Penjual Bubur Ayam yang Memilih tetap Produktif di Malam Pergantian Tahun
Setelah joging hari kemarin, sempat mampir ke warung bubur ayam. Baru saja duduk, langsung diberi hidangan obrolan hangat antara penjual bubur dengan pelanggan lain yang sudah datang lebih awal.
Mereka sedang terlibat dalam perbincangan hangat sekitar tahun baru. “Mas, tahun baruannya kemana?, tanya salah seorang pelanggan kepada penjual bubur. “Akumah wong Islam, tidak tahun baruan pak, mending jualan bubur, jelas manfaatnya”. Jawab penjual bubur singkat, sambil menyajikan bubur kepada penanya.
Sekilas terbersit pertanyaan dalam benak, apakah jawaban penjual bubur ayam tadi merupakan jawaban natural yang menggambarkan kebiasaannya untuk memilih berjualan dari pada berhura-berhura merayakan momentum pergantian tahun baru ataukah karena efek dari “kampanye anti perayaan tahun baru” yang jauh hari telah beredar di medsos?
Naluri pedagang memang akan mendorongnya untuk tetap berjualan, sebab semakin banyak orang, termasuk saat pergantian malam tahun baru, merupakan peluang tersendiri. Persediaan pun pasti akan ditambah, mengingat orang yang keluar pasti akan lebih banyak bila dibanding dengan malam-malam biasa. Waktunya juga akan lebih panjang, minimal sampai tengah malam bahkan bisa sampai jelang dinihari.
Namun jika memperhatikan jawaban penjual bubur yang menyebut kata “akumah wong Islam” yang menggambarkan sentimen keagamaan, bisa jadi merupakan pengaruh dari kempanye anti merayakan pergantian tahun baru masehi. Dalam kampanye itu diserukan bahwa tahun baru masehi bukan tahun Islam sehingga ummat Islam tidak layak untuk menyambut dan merayakan malam pergantiannya.
Jika penjual bubur ayam demikian, bagaimana dengan kita…..?
0 comments: