Saturday, April 4, 2020

Bayar fidyah, makanan siap saji, bahan makanan atau boleh dengan uang?

 H. R. Agung Nugraha, MA saat memberikan materi bimbingan perkawinan

Tanya:
Assalamu’alaikum pak. Agung.
Menanggapi tulisan tanya jawab tentang kebolehan orang hamil membayar fidyah, saya merasa sangat bermanfaat. Namun selanjutnya ada yang saya tanyakan adalah berapa ukuran fidyah, apakaha harus dibayarkan setiap hari ketika tidak puasa, atau bileh sekaligus, dan buolehkah dibayar dengan uang atau harus dengan makanan. Terimakasih. (Anna, 4/4/2020)
Jawab:
Wa’alaikumussalam, terimakasih bila tulisan dapam rubrik konsultasi ini bermanfaat. Atas pertanyaaan tersebut kami sampaikan jawaban sebagai berikut.

Hakekat perintah puasa
Puasa Ramadan merupakan salah satu rukun Islam. Dengan demikian hakekatnya puasa Ramadhan merupakan tuntutan untuk dilakukan oleh setiap orang Islam. Ia adalah salah satu kewajiban agama yang difardukan atas setiap orang mukmin dewasa baik laki-laki maupun perempuan. , Tujuan ibadah puasa itu adalah sebagai sarana pendidikan untuk membentuk manusia yang bertakwa dan sekaligus sebagai wujud ketaatan kepada Allah swt. Namun, sebagaimana sikap Rahman dan Rahim Allah, terhadap tuntutan tersebut selalu ada alternatif baik berupa rukhshoh (keringanan hokum) bahkan hingga hilangnya hokum/kewajiban dalam batas tertentu.

Demikian juga terhadap kewajiban puasa, didalam Al Qur’an Allah SWT memberi perkecualian dari kewajiban melaksanakan puasa Ramadan atas orang-orang tertentu yang karena suatu atau lain sebab tidak bisa melaksanakan kewajiban tersebut. Perkecualian ini diberikan sesuai dengan prinsip agama Islam itu sendiri bahwa agama ini bertujuan untuk memberi rahmat kepada manusia [Q. 21: 107] dan tidak bertujuan mempersulit manusia [Q. 5: 6; 22:78]. 
Dalam Surat al Baqarah (2): 184 Allah berfirman : 

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan atas orang-orang yang berat menjalankannya wajib membayar fidyah (jika mereka tidak berpuasa), yaitu: memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu adalah lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Selanjutnya Allah sendiri menegaskan bahwa prinsip pelaksanaan puasa itu adalah memudahkan sebagaimana firman Allah,
[يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ 
Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu [Q. 2: 185].

Dalam Tafsir al-Manar ditegaskan bahwa al-ladzina yuthiqunahu berarti orang-orang yang amat berat dan amat sulit menjalankan puasa meskipun jika dipaksakan bisa dilakukan tetapi dengan masyaqqah (keadaan berat) yang besar (Juz II: 126].
Berdasarkan kaidah “idza dhaqa, ittasa’a” (apabila hukum sempit/terbatas, maka dapat diperluas) maka ayat  ini meliputi orang-orang tua yang lemah, orang sakit menahun, pekerja berat di pertambangan, kuli pelabuhan, tukang becak, supir kendaraan besar jarak jauh, termasuk wanita hamil dan menyusui. Mereka diberi rukhsah (keringanan) untuk tidak berpuasa tetapi diwajibkan menggantinya dengan membayar fidyah. Akan tetapi, sesuai dengan akhir ayat 184 al-Baqarah, jika mereka ini mengupayakan untuk berpuasa, maka hal itu lebih baik. 
Bahkan jika seandainya mereka miskin sehingga tidak mampu membayar fidyah, maka tidak ada kewajiban membayar fidyah, sesuai dengan firman Allah,
[لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا [البقرة: 286
Artinya: Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya [Q. 2: 286].

Atas dasar itu kepada orang-orang tertentu diberi keringanan (rukhsah) dalam menjalankan ibadah tersebut. Orang-orang yang mendapat keringanan itu adalah:
1. Orang yang memiliki uzur sementara, yaitu orang sakit dan masih ada kemungkinan sembuh dan orang yang bepergian (musafir). Mereka ini dibolehkan tidak berpuasa, tetapi diwajibkan mengqada’ (mengganti) pada hari lain di luar bulan Ramadan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam ayat 184 surat al-Baqarah sebagaimana telah dijelaskan di pertanyaan sebelumnya.
2. Orang yang memiliki udzur tetap, yaitu orang lanjut usia yang tidak lagi mampu berpuasa atau orang yang sakit dan secara normatif tidak dimungkinkan kesembuhannnya sehingga tidak mungkin mengganti puasa diluar Ramadhan. 
3. Dalam perkembangan hukum, termasuk orang yang mendapat udzur tetap ialah orang-orang yang penghidupannya adalah dengan bekerja berat seperti tukang becak, kuli pekerja tambang, kuli pelabuhan atau semacam itu yang apabila berpuasa mereka akan mengalami kesulitan besar dan merasa teramat berat dan menderita. Tentu tidak dapat digeneralisir,naumn ukurannya bisa sangat subyektif. Bisa jadi ada pekerja keras yang tetap sanggup berpuasa.
4. Termasuk juga kategori ini adalah wanita hamil dan menyusui. Kepada mereka ini diberi rukhsah (dispensasi, keringanan) untuk tidak berpuasa, tetapi diwajibkan membayar fidyah.
Berapa kadar fidyah dan bagaimana membayarnya
Dalil utama pembayaran fidyah, baik karena udzur tetap karena tua, sakit permanen yang sulit sembuh, maupun sebab hamil/menyusui,  ataupun kondisi yang berat untuk melaksanakan puasa adalah QS Al Baqarah (2) : 185 yang pada intinya adalah memberi makan (satu) orang miskin. 

Tentang pembayaran fidyah ini, terdapat perbedaan pada ukuran/kadar, bentuk dan cara pembayarannya. Agar wawasan kita lebih luas, untuk itu kami sampaikan beberapa pendapat tersebut.  
1. yaitu memberi makan satu orang miskin untuk satu hari tidak puasa dengan kadar sekurang-kurangnya satu mud bahan pangan pokok (6 ons). 
2. Minimal memberikan makan satu kali sehari bagi seorang miskin sejumlah/senilai kebiasaan yang dia makan.
3. Memberi dua kali sehari kepada seorang miskin, hal ini didasarkan kepada rata-rata orang makan minimal sehari dua kali. Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf dalam salah satu fatwanya menegaskan bahwa, “Apabila sakitnya tidak dimungkinkan untuk sembuh lagi, maka wajib atasnya membayar fidyah seperti halnya orang tua yang lemah … … … dan fidyah itu adalah memberi makan dua kali kepada satu orang miskin atau memberi bahan pangan seperti gandum setengah sha’ atau membayar nilainya (dengan uang).” Dalam fatwa ini disebut memberi makan orang miskin dua kali dikarenakan dalam satu hari orang makan sekurang-kurangnya dua kali.

Cara membayar fidyah masih terbatas pada bentuk makanan. Lalu apakah boleh dilakukan sekaligus saja atau diecer dengan cara membayar setiap kali tidak berpuasa Ramadan, maka sesungguhnya tidak ada ketentuan bahwa wajib dibayar secara diecer setiap hari tidak puasa. Karena itu boleh dilakukan pembayaran fidyah secara sekaligus baik sejak saat mulai tidak puasa di bulan Ramadan maupun setelah selesai seluruh bulan Ramadan. Hal ini dipandang lebih memudahkan sebagaimana firman Allah,
[وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ [الحج: 78
Artinya: Dan tiadalah Dia (Allah) membuat kesulitan bagimu dalam (manjalankan) agama [Q. 22: 78].

Kemudian, berdasarkan zahir ayat 184 al-Baqarah, boleh seluruh fidyah itu diberikan kepada satu orang miskin saja atau, bilamana fidyah berupa memberikan makanan, boleh diberikan dalam satu hari saja kepada sejumlah orang miskin sesuai jumlah hari tidak berpuasa (misalnya : memberi makanan satu hari saja untuk 30 orang miskin karena membayar fidyah puasa 30 hari).  Menurut Syaikh Usaimin pandangan ini dianut oleh kebanyakan ulama Syafi’iah, Hanabilah, dan sejumlah ulama Malikiah. Penegasan yang sama juga dikemukakan oleh Imam an-Nawawi (w. 676/1277), seorang ulama Syafi’iah, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin (II: 246).  

Yang tidak dapat dibenarkan adalah mendahulukan fidyah sebelum masuknya bulan Ramadan. Mengapa? karena fidyah adalah pengganti dari suatu kewajiban puasa Ramadhan yang tidak dapat dilaksanakan karena uzur tetap. 
Adapun bentuk wujud fidyah yang dikeluarkan dapat berupa (1) makanan siap santap seperti dilakukan oleh Anas Ibn Malik r.a. dalam riwayat Ibn Mullas di atas, maupun (2) bahan pangan seperti gandum, cantel, tamar, atau beras. 

Hal ini difahami dari keumuman kata tha’am (makanan) di dalam ayat fidyah (Q. 2: 184) di atas. Di dalam hadis-hadis Nabi saw kata tha’am dipakai dalam dua makna, yaitu makanan siap santap dan bahan pangan. Dalam hadis riwayat Muslim Nabi saw bersabda,
إذا دُعِيَ أحدكم إلى طَعَامٍ فَلْيُجِبْ
Artinya: Apabila seseorang kamu diundang makan (tha’am), maka hendaklah ia memenuhinya (HR Muslim, Sahih Muslim, II: 1054).

Dalam hadis ini kata tha’am berarti makanan siap santap. Sementara itu dalam hadis lain kata tha’am berarti bahan pangan, misalnya dalam hadis dari Abu Hurairah riawyat Ibnu Majjah :
عن أبي هُرَيْرَةَ قال مَرَّ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِرَجُلٍ يَبِيعُ طَعَامًا فَأَدْخَلَ يَدَهُ فيه فإذا هو مَغْشُوشٌ فقال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ليس مِنَّا من غَشَّ
Artinya: Dari Abu Hurairah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw lewat pada seorang penjual bahan pangan (tha’am), lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam bahan pangan itu, ternyata tipuan. Lalu Rasulullah saw berkata: Tidak termasuk umat kami orang yang melakukan penipuan (HR Ibn Majah). 

Dalam hadis ini dan banyak hadis lainnya kata tha’am berarti bahan pangan. Jadi oleh karena itu fidyah dapat diberikan dalam bentuk makanan jadi atau dalam bentuk bahan pangan. Yang dimaksud dengan bahan pangan di sini adalah bahan pangan yang berupa makanan pokok seperti gandum, cantel atau tamar. Di Indonesia bahan pangan pokok adalah beras.


Bayar fidyah dengan uang?
Terhadap pertanyaan ini, terdapat perbedaan pendapat ulama. Fatwa Lajnah Daimah dari Arab Saudi dengan mufti Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn Baz tidak membolehkan membayar fidyah dalam bentuk uang. Tetapi fatwa itu tidak menjelaskan alasannya. Fatwa itu hanya berbunyi singkat, “Tidak memenuhi ketentuan apabila engkau membayar fidyah dengan uang sebagai ganti memberi makan.” 
Fatwa-fatwa lain seperti fatwa dari al-Azhar yang diberikan oleh Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf dan fatwa dari Dar al-Ifta yang dikeluarkan oleh Syaikh Muhammad ‘Ali Jum’ah dan fatwa dari Komisi Fatwa Kuwait membolehkan membayar fidyah dengan uang. 

Dengan mengacu pada pendapat-pendapat yang telah dikemukakan, hokum asal fidyah adalah berupa makanan siap saji, kalau tidak bisa berupa bahan makanan, dan kalua kesulitan dapat dengan uang yang leb ih praktis dapat digunakan oleh penerima (orang miskin) akan mekan makanan sesuai dengan kebutuhan dan mungkin selesa makan, sehingga nilai manfaatnya lebih luas dan fleksibel.

Selain itu juga karena alasan bahwa zakat fitrah dan juga fidyah adalah kewajiban yang terletak dalam zimmah, bukan kewajiban kehartaan yang dikaitkan kepada jenis harta tertentu. Atas dasar itu kami berpendapat bahwa pembayaran fidyah dalam bentuk uang adalah sah dan memenuhi ketentuan perintah fidyah.

Fidyah tidak sama dengan fitrah
Setelah menbahas ketentuan tentang fidyah dan aneka pendapat terkait bentuk, jumlah dan cara pembayarannya. Yang  perlu ditekankan disini ialah bahwa fidyah bukanlah zakat fitrah, dan atau sebaliknya. Fidyah merupakan [engganti puasa romadhan yang tidak dapat ditunaikan, sedang zakat fitrah merupakan kewajiban setiap muslim yang masih hidup pada hari raya idul fitri dan tidak termasuk orang fakir/miskin. Dengan demikian orang yang telah membayar fidyah tetap terkena kewajiban membayar zakat fitrah. 
Pembayaran fidyah dapat dilakukan tersendiri (diecer setiap hari ketika tidak berpuasa), dsapat dikalukan sekaligus ditengah atau di akhir Ramadhan, dan dapat pula dibayarkan bersamaan dengan akad yang berbeda.

Dalam hal apabila ada orang tidak mampu (miskin) sehingga tidak mampu membayar fidyah ataupun zakat fitrah, ia  bahkan  termasuk orang yang berhak menerima fidyah dan atau zakat fitrah sekaligus. Hal ini sesuai dengan firman Allah,
[لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا [البقرة: 286
Artinya: Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya [Q. 2: 286].

Allahu a’lam
Sebelumnya
Berikutnya

0 comments: