Allahu
Akbar 2 x Walillahillhamd
Jama’ah shalat Id Rahimakumullah, marilah bersama kita panjatkan
rasa puji dan syukur kita kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat dan ridha-NYa
kita telah diperkenankan bertemu bulan Ramadhan, berkesempatan
melaksanakan serangkaian ibadah didalamnya hingga pada akhirnya kita akhiri dengan
membayar zakat dan melaksanakan Shalat Idul Fitri dipagi yang berbahagia ini. Semoga
seluruh ibadah yang telah kita laksanakan diterima dan dicatat sebagai wujud
taqwa kita kepada Allah. Amien..
Shalawat dan salam semoga senantiasa
dilimpahkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad, keluarga, sahabat dan seluruh
umatnya, insyaallah termasuk kita semua yang hadir di majelis yang mulia ini.
Allahu
Akbar 2 x Walillahillhamd
Kita tentu bersyukur dan bergembira karena telah diberikan
kesempatan menyelesaiakan rangkaian ibadah Ramadhan tahun ini. Namun bersamaan
dengan itu tentu kita merasa sedih, karena kesempatan meraup rahmat dan ampunan
Allah akan segera meninggalkan kita
semua, sementara kita tidak tahu apakah masih
akan diberi kesempatan bertemu lagi dengan bulan Ramadhan yang akan datang.
Pertanyaannya ialah, apakah dengan berakhirnya Ramadhan, habiskah kesempatan
kita untuk menangguk pahala dan ridha Allah?
Jawabnya ternyata tidak…
Ramadhan hanyalah proses pelatihan, Puasa merupakan salah satu
ibadah yang disyariatkan Allah. Tujuan perintah puasa, dan ibadah – ibadah yang
lain, tidak lain adalah agar kita menjadi manusia yang semakin hari semakin
meningkat ketaqwaannya. Untuk mewujudkan hal itu, maka kita harus mampu meningkatkan
kualitas ibadah kita. Ibadah yang berkualitas adalah ibadah yang mampu
terinternalisasi dalam diri seorang hamba dan tercermin dalam diri dan
kepribadian seseorang diluar konteks ibadah itu sendiri. Pertanyaan selanjutnya,
bagaimana cara agar ibadah yang dilakukan dapat berkualitas sehingga
terinternalisasi dan terimplementasi dalam denyut kehidupan kita dan bagaimana
langkah-langkah yang harus dilakukan ?
Allahu Akbar 2
x, walillahilhamd
Agar ibadah yang kita kerjakan semakin berkualitas dan sesuai dengan
kehendak Allah dan tuntunan Rasul. Ada
tiga hal yang harus kita perhatikan, yaitu :
1. Mengerti dan memahami kaifiyah
ibadah
Untuk meningkatkan kualitas suatu ibadah, kita harus
senantiasa mempelajari, mengerti dan memahami kaifiyah ibadah yang akan kita
lakukan, baik yang berupa ketentuan, tata cara, syarat dan rukunnya. Disinilah
kemudian kita harus selalu berusaha menggali ketentuan-ketentuan yang terkait
dengan ibadah yang kita lakukan. Dalam hal puasa, misalnya, dari sisi fiqh,
pengertian puasa adalah menahan makan, minum dan hubungan antara suami istri
sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari disertai niat karena Allah.
Sehingga rukun Puasa adalah pertama niat dan kedua, menahan
makan, minum dan jima’ (hubungan suami istri). Apabila kita mampu memenuhi dua rukun
tersebut, maka dari sisi fiqh kewajiban puasa itu telah gugur (tertunaikan).
Lebih dari itu, kita juga harus mengerti dan paham
bahwa selain menahan makan, minum dan hubungan suami istri, seorang yang
berpuasa disunnahkan untuk makan sahur dan mengakhirkannya, mendahulukan
berbuka dengan yang manis (kurma), memperbanyak dzikir, sholat sunnat, tadarus
al-qur’an, shodaqah, dst.
Kita juga harus mengetahui larangan-larangan yang
tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa, serta tindakan dan
perilaku yang dapat membatalkan ibadah puasa atau yang akan mengurangi bahkan
menghilangkan pahala puasa.
Ketentuan, tata cara, syarat dan rukun puasa tersebut
harus selalu kita kaji dan secara bertahap dan terus menerus kita tingkatkan kualitas
maupun kuantitasnya. Demikian juga dengan larangan-larangan tersebut harus
terus-menerus kita hindarkan.
Apabila kita telah mampu memahami dan melakukan puasa
sesuai dengan kaifiyah tersebut, maka kita telah mampu mmengamalkan ibadah
tersebut secara baik dan benar sesuai dengan kehendak Allah dan sunnah Rasul.
2. Mengerti dan memahami ruh
(esensi) dari ibadah yang diperintahkan
Setelah mengetahui dan memahami ketentuan, tata cara,
syarat dan rukun ibadah, maka tahap selanjutnya kita harus selalu berusaha
memahami ruh (esensi) dari ibadah
tersebut. Artinya, meski kita telah melakukan sebuah ibadah sesuai dengan
kaifiyah yang dituntunkan, hal itu belum sempurna apabila kita belum memahami
esensi dari ibadah yang kita lakukan. Hal ini penting agar setiap kita berusaha
menggali rahasia dibalik ibadah yang disyari’atkan.
Dalam konteks puasa, esensi dari puasa adalah
mengendalikan diri dan nafsu.. Makan, minum dan hubungan suami istri hanyalah
simbul atau sebagian dari nafsu manusia yang harus dikendalikan. Karena itulah
orang yang berpuasa juga diperintahkan untuk meninggalkan perilaku sia-sia (laghwi,
tidak produktif), kata-kata kotor (rofasy), mencela dan
menjelek-jelekkan orang lain (syatam) dan masih banyak hal lain yang
harus dihindari oleh orang berpuasa agar puasanya mempunyai makna dan tidak
sekedar mendapat lapar dan dahaga sebagaimana sabda Nabi :
“betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak
mendapatkan apa-apa dari puasanya itu selain lapar dan dahaga”.
Dengan demikian, meskipun setiap tahun selama sebulan
penuh kita mampu melaksanakan puasa, tidak makan, minum dan hubungan suami
istri, namun bila tidak memahami
esensinya, kita akan selalu kembali melakukan tindakan-tindakan yang diluar
pengendalian diri tersebut. Ini sama artinya dengan kita belum melakukan
apa-apa.
3. Adanya atsar dari ibadah
Setelah melaksanakan ibadah sesuai ketentuan, tata
cara, syarat dan rukunnya serta mengetahui dan memahami ruh dari perintah
ibadah tersebut, maka sebuah ibadah akan sempurna dan berkualitas apabila
menghasilkan atsar (bekas) berupa kesalehan kita diluar ibadah.
Artinya, kesalehan seseorang tidak sekedar diukur dengan terlaksananya sebuah
ibadah, lebih dari itu ibadah akan berkualitas dan optimal apabila orang yang
melakukan ibadah tersebut mampu menginternalisasikan ruh ibadah dan
mengimplementasikannya disepanjang kehidupan.
Allahu
Akbar 2 x Walillahillhamd
Jamalah, sholat Id rahimakumullah.
Dalam konteks inilah tampaknya kita
masih harus terus melakukan muhasabah / perenungan yang dalam
apakah ibadah puasa dan amaliah ramadhan yang sudah bertahun-tahun kita
laksanakan itu sudah terinternalisasi dan menjadi ruh didalam kehidupan kita
sehari-hari.
Dengan demikian agar ibadah seluruh rangkaian ibadah kita itu
berbekas dan tidak sekedar menjadi rutinitas tahunan, sudah seharusnya kita
memancangkan niat didalam diri kita untuk melestarikan amaliah ramadahn
tersebut diluar bulan ramadhan. Pelestarian yang kami maksudkan ialah disamping
secara lahiriah kita melanjutkan kegiatan ramadhan tersebut diluar bulan ramadhan,
seperti puasa wajib kita lanjutkan dengan puasa sunnah, shalat tarawih
dilanjutkan dengan shalat malam, tadarus ramadhan dilanjutkan dengan tadarus
harian setelah maghrib atau setelah subuh dsb. Adapun yang bersifat kolektif/Jama’ah
kita dapat melestarikan amaliah ramadhan dengan memudawamahkan
shalat jama’ah, menghidupkan dan menggairahkan pengajian rutin.dan yang
lainnya.
Disamping melestarikan Amaliah ibadah Ramadhan diluar bulan Ramadhan, yang juga penting adalah melestarikan hakekat (ruh) ibadah puasa yaitu sabar, jujur, mempunyai sifat malu, mengendalikan diri, peduli sesama, dan lainnya.
Disamping melestarikan Amaliah ibadah Ramadhan diluar bulan Ramadhan, yang juga penting adalah melestarikan hakekat (ruh) ibadah puasa yaitu sabar, jujur, mempunyai sifat malu, mengendalikan diri, peduli sesama, dan lainnya.
Allahu
Akbar 2 x Walillahillhamd
Hadirin rahimakumullah, dalam QS Al
Baqarah : 183, dijelaskan bahwa tujuan perintah puasa adalah agar kita menjadi
orang yang bertaqwa.
Adapaun salah satu ciri orang taqwa ialah terwujudnya pribadi yang
sabar . Apabila kita lacak lebih jauh kata sabar dalam Al Qur’an diulang lebih
dari 105 kali, pertama adalah dalam surat
Muzammil ayat 10. Ayat ini merupakan penyemangat bagi Nabi Muhammad dalam
menghadapi halangan, rintangan bahkan intimidasi dari para penentang ajaran
Islam; yaitu agar nami mempunyai ketahanan mental dan konsisten dalam memegang
teguh amanah risalah Islam.
Kata shabr secara etimologis berasal sari akar kata
shabara yang berarti mencegah dari kesempitan, mengendalikan diri dari
penyimpangan atau menahan diri dari mengeluh.. Farid Wajdi memberikan
pengertian bahwa sabar ialah kemampuan mengendalikan diri dari berbagai hal yang
oleh akal dan syara’ dituntut untuk dikendalikan juga mengendalikan diri dari
keluh kesah dan meninggalkan pengaduan kepada selain Allah.
Selanjutnya, disamping sabar diharapkan menjadi sifat kepribadian
nabi, sabar juga harus menjadi kepribadian umat yang telah mengaku beriman
kepada Allah, sebagaimana firman Allah dalam QS Ali Imron : 200
Dalam Tafsir Jami al Bayan, Abu Ja’far ath-Thabariy menjelaskan
bahwa : Kata Ishbiruu : berarti keharusan bagi kaum muslimin
untuk teguh mempertahankan ketaatan kepada Allah baik dalam menjalankan
perintah maupun dalam menjauhi larangan-Nya Sedang kata shabiruu
: berarti melebihkan atau menambah kekuatan dan ketahanan diatas ketahanan yang
dimiliki oleh musuh atau penentangnya.
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa sabar bukanlah sifat pasif dan
nerimo ing pandum, tetapi merupakan tindakan aktif dalam menjalankan perintah
dan meninggalkan larangan tetapi dengan penuh strategi dan penuh perhitungan.
Allahu Akbar 2x walillahilhamd
Mengakhiri khutbah kali ini, selagi Ramadhan belum jauh kita
tinggalkan marilah kita semua merenung sejenak, betapa sebetulnya kita masih
mempunyai kesempatan yang luas untuk beribadah sebanyak mungkin, menangguk
ridha Allah tidak saja terbatas di bulan Ramadhan tetapi disepanjang waktu
selagi kesempatan itu masih diberikan dan disemua tempat didalam seluruh
lapangan kehidupan kita.
Akhirnya, agar bermacam ibadah selama Ramadhan mempunyai atsar,
seharusnya masing-masing kita memiliki target untuk me-mudawamah-kan
(melanggengkan) sebagian amaliah ramadhan dalam kehidupan selepas ramadhan ini.
Marilah kita berdo’a, semoga Allah berkenan memberikan kesempatan
dan kekuatan kepada kita untuk menjaga dan melestarikan amaliah ramadhan
tersebut dalam 11 bulan menuju ramadhan yang akan datang.
0 comments: