelah sebelumnya dilakukan upaya perdamaian di setiap sidang.
VIII. PENUTUP
Perkawinan atau pernikahan adalah ikatan suci
lahir dan batin yang harus senantiasa diupayakan menjadi bahagia dan kekal
(sakinah, mawaddah, wa rahmah).
Upaya ini harus diwujudkan sejak awal dengan
mengetahui hakekat pernikahan beserta hukum-hukum yang terkait.
0 comments: