Friday, October 12, 2007

Melestarikan Amaliah Ramadhan dan Sabar



Allahu Akbar 2 x Walillahillhamd

Jama’ah shalat Id Rahimakumullah, marilah bersama kita panjatkan rasa puji dan syukur kita kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat dan ridha-NYa kita telah diperkenankan bertemu bulan Ramadhan, berkesempatan melaksanakan serangkaian ibadah didalamnya hingga pada akhirnya kita akhiri dengan membayar zakat dan melaksanakan Shalat Idul Fitri dipagi yang berbahagia ini. Semoga seluruh ibadah yang telah kita laksanakan diterima dan dicatat sebagai wujud taqwa kita kepada Allah. Amien..
            Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad, keluarga, sahabat dan seluruh umatnya, insyaallah termasuk kita semua yang hadir di majelis yang mulia ini.
Allahu Akbar 2 x Walillahillhamd
Kita tentu bersyukur dan bergembira karena telah diberikan kesempatan menyelesaiakan rangkaian ibadah Ramadhan tahun ini. Namun bersamaan dengan itu tentu kita merasa sedih, karena kesempatan meraup rahmat dan ampunan Allah akan segera  meninggalkan kita semua, sementara kita tidak tahu apakah masih akan diberi kesempatan bertemu lagi dengan bulan Ramadhan yang akan datang. Pertanyaannya ialah, apakah dengan berakhirnya Ramadhan, habiskah kesempatan kita untuk menangguk pahala dan ridha Allah?  Jawabnya ternyata tidak…
Ramadhan hanyalah proses pelatihan, Puasa merupakan salah satu ibadah yang disyariatkan Allah. Tujuan perintah puasa, dan ibadah – ibadah yang lain, tidak lain adalah agar kita menjadi manusia yang semakin hari semakin meningkat ketaqwaannya. Untuk mewujudkan hal itu, maka kita harus mampu meningkatkan kualitas ibadah kita. Ibadah yang berkualitas adalah ibadah yang mampu terinternalisasi dalam diri seorang hamba dan tercermin dalam diri dan kepribadian seseorang diluar konteks ibadah itu sendiri. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara agar ibadah yang dilakukan dapat berkualitas sehingga terinternalisasi dan terimplementasi dalam denyut kehidupan kita dan bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan ?

Allahu Akbar 2 x, walillahilhamd
Agar ibadah yang kita kerjakan semakin berkualitas dan sesuai dengan kehendak Allah dan tuntunan Rasul. Ada tiga hal yang harus kita perhatikan, yaitu :
1.      Mengerti dan memahami kaifiyah ibadah
Untuk meningkatkan kualitas suatu ibadah, kita harus senantiasa mempelajari, mengerti dan memahami kaifiyah ibadah yang akan kita lakukan, baik yang berupa ketentuan, tata cara, syarat dan rukunnya. Disinilah kemudian kita harus selalu berusaha menggali ketentuan-ketentuan yang terkait dengan ibadah yang kita lakukan. Dalam hal puasa, misalnya, dari sisi fiqh, pengertian puasa adalah menahan makan, minum dan hubungan antara suami istri sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari disertai niat karena Allah. Sehingga rukun Puasa adalah pertama niat dan kedua, menahan makan, minum dan jima’ (hubungan suami istri).  Apabila kita mampu memenuhi dua rukun tersebut, maka dari sisi fiqh kewajiban puasa itu telah gugur (tertunaikan).
Lebih dari itu, kita juga harus mengerti dan paham bahwa selain menahan makan, minum dan hubungan suami istri, seorang yang berpuasa disunnahkan untuk makan sahur dan mengakhirkannya, mendahulukan berbuka dengan yang manis (kurma), memperbanyak dzikir, sholat sunnat, tadarus al-qur’an, shodaqah, dst.
Kita juga harus mengetahui larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa, serta tindakan dan perilaku yang dapat membatalkan ibadah puasa atau yang akan mengurangi bahkan menghilangkan pahala puasa.
Ketentuan, tata cara, syarat dan rukun puasa tersebut harus selalu kita kaji dan secara bertahap dan terus menerus kita tingkatkan kualitas maupun kuantitasnya. Demikian juga dengan larangan-larangan tersebut harus terus-menerus kita hindarkan.
Apabila kita telah mampu memahami dan melakukan puasa sesuai dengan kaifiyah tersebut, maka kita telah mampu mmengamalkan ibadah tersebut secara baik dan benar sesuai dengan kehendak Allah dan sunnah Rasul.

2.      Mengerti dan memahami ruh (esensi) dari ibadah yang diperintahkan
Setelah mengetahui dan memahami ketentuan, tata cara, syarat dan rukun ibadah, maka tahap selanjutnya kita harus selalu berusaha memahami ruh (esensi) dari  ibadah tersebut. Artinya, meski kita telah melakukan sebuah ibadah sesuai dengan kaifiyah yang dituntunkan, hal itu belum sempurna apabila kita belum memahami esensi dari ibadah yang kita lakukan. Hal ini penting agar setiap kita berusaha menggali rahasia dibalik ibadah yang disyari’atkan.
Dalam konteks puasa, esensi dari puasa adalah mengendalikan diri dan nafsu.. Makan, minum dan hubungan suami istri hanyalah simbul atau sebagian dari nafsu manusia yang harus dikendalikan. Karena itulah orang yang berpuasa juga diperintahkan untuk meninggalkan perilaku sia-sia (laghwi, tidak produktif), kata-kata kotor (rofasy), mencela dan menjelek-jelekkan orang lain (syatam) dan masih banyak hal lain yang harus dihindari oleh orang berpuasa agar puasanya mempunyai makna dan tidak sekedar mendapat lapar dan dahaga sebagaimana sabda Nabi :
“betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu selain lapar dan dahaga”.
Dengan demikian, meskipun setiap tahun selama sebulan penuh kita mampu melaksanakan puasa, tidak makan, minum dan hubungan suami istri, namun bila  tidak memahami esensinya, kita akan selalu kembali melakukan tindakan-tindakan yang diluar pengendalian diri tersebut. Ini sama artinya dengan kita belum melakukan apa-apa.
3.      Adanya atsar dari ibadah
Setelah melaksanakan ibadah sesuai ketentuan, tata cara, syarat dan rukunnya serta mengetahui dan memahami ruh dari perintah ibadah tersebut, maka sebuah ibadah akan sempurna dan berkualitas apabila menghasilkan atsar (bekas) berupa kesalehan kita diluar ibadah. Artinya, kesalehan seseorang tidak sekedar diukur dengan terlaksananya sebuah ibadah, lebih dari itu ibadah akan berkualitas dan optimal apabila orang yang melakukan ibadah tersebut mampu menginternalisasikan ruh ibadah dan mengimplementasikannya disepanjang kehidupan.

Allahu Akbar 2 x Walillahillhamd

            Jamalah, sholat Id rahimakumullah.
            Dalam konteks inilah tampaknya kita masih harus terus melakukan muhasabah / perenungan yang dalam apakah ibadah puasa dan amaliah ramadhan yang sudah bertahun-tahun kita laksanakan itu sudah terinternalisasi dan menjadi ruh didalam kehidupan kita sehari-hari.
Dengan demikian agar ibadah seluruh rangkaian ibadah kita itu berbekas dan tidak sekedar menjadi rutinitas tahunan, sudah seharusnya kita memancangkan niat didalam diri kita untuk melestarikan amaliah ramadahn tersebut diluar bulan ramadhan. Pelestarian yang kami maksudkan ialah disamping secara lahiriah kita melanjutkan kegiatan ramadhan tersebut diluar bulan ramadhan, seperti puasa wajib kita lanjutkan dengan puasa sunnah, shalat tarawih dilanjutkan dengan shalat malam, tadarus ramadhan dilanjutkan dengan tadarus harian setelah maghrib atau setelah subuh dsb. Adapun yang bersifat kolektif/Jama’ah kita dapat melestarikan amaliah ramadhan dengan memudawamahkan shalat jama’ah, menghidupkan dan menggairahkan pengajian rutin.dan yang lainnya.
Disamping melestarikan Amaliah ibadah Ramadhan diluar bulan Ramadhan, yang juga penting adalah melestarikan hakekat (ruh) ibadah puasa yaitu sabar, jujur, mempunyai sifat malu, mengendalikan diri, peduli sesama, dan lainnya. 




Allahu Akbar 2 x Walillahillhamd
            Hadirin rahimakumullah, dalam QS Al Baqarah : 183, dijelaskan bahwa tujuan perintah puasa adalah agar kita menjadi orang yang bertaqwa.
Adapaun salah satu ciri orang taqwa ialah terwujudnya pribadi yang sabar . Apabila kita lacak lebih jauh kata sabar dalam Al Qur’an diulang lebih dari 105 kali, pertama adalah dalam surat Muzammil ayat 10. Ayat ini merupakan penyemangat bagi Nabi Muhammad dalam menghadapi halangan, rintangan bahkan intimidasi dari para penentang ajaran Islam; yaitu agar nami mempunyai ketahanan mental dan konsisten dalam memegang teguh amanah risalah Islam.
Kata shabr secara etimologis berasal sari akar kata shabara yang berarti mencegah dari kesempitan, mengendalikan diri dari penyimpangan atau menahan diri dari mengeluh.. Farid Wajdi memberikan pengertian bahwa sabar ialah kemampuan mengendalikan diri dari berbagai hal yang oleh akal dan syara’ dituntut untuk dikendalikan juga mengendalikan diri dari keluh kesah dan meninggalkan pengaduan kepada selain Allah.
Selanjutnya, disamping sabar diharapkan menjadi sifat kepribadian nabi, sabar juga harus menjadi kepribadian umat yang telah mengaku beriman kepada Allah, sebagaimana firman Allah dalam QS Ali Imron : 200



Dalam Tafsir Jami al Bayan, Abu Ja’far ath-Thabariy menjelaskan bahwa : Kata Ishbiruu : berarti keharusan bagi kaum muslimin untuk teguh mempertahankan ketaatan kepada Allah baik dalam menjalankan perintah maupun dalam menjauhi larangan-Nya Sedang kata shabiruu : berarti melebihkan atau menambah kekuatan dan ketahanan diatas ketahanan yang dimiliki oleh musuh atau penentangnya.
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa sabar bukanlah sifat pasif dan nerimo ing pandum, tetapi merupakan tindakan aktif dalam menjalankan perintah dan meninggalkan larangan tetapi dengan penuh strategi dan penuh perhitungan.

Allahu Akbar 2x walillahilhamd
Mengakhiri khutbah kali ini, selagi Ramadhan belum jauh kita tinggalkan marilah kita semua merenung sejenak, betapa sebetulnya kita masih mempunyai kesempatan yang luas untuk beribadah sebanyak mungkin, menangguk ridha Allah tidak saja terbatas di bulan Ramadhan tetapi disepanjang waktu selagi kesempatan itu masih diberikan dan disemua tempat didalam seluruh lapangan kehidupan kita.
Akhirnya, agar bermacam ibadah selama Ramadhan mempunyai atsar, seharusnya masing-masing kita memiliki target untuk me-mudawamah-kan (melanggengkan) sebagian amaliah ramadhan dalam kehidupan selepas ramadhan ini.

Marilah kita berdo’a, semoga Allah berkenan memberikan kesempatan dan kekuatan kepada kita untuk menjaga dan melestarikan amaliah ramadhan tersebut dalam 11 bulan menuju ramadhan yang akan datang.
Sebelumnya
Berikutnya

0 comments: