Pertanyaan:
Pak bagaimana saya
pingin pisah, bagaimana caranya ya ?
Jawab :
Pertama, saya ucapkan
terimakasih atas atensi ibu dengan menyampaikan pertanyaan tersebut. Sebetulnya
pertanyaan ini sifatnya masih sangat umum. Dapat dipahami ingin pisah rumah
dalam pengertian masih suami istri tetapi berjauhan tempat tinggal, atau dalam ahasa
anak muda LDR (long Distanc relationship). Pertanyaan ini juga dapat dipahami ingin
pisah harta, khususnya hubungannya dengan harta yang diperoleh setelah
pernikahan, atau sekedar pisah, tempat tidur di rumah, karena saya sering
menyampaikan suami istri sebaiknya tidur bersama. Tetapi perkenankan saya
bersasumsi bahkwa pertanyaan ini terkait dengan pisah dalam pengertian ingin cerai
dari suami. Istilah fiqhnya Khulu’. Mohon maaaf kalau asumsi ini salah,
tetapi semoga tetap ada manfaatnya untuk ibu dan pembaca lainnya.
Sebelum menjawab
atau menjelaskan tentang khulu’, saya ucapkan selamat atas pernikahan
ibu. Mengapa? Karena tidak setiap orang berkesempatan mendapatkan jodoh dan
menikah? Bahkan tidak sedikit orang yang sangat mendapatkan untuk segera
memiliki pasangan (menikah). Meskipun setelah menikah, setiap keluarga pasti
akan menjumpai riak atau bahkan gelombang dalam mengarungi bahtera rumahtangga.
Pengertian
khulu’
Secara
etimologis khulu’ berasal dari bahasa Arab yaitu khala’a - yakhlu’u-khal’an yang
berarti mencabut, melepaskan. Secara terminologi khulu’ dalam kitab at-Ta’rifat oleh
al-Jurjawi disebutkan
اِزَالَةُ مُلْكِ النِّكَاحِِ بَاَخْذِ الْمَالِ
hilangnya
ikatan pernikahan dengan adanya pemberian (tebusan)
Dahulu orang
menyebut rafa’, artinya mengangkat atau mengadu ke pengadilan. Sekarang
lebih sering disebut dengan istilah gugat cerai.
Dalil tentang
khulu’ dan kadar tebusannya
Sejauh ini,
pemahaman yang sering disampaikan bahwa istri tidak punya hak cerai (dalam
pengertian Talak), sehingga seolah wanita tidak berdaya meskipun sebetulnya
keluarganya sudah tidak dapat dipertahankan. Pernyataan tersebut tidak salah. Hal
ini didasarkan pada hadis Talak adalah hak laki-laki (suami)
Namun, ternyata
ada hadis Rasul terkaik dimungkinkannya wanita (istri) meminta cerai dari
suaminya. Hadis tersebut diriwayatkan dari Ikrimah oleh Imam Bukhari sebagai
berikut :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْبَلْ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً
“Dari Ibnu ‘Abbas [diriwayatkan bahwa]
sesungguhnya isteri dari Tsabit bin Qais datang kepada Rasulullah saw, kemudian
ia berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak mencela Tsabit bin Qais baik dalam
segi akhlak maupun agamanya, akan tetapi saya membenci kekafiran sesudah masuk
Islam. Rasulullah saw berkata, “Apakah engkau hendak mengembalikan kebunnya
kepadanya?” Jawabnya, “Iya”. Rasulullah saw lalu berkata kepada Tsabit,
“Terimalah kebun itu dan ceraikan dia satu kali”.” (HR al-Bukhari, No. 4.867 @ ensiklopedi
hadis).
Berdasarkan hadits
di atas, dengan demikan dapat dipahami seorang istri dapat melakukan khulu’
(meminta cerai). Dalam hal ini mengadu kepada Rasulullah selakupemegang
otoritas keagamaan dan sekaligus ‘kepala negara’
Dari hadis
diatas dapat dipahami Rasulullah “memutus” perkawinan antara Tsabit bin Qais
dengan istrinya atas dasar pengaduan Istri (khulu’) atas pertimbangan kekafiran
(Aqidah) dengan membayar tebusan (Iwadh) mengembalikan mahar yang telah
dia terima.
Dalam
perkembangannya, khususnya di Indonesia, tata cara dan alasan yang dapat
dijadikan dasar seorang istri untuk meminta cerai (khulu’) dari suaminya telah
diatur secara rinci baik didalam Undang-undang Perkawinan maupun Kompilasi hokum
Islam.
Faktor-faktor
yang menyebabkan khulu’
Dalam Pasal 19
undang-undang tentang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) disebutkan perceraian
dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
1)
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi
pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2)
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama
2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain di luar kemampuannya,
3)
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5
(lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung,
4)
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain,
5)
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau
penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami/istri,
6)
Antara suami dan isteri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Sementara dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 116 terdapat dua point tambahan yaitu:
1)
Suami melanggar taklik-talak,
2)
Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan
terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Berapa kadar Iwadh
(tebusan khulu’) yang harus dibayar
Merujuk hadis
diatas, tebusan yang harus dibayar oleh seorang istri bila melakukan khulu’
ialah sejumlah mahar yang telah diberikan oleh suami. Meski demikian, tidak
menutup kemungkinan dapat lebih besar atau lebih kecil dari maskawin yang
diberikan kepada isteri selama atas dasar kerelaan suami. Sebagaimana terdapat
dalam Hadits:
اَلْمُسْلِمُوْنَ عِنْدَ شُرُوْطِهِمْ
“orang Islam
terikat dengan perjanjian yang telah dibuatnya”
Kedudukan tebusan
(‘iwadh) dalam Perkawinan
Menurut
Kompilasi Hukum Islam pasal 148 ayat 4 “setelah kedua belah pihak sepakat
tentang besarnya iwadl atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan
tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan
Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi”.
Berdasarkan
Kompilasi Hukum Islam pasal 148 ayat 4 tersebut maka dapat disimpulkan,
meskipun ‘iwadl belum dibayar tetapi sudah ada keputusan tentang besarnya
‘iwadl maka sudah jatuh talak.
Iwadz dan Sighat
Taklik
Di Indonesia,
besaran (minimal) iwadz telah ditentukan yaitu sebesar Rp. 10.000,- dan
pengelolaannya diserahkan kepada Badan Amil Zakat Nasional untuk keperluan ibadah sosial.
Hal itu tercantum dalam sighat taklik dalam buku nikah yang ditandatangani oleh suami sesaat setelah ijab Qabul.
Hal itu tercantum dalam sighat taklik dalam buku nikah yang ditandatangani oleh suami sesaat setelah ijab Qabul.
Tata Cara Gugat cerai
Sebelum menggugat cerai suami, sebaiknya istri melakukan konsultasi dan meminta nasehat dan mediasi (didamaikan) terlebih dahulu kepada orang yang kompeten atau lembaga yang kredibel seperti BP-4 (Badan Pembinaan, Penasehatan dan Pelestarian Perkawinan) yang ada di KUA.
Setelah mendapat penjelasan, nasehat dan dilakukan mediasi, tetapi apabila tetap tidak dapat dirukunkan kembali, istri dapat menggugat cerai suaminya dengan cara datang ke pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya.
Penutup
Mungkin jawaban
ini tidak sepenuhnya menjawab pertanyaan anda, karena saya dasarkan pada
asumsi. Namun demikian, bila benar pertanyaan ibu itu terkait dengan ‘rencana’
minta cerai (khulu’) dari suami, alangkah baiknya untuk dipertimbangkan lebih
masak lagi. Jangan hanya karena emosi dan perimbangan sesaat.
Semoga Allah
jadikan keluarga anda sakinah, mawaddah dan penuh kasih sayang dan lindungan
Allah SWT. Amiin
Wallahu a’lam
bish-shawab.
Agung Nugraha
Diselesaikan di lereng Merapi
Subuh, 8 April 2020
0 comments: