Wednesday, April 1, 2020

Kiki F. Wijaya : Mewaspadai ujub

Ilustrasi : orang sombong membusungkan dada

Kebajikan yang kita kerjakan memberikan manfaat bagi dua pihak. Pertama, bagi diri kita sendiri. Kedua, bagi orang lain yang kita berikan kebajikan itu.

Bagi diri kita, kebajikan itu membawa efek emosional yang positif, yakni timbulnya kebahagiaan. Banyak bukti ilmiah menunjukkan bahwa kebahagiaan mempengaruhi vitalitas tubuh,   memperpanjang usia, meningkatkan imunitas, memunculkan perilaku pro sosial, dan lain sebagainya. Hal inilah yang selanjutnya mendorong kita untuk melakukan kebajikan selanjutnya.

Sementara bagi orang lain, kebajikan itu tentu saja melepaskannya dari kesulitan atau sekurang-kurangnya meringankan beban masalah yang dihadapinya. Pada saat yang sama orang yang menerima kebajikan itu juga terdorong untuk membalasnya dengan kabajikan yang sama. Bisa kepada orang yang memberikan kebajikan tersebut atau kepada orang lain. Singkat kata, tak hanya virus yang mudah menular, kebajikan juga mudah menular kepada orang lain.

Namun,  Islam mewanti-wanti kita agar tidak merasa paling berjasa dan merasa paling suci alias ujub.

 .. فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ

Artinya : "..Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa". (QS. An Najm (53) ayat 32)

Secara etimologis, ujub berasal dari kata 'ajiba, ya'jabu, ujban, yang berarti kagum. Jika kita mengagumi sesuatu itu disebut ta'ajub. Sementara sesuatu yang mengagumkan disebut 'ajib. Tindakan yang kita lakukan agar orang lain kagum disebut ijab.

Ujub, secara sederhana, artinya terpesona dengan amal yang kita kerjakan. Orang yang mengidap ujub ditandai tiga perilaku. Yakni, takabur, enggan menerima kritik, dan merasa dirinya paling sempurna.

Ujub banyak menghinggapi orang yang shaleh dan orang yang baru memperbaiki diri. Hanya saja, penyakit hati ini tersembunyi dengan sangat halus sehingga pelakunya sering tidak menyadarinya.

Dalam prakteknya, ujub itu berjenjang. Pada level pertama, ujub ditandai dengan menganggap baik keburukan yang kita kerjakan. Misalnya, ada orang yang enggan sholat berjamaah karena imam yang memimpin sholat tidak "sealiran" dengannya. Jadi, dalam pandangannya, daripada sholat berjamaahnya tidak diterima, lebih baik dia sholat sendirian di rumah. Orang ini tidak menyadari bahwa sikapnya itu salah. Perbedaan kecil pada tata cara beribadah yang bersifat sekunder bukanlah alasan yang tepat untuk meninggalkan sholat berjamaah.

Pada level kedua, orang dihinggapi ujub merasa berhak menuntut  kepada Allah karena dia telah melakukan amal yang banyak. Baginya, ibadah itu layaknya transaksi. Jika dia sudah memberikan ini dan itu, maka sepatutnya Allah mengikuti kemauannya. Dia tidak menyadari bahwa amal yang dikerjakannya itu sejatinya terwujud karena karunia dan izin Allah.

.. وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَىٰ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya : "...Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

Jadi, jangan heran kalau orang- orang seperti ini sering angin-anginan semangat beragamanya. Begitu pengharapan tidak terkabul, pudarlah semangatnya. Dia lari meninggalkan Allah.

Puncaknya, pada level ketiga, orang yang mengidap ujub merasa dirinya suci. Tak ada kesalahan yang dia lakukan. Bersamaan dengan itu, dia suka merendahkan orang lainnya. Dia merasa paling benar, sementara yang lain salah. Dia menganggap dirinya dan kelompoknya yang pantas menghuni syurga. Yang lain harus mengikuti keyakinannya jika menginginkan nasib yang sama. Karena itulah, mereka sering menimbulkan perpecahan di tengah umat. Alih-alih mempererat ukhuwah, mereka memperkeruh keadaan dengan memperlebar perbedaan. Celakanya, ketika diajak untuk berdialog,  mereka memalingkan wajah sembari memegang erat-erat keyakinannya itu.

Wallahua'alam bish showab

Sebelumnya
Berikutnya

0 comments: