Thursday, May 14, 2020

Suyanto Thohari : Dari Asma' hingga Qolam: dari lisan hingga post digital


*TOREHAN RAMADHAN 15*

*Dari _Asma’_ Hingga _Qalam_: Dari Lisan Hingga Post Digital*

*Suyanto Thohari*

Ada yang berbeda dalam istilah yang dipergunakan Allah untuk mengajarkan manusia, antara nabi Adam dan umat rasulullah, atau kepada umat yang diinformasikan kepada Rasulullah Muhammad saw. Dalam konteks nabi Adam, Allah menggunakan redaksi ayat _wa ‘allama al-adama al-asma’a kullaha_ (dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama semua benda) (QS. Al-Baqarah: 31). Sedangkan kepada umat rasulullah, Allah menggunakan redaksi _alladzi ‘allama bi al-qalam_ (Dia yang mengajar manusia dengan _Qalam_). Tersirat makna, bahwa masa Nabi Adam masih peradaban lisan, sedangkan masa Nabi Muhammad sudah ada peradaban tulis. Pemaknaan ini merujuk secara kontekstual, bahwa pada masa Nabi Adam belum ditemukan peradaban tulis, sedangkan pada masa Nabi Muhammad telah ditemukan peradaban tulis.

Perintah membaca _(Iqra’)_ yang ada di QS. Al-‘Alaq menunjukkan adanya peradaban tulis, sesuatu yang dapat dibaca. Apalagi di ayat empat secara eksplitit menyebut _Qalam_. Semakin kuat kesan peradaban tulis. Meskipun ulama rata-rata sepakat bahwa makna Iqra dalam hal ini bukan semata membaca yang tertulis, tetapi segala yang tergelar di alam raya sebagai objek bacaan. Ada yang kemudian membedakan antara _Iqra_ dan _utlu (utlu ma uhiya ilaika min al-kitabi wa aqim al-shalah)_  (QS. Al-Ankanut: 45). Kedua kata itu dalam bahasa Indonesia sama-sama memiliki makna membaca, tetapi dibedakan dari segi objek bacaan. Objek bacaan _Iqra (qiraah)_ adalah semua yang tergelar, tertulis maupun yang tidak tertulis, sedangkan _utlu (tilawah)_ adalah yang tertulis.


Terlepas perbedaan istilah _Iqra_ dan _utlu_, yang jelas dua istilah itu menunjukkan pentingnya peradaban tulis. Oleh karena pentingnya peradaban tulis itu, Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad juga diperintahkan oleh beliau untuk ditulis oleh para sahabat-sahabatnya. Bahkan untuk menjaga orisinalitas ayat-ayat Quran supaya tidak tercampur dengan perkataan Nabi yang bukan al-Quran, rasulullah melarang para sahabatnya menuliskan dari rasulullah selain Quran. Sahabat yang sudah terlanjur menulis diperintahkan untuk menghapusnya. _La taktubu ‘anni ghairal Quran, wa man kataba ‘anni ghairal Quran fal yamhuhu_ (jangan kalian tulis dariku selain Al-Quran, barangsiapa yang telah menulis dariku selain Al-Quran hendaknya ia hapus). Meskipun kemudian, larangan ini direvisi, karena Rasulullah memperbolehkan kepada sahabat tertentu untuk menuliskan hadis. _Uktub, fawalladzi nafsi biyadihi, ma kharaja minhu illa haq_ (tulislah, demi Dzat yang jiwaku dalam genggamannya, tidak keluar darinya (lisan rasul) kecuali haq, benar). Hadis ini mengkonfirmasi ayat: _wa ma yanthiqu ‘anil hawa, in huwa illa wahyun yuha_ (Rasul tidak berbicara berasal dari hawa nafsunya, melainkan ia adalah wahyu yang diturunkan kepadanya). Dua hadis yang dhahirnya bertentangan ini dimaknai setidaknya dua hal: (1) perintah terjadi pada masa-masa awal turunnya wahyu, sedangkan kebolehan menulis terjadi di akhir-akhir kenabian, sehingga hadis yang melarang dinasakh oleh hadis yang membolehkan; (2) perintah berlaku secara umum, sedangkan kebolehan menulis hadis hanya kepada sahabat-sahabat tertentu.


Adanya perintah menuliskan ayat-ayat Quran dalam berbagai media (batu, pelepah kurma, kulit binatang), yang kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf, serta semangat para sahabat menuliskan apa yang berasal dari Nabi tersebut menunjukkan betapa pentingnya peradaban tulis. Penulisan Al-Quran dirapikan pada masa khalifah sahabat Utsman bin Affan, sedangkan hadis mulai massif dan menjadi perintah resmi pada masa khalifah Umar bin Abdul Azis (99-101 H). Sejak itu, peradaban tulis yang merujuk kepada dua sumber utama ajaran Islam (Quran dan Hadis) semakin massif. Muncul berbagai macam kitab tafsir, tafsir atas tafsir, catatan atas kitab tafsir, kritik terhadap tafsir, biografi-biografi mufassir dan seterusnya. Tafsir pun beragam jenis dan coraknya. Begitu juga dengan hadis, mucul kitab-kitab induk hadis, pengelompokan hadis berdasar beragam kategori (ada yang shahih saja, dhaif saja, mutawatir saja) dan seterusnya. Tidak kalah massif, muncul pula kitab-kitab syarah hadis, syarah atas syarah, hasyiyah (catatan) dan seterusnya.

Bahkan, ada ulama yang mencoba memeras (mengekstrak) isi berbagai kitab hadis yang ratusan ribu, diambil dan dipilih dalam satu kitab, supaya umat lebih mudah memahami ajaran rasul. Seperti apa yang dilakukan oleh Imam Nawawi (bukan Imam Nawawi al-Bantani) dengan kitabnya _Riyadhus Shalihin_. Ekstraksi hadis-hadis nabi dari berbagai kitab itu pun kemudian muncul kitab-kitab syarah yang lebih tebal dari dari kitab _masyruh_ (yang disyarah). Bukan hanya _Riyadhus Shalihin_, Imam Nawawi bahkan kemudian mengekstrak lagi dalam satu kitab yang hanya berisi 42 hadis, yang dikenal dengan _Arba’in Nawawiyah_. Kitab-kitab ekstraksi itu seakan menjadi jembatan pemahaman antara umat kebanyakan dengan telaga ajaran sangat kompleks. Tanpa kitab-kitab ekstraksi itu, umat akan kesulitan memahami ajaran jika harus merujuk langsung ke kitab induk tanpa bekal ilmu yang cukup, bagaikan orang yang masuk hutan belantara sendirian. Semua itu menunjukkan majunya peradaban tulis.


Peradaban tulis terus mengalami perkembangan, bukan hanya berbasis media kertas, bahkan sudah sangat massif dalam peradaban paper less. Semua telah mengarah ke digital, begitu mudah seseorang meninggalkan jejak tertulisnya, atau yang oleh ahli informatika dikenal sebagai jejak digital. Selain kemudahan dalam menuliskan, pada saat yang bersamaan juga mudah dalam menyebarkannya. Dalam hitungan detik, tulisan bisa menyebar ke berbagai belahan dunia dan siapapun yang terkoneksi bisa membacanya.

Jejak peradaban tulis itu ke depan mungkin tidak akan terlihat dalam lembaran-lembaran bahkan jilidan-jilidan buku dengan warna yang menguning dan dan lapuk karena termakan usia, tetapi semua serba digital, semua bisa diakses secara virtual. Perpustakaan-perpustakaan tidak lagi berjejer kitab, buku dan ensiklopedi, tetapi layar-layar digital disetiap sudut, yang setiap orang bisa akses di manapun dan dari manapun. Bahkan mungkin bangunan perpustakaan sudah tidak ada lagi, karena tidak perlu ruangan fisik untuk menyimpan hasil peradaban tulis itu.

Dengan perangkat digital, setiap orang bisa mengamalkan perintah Iqra, membuat peradaban tulis dalam jejak digital, dan estafeta pengetahuan dapat berlangsung. Tetapi pada saat yang sama, kontak sosial semakin sedikit, rasa kemanusiaan semakin menipis. Pada saat itu, _New Iqra_ diperlukan. Kita berada peradaban yang bukan lagi digital, tetapi post digital. Peradaban yang tentu penuh tantangan.


Yogyakarta, Kamis, 14 Mei 2020/21 Ramadhan 1441 H
Penjaga Pondok Pesantren UII
Sebelumnya
Berikutnya

0 comments: