Monday, March 16, 2020

Penyelundupan hukum perkawinan dalam fatwa Mahkamah Agung




Oleh : H. Raden Agung Nugraha, S.Ag.,MA[1]

Dua orang, pria dan wanita, datang ke KUA Sleman. Keduanya mengaku sengaja datang dari Jakarta untuk mencari informasi tentang nikah beda agama yang menurut keduanya dapat dilayani di Jogja. Ketika saya jawab tidak ada KUA yang melayani perkawinan seperti itu, keduanya justru menunjukkan dokumen dan foto pernikahan temannya di salah satu hotel di jogja. Keduanya kemudian menceritakan runtut bahwa pernikahan temannya tersebut benar-benar terjadi, tanpa harus merubah status agama. Menurut keduanya, mulanya pernikahan dilaksanakan secara Islam, yaitu nikah sirri. Kemudian dilaksanakan pemberkatan di gereja dan 0masih menurut keduanyanya- teman tersebut mendapatkan Akta perkawinan dari Catatan Sipil.
Dalam dialog tersebut saya juga sempat bertanya pada keduanya, terlepas dari masalah pencatatan, bagaimana pemahaman mereka tentang perkawinan beda agama? Apakah agama mereka membolehkan. Menjawab pertanyaan saya tersebut, yang pria (muslim) menjawab “katanya dalam Islam boleh menikahi wanita beragama lain (ahli kitab)”; sedang yang putri, beragama Kristen, menjawab  “memang dalam kitab kami diperintahkan yang seiman, tapi kami berdua sudah saling mencintai; dan kami sepakat menikah dengan tetap pada keyakinan masing-masing”.
Dalam kesempatan lain, ketika hal tersebut saya konfirmasi ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil terkait kebenaran hal tersebut, didapat jawaban bahwa hal itu dimungkinkan berdasarkan fatwa Mahkamah Agung.  
Dalam kesempatan berbeda, seorang pria beragama Islam minta dibimbing masuk Islam untuk keperluan merubah data pada KTP. Ketika ditanya kenapa bisa terjadi, jawabnya : dulu saya nikah di gereja dengan orang Kristen (katolik), tidak tahu kenapa KTP dan KK berubah jadi katolik, padahal saya sejak kecil Islam, dan tidak pindah agama saat nikah di gereja.
Berangkat dari kasus tersebut, ada beberapa catatan penulis yang diharapkan dapat menjadi perhatian pihak-pihak terkait.



Hakekat perkawinan dan kewajiban pencatatannya
Dalam pasal 1 undang-undang no 1 tahun 1974, disebutkan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”. Pengertian berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ialah berdasarkan ketentuan agama. Karenanya pasal 2 ayat (1) menyebutkan “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dalam penjelasan dinyatakan Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada Perkawinan diluar hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang- undang ini”.
Kemudian pasal 2 ayat (2) menyatakan Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Adapun ketentuan pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang menyatakan bahwa: Bagi yang beragama Islam pencatatannya oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk. Dan bagi mereka yang bukan Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.
Berdasarkan pengertian dan ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa  perkawinan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan agama, dan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum maka perkawinan dicatat. Dengan demikian semestinya perkawinan yang dicatat hanyalah perkawinan yang benar menurut hukum agama. Karenanya pencatatan perkawinan bukan sekedar fungsi administratif semata.
Terkait agama, negara Indonesia didirikan atas ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, agama dan iman kepada tuhan menjadi pedoman hidup bagi seluruh rakyat Indonesia. Karenanya, melalui proses yang panjang, pencantuman kolom agama dalam KTP telah diatur dalam UU administrasi kependudukan. Hal tersebut penting dan berkorelasi tidak sekedar keperluan administrasi, tetapi juga perlakuan terhadap seseorang. Misalnya urusan perkawinan, hak waris, adopsi anak/hak asuh, bahkan terkait dengan kematian sekalipun. Dengan adanya identitas agama pada mayit, orang tidak bisa berebut mengurus jenazah karena perlakukan disesuaikan dengan agama yang dianut si mayit.

Penyelundupan hukum perkawinan
Menjawab permohonan penjelasan dari Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Panitera Mahkamah Agung melalui Surat (Fatwa) Nomor 231/PAN/HK.05/1/2019 tertanggal 30 Januari 2019 memberikan jawaban mencakup 4 point, yaitu 1) Pencatatan perkawinan  yang tidak dapat memenuhi persyaratan pencatatan perkawinan Agama/penghayat kepercayaan, 2) Pencatatan Perkawinan Beda Agama, 3) Pencatatan Kematian, dan 4) Putusan/penetapan pengadilan yang amar putusannya bertentangan dengan Undang-undang Administrasi kependudukan.
Diantara yang krusial adalah jawaban terkait pencatatan Perkawinan Beda Agama. Panitera Mahkamah Agung memberikan jawaban : “Perkawinan beda agama tidak diakui oleh negara dan tidak dapat dicatatkan. Akan tetapi jika perkawinan tersebut dilaksanakan berdasarkan agama salah satu pasangan dan pasangan yang lain menundukkan diri kepada agama pasangannya, maka perkawinan tersebut dapat dicatatkan, misalnya jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Kristen maka dicatatkan di kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, begitu pula jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Islam maka perkawinan pasangan tersebut dicatatkan di Kantor Urusan Agama”.
Menurut penulis, frasa “menundukkan diri” dalam fatwa ini mengandung penyelundupan hukum perkawinan dan mengandung muatan konversi agama secara terselubung yang berpotensi menimbulkan benturan dimasyarakat.
Menurut KBBI, menundukkan berasal dari kata tunduk. Menundukkan berarti “mengalahkan (sampai tunduk)”; “menaklukkan”. Dengan demikian, kalimat menundukkan diri dalam fatwa MA tersebut dapat dipahami bahwa orang tersebut mengalah, tunduk dan takluk kepada agama lain. Dalam pengertian lain, dia berpindah/meninggalkan agama (lama) dan tunduk, takluk kepada agama (baru) yang menjadi keyakinan pasangannya.
Sampai disini, fatwa ini secara tidak langsung telah memberikan peluang konversi agama terselubung atau bahkan melalui peluang pencatatan tersebut “memaksa” seseorang tunduk kepada agama pasangannya. Artinya, meski identitas agama didalam dokumen administrasi kependudukan berupa KTP dan KK tidak berubah (misalnya : Islam), sebetulnya ia telah dipaksa beragama lain ketika pelaksanaan perkawinan tidak dengan cara Islam. Demikian juga sebaliknya. Atau, kalaupun kata menundukkan diri tidak disebut pindah agama dengan alasan KTPnya tidak dirubah (dalam contoh tersebut Islam dan Kristen), maka berarti telah terjadi perkawinan beda agama yang jelas-jelas tidak diakui dan tidak bisa dicatatkan.
Apabila ditanya kepada pasangan yang menempuh perkawinan demikian, mereka akan menjawab bahwa kami tetap dalam agama kami masing-masing. Artinya dalam kesadaranya mereka tetap memeluk agama Islam dan Kristen. Meraka akan berkata bahwa mereka berbeda agama, saling mencinta dan sepakat menikah dengan perbedaan agama, menikah berbeda agama dan mendapat pengakuan dengan diberikannya Akta Perkawinan. Disinilah fatwa ini telah melakukan penyelundupan hukum perkawinan, dengan membolehkan terjadinya perkawinan beda agama dan konsekwensinya terjadi pencatatan perkawinan beda agama.  
Memang, persoalan agama adalah hak individu, bahkan merupakan hak asasi seseorang. Namun apabila tidak diikuti dengan penyesuaian administrasi berupa perubahan data di KTP, akan berpotensi menimbulkan masalah.  Oleh karena itu, untuk menjaga kondusifitas dan ketenteraman di masyarakat, perbuatan “menundukkan diri” semestinya harus dilandasi dengan kesadaran penuh dan diikuti dengan perubahan data administtrasi kependudukan (KTP dan KK),
“Kasus” ini memberikan konfirmasi adanya pengaduan beberapa kasus yang mengaku pernah nikah di gereja tanpa merubah KTP, ketika akhirnya bercerai kemudian hendak menikah (lagi) di KUA, ia baru tersadar bahwa KTP dan/atau KKnya berubah agama, sementara ia tidak pernah merasa berpindah agama. Ini nyata terjadi karena ketika pengurusan Kartu Keluarga yang mengurus salah satu dari pasangan tersebut.

Fatwa MA melampuai kewenangan
Pasal 24A Undang-undang Dasar RI 1945, mengatur bahwa Mahkamah Agung mempunyai kewenangan 1) mengadili pada tingkat kasasi, 2) menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan 3) mempunyai wewenang lainnya yang diberikan undang-undang.  Disamping itu, Mahkamah Agung mempunyai kewenangan memberikan fatwa hukum. Fatwa Mahkamah Agung berisi pendapat hukum Mahkamah Agung yang diberikan atas permintaan Lembaga negara.
Dalam konteks ini, memang MA berwenang memberikan fatwa atas permintaan Kementerian Dalam Negeri, namun menurut penulis, fatwa ini telah melampuai kewenangan sebagaimana diatur, karena fatwa ini telah “menguji” Pasal 2 ayat (1) undang-undang Nomor 1 tahun 1974, padahal kewenangannya sebatas menguji yang dibawah undang-undang.


Simpulan
Penulis berkesimpulan bahwa fatwa MA Nomor 231/PAN/HK.05/1/2019 tertanggal 30 Januari 2019 telah membuat norma hukum baru. Itulah yang saya sebut sebagai penyelundupan hukum. Disamping bertentangan dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, juga menimbulkan banyaknya ketidaksesuaian data kependudukan, serta berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat akibat kecurigaan liberalisasi agama.
.



[1] Penghulu Madya/Kepala KUA Kecamatan Sleman &  Ketua Pusat Kajian Islam dan Kemasyarakatan (PeKIK) Darul Fikri Yogyakarta

Sebelumnya
Berikutnya

0 comments: