Wednesday, April 8, 2020

Gugat cerai, bagaimana hukum dan tata caranya?


Pertanyaan:
Pak bagaimana saya pingin pisah, bagaimana caranya ya ?

Jawab :
Pertama, saya ucapkan terimakasih atas atensi ibu dengan menyampaikan pertanyaan tersebut. Sebetulnya pertanyaan ini sifatnya masih sangat umum. Dapat dipahami ingin pisah rumah dalam pengertian masih suami istri tetapi berjauhan tempat tinggal, atau dalam ahasa anak muda LDR (long Distanc relationship). Pertanyaan ini juga dapat dipahami ingin pisah harta, khususnya hubungannya dengan harta yang diperoleh setelah pernikahan, atau sekedar pisah, tempat tidur di rumah, karena saya sering menyampaikan suami istri sebaiknya tidur bersama. Tetapi perkenankan saya bersasumsi bahkwa pertanyaan ini terkait dengan pisah dalam pengertian ingin cerai dari suami. Istilah fiqhnya Khulu’. Mohon maaaf kalau asumsi ini salah, tetapi semoga tetap ada manfaatnya untuk ibu dan pembaca lainnya.

Sebelum menjawab atau menjelaskan tentang khulu’, saya ucapkan selamat atas pernikahan ibu. Mengapa? Karena tidak setiap orang berkesempatan mendapatkan jodoh dan menikah? Bahkan tidak sedikit orang yang sangat mendapatkan untuk segera memiliki pasangan (menikah). Meskipun setelah menikah, setiap keluarga pasti akan menjumpai riak atau bahkan gelombang dalam mengarungi bahtera rumahtangga.

Pengertian khulu’
Secara etimologis khulu’ berasal dari bahasa Arab yaitu khala’a - yakhlu’u-khal’an yang berarti mencabut, melepaskan. Secara terminologi khulu’ dalam kitab at-Ta’rifat oleh al-Jurjawi disebutkan

اِزَالَةُ مُلْكِ النِّكَاحِِ بَاَخْذِ الْمَالِ

hilangnya ikatan pernikahan dengan adanya pemberian (tebusan)

Dahulu orang menyebut rafa’, artinya mengangkat atau mengadu ke pengadilan. Sekarang lebih sering disebut dengan istilah gugat cerai.

Dalil tentang khulu’ dan kadar tebusannya
Sejauh ini, pemahaman yang sering disampaikan bahwa istri tidak punya hak cerai (dalam pengertian Talak), sehingga seolah wanita tidak berdaya meskipun sebetulnya keluarganya sudah tidak dapat dipertahankan. Pernyataan tersebut tidak salah. Hal ini didasarkan pada hadis Talak adalah hak laki-laki (suami)

Namun, ternyata ada hadis Rasul terkaik dimungkinkannya wanita (istri) meminta cerai dari suaminya. Hadis tersebut diriwayatkan dari Ikrimah oleh Imam Bukhari sebagai berikut :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْبَلْ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً

 “Dari Ibnu ‘Abbas [diriwayatkan bahwa] sesungguhnya isteri dari Tsabit bin Qais datang kepada Rasulullah saw, kemudian ia berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak mencela Tsabit bin Qais baik dalam segi akhlak maupun agamanya, akan tetapi saya membenci kekafiran sesudah masuk Islam. Rasulullah saw berkata, “Apakah engkau hendak mengembalikan kebunnya kepadanya?” Jawabnya, “Iya”. Rasulullah saw lalu berkata kepada Tsabit, “Terimalah kebun itu dan ceraikan dia satu kali”.” (HR al-Bukhari, No. 4.867 @ ensiklopedi hadis).

Berdasarkan hadits di atas, dengan demikan dapat dipahami seorang istri dapat melakukan khulu’ (meminta cerai). Dalam hal ini mengadu kepada Rasulullah selakupemegang otoritas keagamaan dan sekaligus ‘kepala negara’

Dari hadis diatas dapat dipahami Rasulullah “memutus” perkawinan antara Tsabit bin Qais dengan istrinya atas dasar pengaduan Istri (khulu’) atas pertimbangan kekafiran (Aqidah) dengan membayar tebusan (Iwadh) mengembalikan mahar yang telah dia terima.

Dalam perkembangannya, khususnya di Indonesia, tata cara dan alasan yang dapat dijadikan dasar seorang istri untuk meminta cerai (khulu’) dari suaminya telah diatur secara rinci baik didalam Undang-undang Perkawinan maupun Kompilasi hokum Islam.

Faktor-faktor yang menyebabkan khulu’
Dalam Pasal 19 undang-undang tentang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) disebutkan perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
1)    Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2)    Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya,
3)    Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung,
4)    Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain,
5)    Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri,
6)    Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 116 terdapat dua point tambahan yaitu:
1)    Suami melanggar taklik-talak,
2)    Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Berapa kadar Iwadh (tebusan khulu’) yang harus dibayar
Merujuk hadis diatas, tebusan yang harus dibayar oleh seorang istri bila melakukan khulu’ ialah sejumlah mahar yang telah diberikan oleh suami. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan dapat lebih besar atau lebih kecil dari maskawin yang diberikan kepada isteri selama atas dasar kerelaan suami. Sebagaimana terdapat dalam Hadits:

اَلْمُسْلِمُوْنَ عِنْدَ شُرُوْطِهِمْ

“orang Islam terikat dengan perjanjian yang telah dibuatnya” 

Kedudukan tebusan (‘iwadh) dalam Perkawinan
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 148 ayat 4 “setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi”.

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 148 ayat 4 tersebut maka dapat disimpulkan, meskipun ‘iwadl belum dibayar tetapi sudah ada keputusan tentang besarnya ‘iwadl maka sudah jatuh talak. 

Iwadz dan Sighat Taklik
Di Indonesia, besaran (minimal) iwadz telah ditentukan yaitu sebesar Rp. 10.000,- dan pengelolaannya diserahkan kepada Badan Amil Zakat Nasional untuk keperluan ibadah sosial.
Hal itu tercantum dalam sighat taklik dalam buku  nikah yang ditandatangani oleh suami sesaat setelah ijab Qabul. 




Tata Cara Gugat cerai
Sebelum menggugat cerai suami, sebaiknya istri melakukan konsultasi dan meminta nasehat dan mediasi (didamaikan) terlebih dahulu kepada orang yang kompeten atau lembaga yang kredibel seperti  BP-4 (Badan Pembinaan, Penasehatan dan Pelestarian Perkawinan) yang ada di KUA.

Setelah mendapat penjelasan, nasehat dan dilakukan mediasi, tetapi apabila tetap tidak dapat dirukunkan kembali, istri dapat menggugat cerai suaminya dengan cara datang ke pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya.

Penutup
Mungkin jawaban ini tidak sepenuhnya menjawab pertanyaan anda, karena saya dasarkan pada asumsi. Namun demikian, bila benar pertanyaan ibu itu terkait dengan ‘rencana’ minta cerai (khulu’) dari suami, alangkah baiknya untuk dipertimbangkan lebih masak lagi. Jangan hanya karena emosi dan perimbangan sesaat.

Semoga Allah jadikan keluarga anda sakinah, mawaddah dan penuh kasih sayang dan lindungan Allah SWT. Amiin

Wallahu a’lam bish-shawab.

Agung Nugraha
Diselesaikan di lereng Merapi
Subuh, 8 April 2020

Sebelumnya
Berikutnya

0 comments: