Monday, August 24, 2020

Adopsi dan larangan menghilangkan nasab


 Ada praktek sosial dalam masyarakat “mengangkat” anak atau adopsi yang dalam istilah fiqh disebut hadhanah. Sebabnya ada beberapa, antara lain karena sudah lama menikah tidak memiliki keturunan, atau karena membantu orang yang secara ekonomi lemah sehingga terbebani dengan banyaknya anak, atau karena menemukan anak yang dibuang dan tidak sedikit yang disebabkan menutup aib karena lahir tanpa ayah sebab kehamilan sebelum menikah.

Dalam Islam, adopsi atau hadhonah pada dasarnya diperbolehkan dengan tidak menghilangkan nasab anak. Pada kenyataannya tidak sedikit praktik adopsi dilakukan dengan menisbatkan nasab anak angkat kepada orang tua angkatnya, sehingga nasab anak kepada orang tua kandungnya seakan terputus. Tak hanya nasab yang terputus, praktik adopsi tak jarang juga mengakibatkan hubungan si anak dengan orang tuanya benar-benar hilang hingga sang anak sama sekali tak mengenali orang tua kandung dan keluarga asalnya. Pada gilirannya, banyak kepentingan anak yang semestinya melibatkan orang tua kandung digantikan oleh orang tua angkat meski hal itu acapkali melanggar aturan syariat.

Asal usul praktek adopsi

Praktik  mengadopsi anak merupakan salah satu praktik sosial yang sudah lama berlaku. Tidak terkecuali pada bangsa Arab. Budaya masyarakat Arab yang mengangkat seseorang sebagai anaknya akan memperlakukan anak tersebut sebagaimana anak kandung sendiri. Bahkan mereka menasabkan anak angkat kepada orang tua angkatnya. Hal itu pula yang dilakukan oleh Rasulullah terhadap Zaid bin Haritsah. Zaid bin Haritsah adalah seorang budak yang dihadiahkan oleh Khadijah kepada suaminya  (Rasulullah) dan kemudian oleh Rasulullah dimerdekakan dan diangkat sebagai anak. Rasulullah menasabkan Zaid kepada dirinya sehingga para sahabat memanggil Zaid bin Muhammad. Bahkan Rasulullah sempat mengumumkan kepada masyarakat dengan mengatakan, “Wahai bangsa Quraisy, saksikanlah bahwa sesungguhnya Zaid adalah anakku. Ia mewarisiku dan aku pun mewarisinya.” (marah Labid: darul fikri, 2007).

Islam meluruskan praktek adopsi

Praktek adopsi yang dilakukan oleh rasulullah tersebut kemudian diluruskan oleh Allah dengan turunnya ayat 5 surat al Ahzab :

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Artinya:

“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan menasabkan kepada bapak-napak mereka. Hal itu lebih adil di sisi Allah. Apabila kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka panggillah mereka sebagai saudaramu dalam agama dan maula-maula kalian. Tidak ada dosa atas kalian di dalam apa yang tak kalian sengaja, akan tetapi (berdosa) apa yang disengaja oleh hati kalian. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


               Para ahli tafsir berpendapat bahwa sebab turunnya (asbabun nuzul) ayat tersebut berkenaan dengan Zaid bin Haritsah sebagai anak angkat Rasulullah. Dengan ayat ini Allah memerintahkan untuk mengembalikan nasab anak angkat kepada ayah yang sesungguhnya. Berdasarkan ayat itu pula Allah menyampaikan bahwa perbuatan menisbatkan anak angkat kepada ayah angkat karena ketidaktahuan (hukum) tidak berdosa. Artinya yang telah berlalu diampuni oleh Allah, tetapi ketika sudah tahu hokum namun tetap menyengaja menisbatkan nasab anak angkat kepada orang tua angkatnya, maka perbuatan tersebut merupakan dihukumi dosa.


Antara panggilan dan hilangnya nasab

Ibnu Kasir berpendapat bahwa memanggil orang lain dengan sebutan “anakku” tidak menjadi masalah bila itu dilakukan dalam rangka memuliakan dan menunjukkan rasa cinta. Ia menyandarkan pendapatnya pada hadits yang meriwayatkan bahwa sahabat Anas bin Malik pernah dipanggil oleh Rasulullah dengan panggilan “wahai anakku”.  

Merujuk pada pendapat terserbut dan pernyataan Allah dalam Ayat 4 surat al Ahzab “dan tidaklah Allah menjadikan yang kamu panggil anak(ku) itu menjadi anakmu”

 وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ

maka panggilan anakku dari guru ke murid, atau ustadz ke santri, atau pangilan saying dari yang tua kepada yang muda tidaklah termasuk yang dilarang. Yang dilarang ialah menghilangkan nasab.

Dalam tataran praksis kontemporer, larangan ini lebih tepat dipahami sebagai larangan menisbatkan anak angkat kepada orang tua angkat terutama dalam mencantumkan nama ayah dan/atau ibu pada dokumen administrasi kependudukan, terutama pada Akta Kelahiran dan Kartu Keluarga.

Islam tidak melarang umatnya untuk mengasuh, mendidik, dan mengadopsi seorang anak. Bahkan mengangkat anak  dapat digolongkan sebagai kebaikan sebagaimana yang dianjurkan oleh Islam. Meski demikian, kebaikan tidak boleh dilakukan dengan mengabaikan ketentuan agama. Dalam konteks ini, nilai kebaikan mengangkat anak dengan mengasuh, membimbing dan mendidik anak angkat tidak boleh dilakukan dengan menghilangkan nasabnya kepada orang tua yang sebenarnya.

Dalam Islam, anak angkat tetaplah anak bagi orang tua yang melahirkannya dan selamanya tidak akan pernah berubah menjadi anak bagi orang yang mengadopsi. Ketika anak angkat dinisbatkan kepada ayah dan ibu angkat, maka akan banyak persoalan penyerta. Misalnya, saat seorang anak perempuan angkat hendak melangsungkan pernikahan maka pihak KUA akan menetapkan dan menuliskan nama ayah dan walinya berdasarkan nama yang tercantum di akta kelahiran. Padahal nama ayah yang tercantum pada akta kelahiran dan Kartu keluarga tersebut adalah nama orang tua angkat, bukan orang tua yang semestinya. Padahal dalam onteks wali nikah, ayah angkat tidak sah menjadi wali.  Bila hal ini terus ditutupi, akad nikahnya tidak sah secara syariat. Demikian juga akan muncul masalah terkait waris.

Allâhu a’lam.

Saturday, August 22, 2020

Puasa Hari Asyura (tanggal 10 Muharram)



و حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنِي إِسْمَعِيلُ بْنُ أُمَيَّةَ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا غَطَفَانَ بْنَ طَرِيفٍ الْمُرِّيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُا حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ


Dan telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Ali Al Hulwani telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub telah menceritakan kepadaku Isma'il bin Umayyah bahwa ia mendengar Abu Ghathafan bin Tharif Al Murri berkata, saya mendengar Abdullah bin Abbas radhiallahu'anhuma berkata saat Rasulullah ﷺ berpuasa pada hari 'Asyura`dan juga memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa; Para sahabat berkata "Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang sangat diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani." Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Pada tahun depan insya Allah, kita akan berpuasa pada hari ke sembilan (Muharam)." Tahun depan itu pun tak kunjung tiba, hingga Rasulullah ﷺ wafat. 


HR. Muslim: 1.916 @ensiklipedi hadis


Ibrah : 

Hadis ini menjadi dasar puasa Asyura (puasa tanggal 10 Muharram). Karena Rasulullah melakukan puasa tanggal 10 Muharram, maka itu menjadi Sunnah yang baik untuk kita ikuti.

Disamping itu, setelah mendapatkan masukan dari para sahabat Rasulullah berazam (berniat) puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah, meski belum sampai tanggal tersebut Rasulullah telah wafat lebih dahulu. 

Memahami hadis ini, berarti syariat puasa Asyura dilakukan pada tahun terakhir masa kehidupan Rasulullah.

Karena Rasulullah belum sempat melakukan puasa tanggal 9 Muharram, maka ulama kemudian berbeda pendapat terkait hal tersebut. Sebagian ulama mencukupkan dengan puasa tanggal 10 saja, sebagaian ulama lainnya berpendapat perlunya menambah puasa tanggal 9 atau tanggal 11 agar tidak tasyabbuh (menyerupai) umat Yahudi dan Nasrani. 

Dalam hadis Lain diterangkan keutamaan atau Fadhilah puasa Asyura ialah bahwa Rasulullah berharap puasa tersebut dapat menghapus dosa satu tahun yang telah lalu.

Sunday, August 9, 2020

Kisah Abu bakar Ash-Shiddiq (6) : Murid tiga manusia suci (2)



Adapun mengenai Qus bin Saidah al-Iyyadi, peristiwa pertemuan Abu Bakar dengan dirinya diriwayatkan oleh Abu Bakar sendiri setelah dia masuk Islam. Pada suatu hari Rasulullah SAW sedang bersama para sahabatnya, beliau membuka beberapa lembar kenangan pada masa mudanya.


Rasulullah bersabda, “Aku tak lupa kepada Qus bin Saidah yang ketika itu sedang mengendarai seekor unta berwarna keabu-abuan di Pasar Ukadh. Dia mengucapkan pidato yang sudah tidak kuingat lagi.”


Kemudian Abu Bakar berkata, “Aku masih mengingatnya wahai Rasulullah! Aku juga hadir di Pasar Ukadh pada hari itu. Di atas untanya yang keabu-abuan itu, Qus berpidato sebagai berikut:


‘Hai manusia! Dengar dan perhatikanlah, serta ambillah manfaat dari pendengaranmu itu! Sesungguhnya setiap orang yang hidup itu akan mati, dan setiap orang yang mati akan lenyap dan pergi. Segala yang datang itu pasti akan berlalu.


‘Sesungguhnya di langit itu ada berita, dan di muka bumi itu ada pelajaran bagi kita. Begitu pun pada hamparan-hamparan yang dibentangkan, atap-atap yang ditinggikan, bintang-bintang yang beredar, lautan yang airnya tak pernah kering, malam yang sunyi senyap, dan langit-langit yang memiliki rasi-rasi.


‘Aku bersumpah, bahwa Allah memiliki suatu agama yang lebih disukai-Nya ketimbang agama yang sedang kalian anut sekarang ini!


‘Mengapa orang-orang itu pergi dan tak kembali? Apakah mereka senang tinggal di sana lalu menetap? Ataukah mereka itu dibiarkan lalu tertidur pulas?’.”


Abu Bakar kemudian mengucapkan syair gubahan Qus bin Saidah:


Tatkala aku lihat maut itu mengalir tiada hentinya


Menuju muara padahal tak ada hulu dan sumbernya


Aku lihat orang-orang berdatangan ke sana


Tak pandang bulu, baik besar mau pun kecil


Yakinlah aku bahwa aku pun pasti dan tak dapat tidak


Suatu saat akan mengikuti jejak mereka pula[1]


Mengenai Waraqah bin Naufal, meskipun pada seri sebelumnya sempat disinggung bahwa Abu Bakar pernah berguru kepadanya, namun sejauh ini penulis masih belum menemukan riwayat yang mengisahkannya.


Riwayat termasyhur mengenai Waraqah adalah justru tentang pernyataannya yang membenarkan kenabian Muhammad SAW setelah beliau menerima wahyu pertama yang disampaikan melalui Jibril AS. Berikut ini adalah riwayat dari Ibnu Humaid yang dikutip oleh Ibnu Hisyam:


Aku (Muhammad) mendengar suara dari surga berkata, “Wahai Muhammad, engkau adalah utusan Allah, dan aku adalah Jibril.”


Aku menengadahkan kepalaku ke arah surga, dan di sana ada Jibril dalam bentuk seorang pria dengan kakinya yang diletakkan di cakrawala, berkata, “Wahai Muhammad, engkau adalah utusan Allah, dan aku adalah Jibril.”


Aku berdiri menatapnya dan ini mengalihkan perhatianku dari apa yang aku maksudkan (lari dari gunung setelah terkejut menerima wahyu pertama-pen), dan aku tidak dapat maju atau pun mundur. Aku memalingkan wajahku darinya ke semua titik cakrawala, tetapi di mana pun aku melihat, aku melihatnya dalam sosok yang persis sama.


Aku terus berdiri di sana, tidak maju atau pun mundur, sampai Khadijah mengirim suruhannya untuk mencariku. Mereka pergi sejauh Makkah dan kembali kepadanya (karena tidak berhasil menemukan Rasulullah-pen), sementara aku berdiri di tempat yang sama. Akhirnya Jibril meninggalkanku dan aku kembali ke keluargaku.


Ketika aku bertemu Khadijah, aku duduk dengan kakiku di sebelahnya, dan dia berkata kepadaku, “Abu al-Qasim (nama panggilan Rasulullah sebelum menjadi Nabi-pen), dari mana saja engkau? Aku mengirim suruhan untuk mencarimu sampai ke Makkah dan kembali.”


Aku berkata kepadanya, “Aku seorang penyair atau orang yang hilang akal,” tetapi dia (Khadijah) menjawab, “Semoga Allah menyelamatkanmu dari hal demikian, Abu al-Qasim! Allah tidak akan melakukan itu kepadamu, mengingat apa yang aku tahu tentang kejujuranmu, kepercayaan (orang-orang) yang begitu besar kepadamu, karakter baikmu, dan perlakuan baikmu terhadap kerabatmu. Bukan itu, sepupu. Mungkin engkau memang melihat sesuatu.”


“Ya,” kataku, dan kemudian memberitahunya apa yang telah kulihat.


“Bersukacitalah, sepupu, dan berdirilah dengan teguh,” katanya, “Demi Dia, yang pada tangan-Nya jiwa Khadijah berada, aku berharap engkau menjadi Nabi umat ini.”


Kemudian dia bangkit, mengenakan pakaiannya, dan pergi menemui Waraqah bin Naufal bin Asad, yang merupakan sepupu dari pihak ayahnya. Dia telah menjadi seorang Kristen, membaca Kitab Suci, dan belajar dari Ahli Kitab Taurat dan Injil. Dia mengatakan kepadanya apa yang dikatakan oleh Rasulullah kepadanya bahwa dia telah melihat dan mendengar (perkataan Jibril).


Waraqah berkata, “Yang Maha Suci, Yang Maha Suci! Demi Dia yang di tangan-Nya adalah jiwa Waraqah, jika apa yang engkau katakan itu benar, Khadijah, telah datang kepadanya Namus teragung – maksudnya adalah Jibril – yang datang kepada Musa. (Itu berarti bahwa) Muhammad adalah Nabi umat ini. Katakan padanya untuk berdiri dengan teguh.”


Khadijah kembali ke Rasulullah dan memberi tahunya apa yang dikatakan Waraqah, dan ini sedikit mengurangi kecemasannya. Ketika beliau telah pulih (dari keterkejutan), dia kembali ke Makkah dan, seperti kebiasaannya yang biasa, pergi dulu ke Kabah dan bertawaf mengitarinya.


Waraqah bin Naufal bertemu dengannya ketika dia melakukan ini dan berkata, “Putra saudaraku, katakan padaku apa yang engkau lihat atau dengar.”


Rasulullah menceritakannya, dan Waraqah berkata kepadanya, “Demi Dia yang memiliki jiwaku, engkau adalah Nabi umat ini, dan telah datang kepadamu Namus teragung, dia yang datang kepada Musa. Mereka akan menyebutmu pembohong, menganiayamu, mengusirmu, dan melawanmu. Jika aku masih hidup ketika melihat itu, aku akan datang meminta bantuan Allah dengan cara yang Dia tahu.”


Kemudian dia mendekatkan kepalanya dan mencium bagian atas kepalanya. Rasulullah pulang dengan tekad yang telah diperkuat oleh apa yang dikatakan Waraqah dan dengan sedikit kelegaan atas kecemasannya.[2][3]


Jika memang Abu Bakar sempat berguru kepada Waraqah bin Naufal, maka berdasarkan riwayat di atas, – sebagaimana akan kita lihat nanti – semestinya pada waktunya dia mendapatkan berita bahwa Muhammad SAW adalah seorang Nabi, dia pun tidak akan ragu sedikitpun untuk membenarkannya, sebagaimana yang telah Waraqah lakukan. (PH)


Bersambung


Catatan Kaki:


[1] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984), hlm 28-29.


[2] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 6, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh W. Montgomery Watt dan M. V. McDonald (State University of New York Press: New York, 1988), hlm 71-73.


[3] Sementara banyak ahli hadis tidak meragukan riwayat pertemuan Khadijah dengan Waraqah bin Naufal, namun beberapa meragukan bahwa Waraqah sempat bertemu dengan Rasulullah seperti digambarkan dalam riwayat di atas. – W. Montgomery Watt dan M. V. McDonald dalam pengantar Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 6.


Catatan :

Tulisan ini berasal dari WAG APRI. Semoga menjadi jariyah penulisnya.

Segera dan teruslah beramal,



حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ جَمِيعًا عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ ابْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ قَالَ أَخْبَرَنِي الْعَلَاءُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا


Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah serta Ibnu Hujr semuanya dari Ismail bin Ja'far berkata Ibnu Ayyub telah menceritakan kepada kami Ismail dia berkata, telah mengabarkan kepadaku al-Ala' dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Segeralah beramal sebelum datangnya fitnah seperti malam yang gelap gulita. Di pagi hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir di sore harinya. Di sore hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir dipagi harinya. Dia menjual agamanya dengan kenikmatan dunia." 


HR. Muslim: 169@ensiklopedi hadis


Ibrah :

Anjuran untuk mensegerakan amal kebaikan. Jangan ditunda tunda, karena niat baik kalau tidak disegerakan bisa keburu berubah pikiran dan atau digoda syetan/nafsu  sehingga tidak jadi ditunaikan.


Perlunya selalu menjaga tauhid/keimanan sehinga tidak mudah goyah dan terombang-ambing oleh godaan nikmat dunia bahkan hingga menjual agama.


Ingat, perbuatan baik pada dasarnya akan kembali kepada kita. Dalam bahasa Jawa, sing nandur bakal ngunduh (siapa menanam ia yang akan mengetam/memetik hasilnya).

Saturday, August 8, 2020

Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq (5): Murid tiga manusia suci (1)


Abu Bakar muda, waktu itu masih dipanggil dengan sebutan Atiq, meskipun hidup di sekitar lingkungan Jahiliyah, seringkali merasakan kejanggalan ketika melintas di depan Kabah. Ketika melihat orang-orang berputar-putar di sekitar berhala-berhala mereka, dia tertegun dan merenung.


Di dalam hatinya dia berkata, bagaimana mungkin manusia yang dapat mendengar dan berpikir, tetapi dapat tersungkur dan sujud kepada deretan batu-batu yang tak dapat mendengar dan melihat, apalagi mengetahui yang benar.


Meski demikian, Atiq tidak pernah mengungkapkannya kepada siapa pun. Dan walaupun tanpa pemberitahuan kepada siapa pun, dia menghindarkan diri dari berhala-berhala itu dan menghabiskan hari-harinya jauh dari adat istiadat jahiliyah. Dia hampir tidak pernah menemui seseorang hanya sekadar untuk menghabiskan waktu.[1]


Adapun Aisyah binti Abu Bakar RA, sebagaimana telah disahihkan oleh Ibnu Asakir, berkenaan dengan sikap Abu Bakar di atas, meriwayatkan:


“Demi Allah, Abu Bakar tidak pernah berbicara puisi (maksudnya dia tidak pernah ‘menyusun’ puisi apa pun yang pada waktu itu sedang menjadi tren di kalangan masyarakat jahiliyah-pen) baik pada (masa) Jahiliyah atau pun dalam (masa) Islam, dan dia dan Utsman berhenti minum anggur pada (masa) Jahiliyah.”[2]


Adapun ketika sudah datang masa Islam, suatu waktu Abu Bakar pernah ditanya tentang masa lalunya. Sebagaimana dikutip oleh Ibnu Asakir, Abul-Aliyyah ar-Riyahi meriwayatkan:


Ditanyakan kepada Abu Bakar ash-Shiddiq dalam sebuah perkumpulan dengan para sahabat Rasulullah SAW, “Apakah engkau minum anggur di masa Jahiliyah?”


Dia berkata, “Aku mencari perlindungan kepada Allah (dari meminumnya).”


Seseorang bertanya, “Mengapa?”


Dia menjawab, “Aku mencoba melindungi kehormatanku dan menjaga martabatku, karena siapa pun yang meminum anggur akan kehilangan kehormatan dan martabatnya.”[3]


Namun, meski Abu Bakar tidak melakukan adat istiadat Jahiliyah, dia tidak menunjukkan kebencian apapun terhadap Kaum Quraisy. Dia tidak pernah mencela perbuatan-perbuatan mereka. Dia menutup rapat perbuatan dan keyakinannya, karena bagaimanapun dia adalah pemimpin kabilahnya sendiri, Bani Taim bin Murrah bin Kaab, yang harus dia lindungi.


Di pundak Abu Bakar waktu itu terpikul tugas yang paling penting dan utama, dia adalah pengumpul diyat (uang tebusan) Kaum Quraisy. Terbayang olehnya, bencana-bencana yang mungkin akan ditemuinya jika dia mengungkapkan keyakinannya.[4]


Adapun sebagai pelarian dari kegelisahan hatinya, Abu Bakar seringkali secara diam-diam menemui tiga manusia suci pada masa itu: Qus bin Saidah al-Iyyadi, Zaid bin Amr bin Nufail, dan Waraqah bin Naufal. Mereka adalah penganut agama Ibrahim yang telah meninggalkan keramaian dunia dan hidup menyepi.


Dari Zaid bin Amr bin Nufail dia mendapatkan sebuah pertanyaan, “Manakah yang benar, apakah Tuhan yang satu, atau tuhan yang beribu-ribu? Apakah dapat dikatakan agama jika urusan terpecah semena-mena?”


Pertanyaan itu bertahan lama, hinggap di dalam pikirannya, dan karenanya Abu Bakar menderita. Dia begitu ingin mencari tahu kebenaran.


Suatu waktu Zaid bin Amr bin Nufail suaranya meninggi, di antara tiga manusia suci ini dia yang suaranya paling keras, menyerukan agama Ibrahim. Akibatnya orang-orang Quraisy merasa terganggu, sehingga mereka menghasut salah seorang kerabatnya, yaitu Khattab bin Nufail, untuk menutup pintu rumahnya dan membiarkannya terpencil.


Dalam kesempatan lain, Zaid bin Amr bin Nufail yang sudah tua bersandar pada dinding Kabah, dan dia menyeru, “Hai Kaum Quraisy! Demi Dzat yang nyawaku berada dalam tangan-Nya, tak seorang pun di antara kalian yang masih mengikuti agama Ibrahim dan Ismail sepeninggal mereka.


“Dan sungguh, aku sedang menunggu-nunggu kedatangan seorang Nabi keturunan Ismail, yang aku rasa, aku tak akan sempat bertemu dengannya.”


Kemudian tampak olehnya Amir bin Rabiah, maka dipanggilnya dia seraya berkata, “Hai Amir bin Rabiah, jika umurmu panjang sampaikanlah salamku kepadanya!”


Zaid bin Amr bin Nufail kemudian menyeruak ke dalam barisan orang-orang yang sedang mengelilingi Kabah, kemudian menyeru dengan suara yang lantang, “Ya Rabbi! Aku terima kebenaran itu sebagai kebenaran. Aku beribadah dan memperhambakan diri hanya kepada-Mu. Aku berlindung kepada Dzat yang menjadi tempat berlindung Nabi Ibrahim.


“Dan kuserahkan diriku kepada Dzat tempat bumi menyerahkan dirinya, yakni bumi yang dihamparkan-Nya dengan membawa bebatuan yang tak terkira jumlahnya, yang kemudian dijadikan-Nya gunung-gunung untuk mengukuhkan kedudukannya.


“Dan kuserahkan diriku kepada Dzat tempat awan menyerahkan dirinya, yakni awan hitam yang membawa air, yang sejuk dan tawar rasanya.”


Melihatnya, Abu Bakar berkata di dalam hati, “Demi Tuhan Ibrahim, inilah sebenarnya yang hak! Tetapi bagaimana caranya? Serta bilakah masanya kita akan beroleh keyakinan terhadap-Nya?”


Sementara, Zaid sendiri, bukanlah seorang nabi, maka dia pun senantiasa berada di dalam pencariannya, berkata, “Ya Allah, sekiranya aku mengetahui cara yang lebih Engkau sukai dalam beribadah kepada-Mu, tentulah aku akan melakukannya. Tetapi bagaimana? Aku tidak mengetahuinya….” [5] (PH)


Bersambung


Catatan Kaki:


[1] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984), hlm 24-26.


[2] Jalal ad-Din as-Suyuti, Tarikh al-Khulafa, diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul The History of the Khalifahs who took the right way oleh Abdassamad Clarke (Ta-Ha Publishers Ltd: Turki, 1995), hlm 6-7.


[3] Ibid.


[4] Khalid Muhammad Khalid, Loc.Cit.


[5] Ibid., hlm 29-30.


Catatan :

Tulisan ini berasal dari WAG APRI. Semoga menjadi jariyah penulisnya.

Thursday, August 6, 2020

Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq (3) : Tokoh besar Quraish


Berita tentang kehidupan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA pada masa kecil, remaja, dan dewasa pada masa sebelum Islam begitu terbatas, sehingga ada beberapa dari fase kehidupannya yang digambarkan berdasarkan perkiraan saja.


Mengenai hal ini sejarawan Muhammad Husain Haekal menulis:


“Sumber-sumber yang sampai kepada kita mengenai masa kecil Abu Bakar tidak banyak membantu untuk mengenal pribadinya dalam situasi kehidupan saat itu. Cerita sekitar masa anak-anak dan remajanya tidak juga memuaskan.


“Apa yang diceritakan tentang kedua orangtuanya tidak lebih daripada sekedar menyebut nama saja. Setelah Abu Bakar menjadi tokoh Muslim yang penting, barulah nama ayahnya disebut-sebut.


“Ada pengaruh Abu Bakar dalam kehidupan ayahnya, namun pengaruh ayahnya dalam kehidupan Abu Bakar tidak ada. Tetapi yang menjadi perhatian kalangan sejarawan waktu itu justru yang menyangkut kabilahnya serta kedudukannya di tengah-tengah masyarakat Quraisy.”[1]


Meski demikian, dari serpihan-serpihan informasi yang tersebar dalam riwayat-riwayat para sahabat dan juga penggambaran dari beberapa sejarawan, penulis akan tetap mencoba menuturkannya kepada para pembaca.


Sewaktu kecil Abu Bakar hidup seperti umumnya anak-anak di Makkah. Beranjak ke usia remaja, dia menjadi pedagang pakaian dan sukses di bidang tersebut. Dalam usia yang masih begitu muda itu, dia kemudian menikahi Qutailah binti Abdul Uzza. Dari pernikahan ini, dia memperoleh dua orang anak, yaitu Abdullah dan Asma. Setelahnya Abu Bakar menikah kembali dengan Umm Rauman binti Amir bin Uwaimir, darinya lahir Abdurrahman dan Aisyah.[2]


Menginjak usia dewasa, Abu Bakar memiliki posisi yang tinggi di antara Kaum Quraish. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Asakir:


Maruf bin Kharrabudh berkata, “Abu Bakar Ash-Shiddiq RA adalah satu dari sepuluh orang Quraisy yang mempersatukan keunggulan/otoritas (Kaum Quraisy) pada masa Jahiliyah dan Islam. Dia memiliki tanggung jawab untuk penyelesaian masalah uang darah (diyat) dan piutang. Itu karena Quraisy tidak memiliki raja yang kepadanya semua urusan dapat dirujuk. Sebaliknya di setiap kabilah ada area tanggung jawab umum yang diserahkan kepada pemimpinnya….”[3]


An-Nawawi berkata, “Dia (Abu Bakar) adalah salah satu pemimpin Quraish pada masa Jahiliyah, salah satu penasihat mereka, yang dicintai di antara mereka, dan yang paling bijaksana dalam urusan mereka.”[4]


Hal lainnya adalah mengenai silsilah. Silsilah memainkan peranan penting dalam tradisi budaya orang-orang Arab. Silsilah adalah struktur dasar masyarakat Arab yang kemudian untuk memberikan gambaran tentang suatu kabilah, kisah-kisah atau peristiwa tertentu di masa lalu disusun sedemikian rupa untuk mencapai suatu citra yang diinginkan.


Dengan demikian, bagi orang-orang Arab pada periode sekitar 600 M, silsilah adalah jantung dari pengetahuan tradisional mereka. Setiap orang ingin memastikan bahwa kabilahnya adalah kabilah terhormat, dan kehormatan ini dikaitkan dengan nama-nama tokoh besar di masa lalu. Mempertahankan kehormatan kabilah adalah tindakan yang begitu diapresiasi di antara orang-orang Arab pada waktu itu.


Berkenaan dengan Abu Bakar, dia adalah seorang ahli silsilah. Dengan keahliannya ini, sangat dimungkinkan bahwa Abu Bakar memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai politik internal di berbagai kabilah. Persoalan silsilah adalah sesuatu yang rumit, karena masing-masing kelompok seringkali membuat klaim yang saling bertentangan tentang leluhur mereka.[5]


Tentang hal ini, sejarawan Ibnu Hisyam berkata:


“Abu Bakar adalah laki-laki yang akrab di kalangan masyarakatnya, disukai karena dia serba mudah. Dia dari keluarga Quraisy yang paling dekat dan paling banyak mengetahui seluk-beluk kabilah-kabilah itu, yang baik dan yang jahat.


“Dia seorang pedagang dengan perangai yang sudah cukup terkenal. Jika ada suatu masalah, pemuka-pemuka masyarakat sering datang menemuinya, mungkin karena pengetahuannya, karena perdagangannya, atau mungkin juga karena cara bergaulnya yang enak.”[6]


Adapun Jalal ad-Din as-Suyuti menggambarkan kehidupan awal Abu Bakar dengan:


“Kehidupan awalnya adalah di Makkah, yang hanya dia tinggalkan jika sedang berdagang, dan dia memiliki kekayaan besar di antara masyarakatnya, marwah yang sempurna, dan kemurahan hati, dan kesopan-santunan di antara mereka.”[7] (PH)


Bersambung



Catatan Kaki:


[1] Muhammad Husain Haekal, Abu Bakar As-Siddiq: Sebuah Biografi, diterjemahkan dari Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia oleh Ali Audah (Litera Antar Nusa: Jakarta, 2003, Cet. Ketiga), hlm 1.


[2] Ibid., hlm 3.


[3] Jalal ad-Din as-Suyuti, Tarikh al-Khulafa, diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul The History of the Khalifahs who took the right way oleh Abdassamad Clarke (Ta-Ha Publishers Ltd: Turki, 1995), hlm 6-7.


[4] Ibid., hlm 6.


[5] W. Montgomery Watt dan M. V. McDonald dalam pengantar kitab terjemahan karya al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 6, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh W. Montgomery Watt dan M. V. McDonald (State University of New York Press: New York, 1988), hlm xxvi.


[6] Muhammad Husain Haekal, Op.Cit., hlm 4.


[7] Jalal ad-Din as-Suyuti, Ibid.


Catatan :

Tulisan ini berasal dari WAG APRI.

Wednesday, August 5, 2020

Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq (2) : Nasab dan kelahiran


Setelah peristiwa Tahun Gajah, tahun di mana Nabi Muhammad SAW lahir, terdapatlah sepasang suami dan istri Quraish. Sang suami memiliki nama Abu Quhafah, dan sang istri bernama Ummu Al-Khair. Abu Quhafah bukanlah nama aslinya, melainkan julukan saja (kunyah), nama aslinya adalah Utsman bin Amir bin Amr. Begitu pula dengan Ummu al-Khair, nama aslinya adalah Salmah binti Sakhar bin Amr bin Kaab bin Saad bin Tim.[1]


Pasangan ini berasal dari golongan bangsawan Quraish, dari Kabilah Taim bin Murrah bin Kaab. Bani Taim, dari semenjak sebelum masa Hasyim bin Abdu Manaf (leluhur Rasulullah), di lingkungan masyarakat Quraish telah dipercaya sebagai pengelola masalah diyat (tebusan darah) dan segala macam tebusan ganti rugi lainnya. Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa Bani Taim terkenal dengan sifat-sifatnya yang terpuji, yaitu pemberani, pemurah, ksatria, suka menolong, dan gemar melindungi tetangga.[2]


Ummu al-Khair, setiap kali memiliki anak laki-laki, selalu diberi cobaan dengan meninggalnya mereka. Hingga pada suatu waktu dia memiliki anak laki-laki lagi. Tidak ingin terulang, dia membawa anaknya ke hadapan Kabah dan berdoa, “Ya Allah, jika yang satu ini terbebas (atiq) dari kematian, maka berikanlah dia kepadaku.” Anak inilah yang di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Abu Bakar Ash-Shiddiq RA.[3]  


Permintaannya kemudian dikabulkan oleh Allah SWT, anak tersebut kemudian diberi nama Abdul Kabah.[4] Beberapa sumber lain menyebutkan namanya Abdullah,[5] namun sejarawan Muhammad Husain Haekal berpendapat bahwa nama Abdullah baru muncul setelah dia masuk Islam dan Rasulullah memberinya nama Abdullah.[6] Meski demikian, banyak sumber sejarah lain yang menyebutkan, bahwa dalam kesehariannya dia lebih sering dipanggil dengan nama Atiq.[7]


Para sejarawan sepakat bahwa Abu Bakar dilahirkan setelah Tahun Gajah – tahun ketika Abrahah melakukan perjalanan menuju Makkah dengan pasukannya – yang mana artinya adalah bahwa dia sedikit lebih muda dari Nabi Muhammad.


Namun di luar kesepakatan umum itu, para sejarawan berbeda pendapat tentang tanggal pasti kelahirannya. Beberapa berpendapat bahwa dia dilahirkan tiga tahun setelah Tahun Gajah, yang lainnya meyakini bahwa dia dilahirkan dua tahun enam bulan setelah Tahun Gajah, dan yang lainnya lagi mengatakan bahwa dia dilahirkan dua tahun dan beberapa bulan setelah Tahun Gajah.[8]


Ibnu Katsir meriwayatkan:


Yazid ibn al-Asamm berkata, bahwa Nabi berkata kepada Abu Bakar, “Apakah aku yang lebih tua atau engkau?”


Dan dia berkata, “Engkau lebih tua dariku, tetapi aku (hanya) memiliki beberapa tahun yang lebih (muda) darimu.”[9]


Dilahirkan dan dibesarkan di dalam sebuah keluarga dari garis keturunan bangsawan, Abu Bakar diberkahi dengan pendidikan yang sangat menjunjung tinggi sopan santun. Dan sedari usia muda, dia telah mendapatkan kedudukan yang terhormat di tengah-tengah masyarakat.


Adapun penampilan fisiknya, dia digambarkan berkulit putih dan kurus. Beberapa sejarawan memiliki riwayat terkait yang menyatakan bahwa warna putih kulitnya bercampur dengan warna kuning. Punggungnya condong ke depan pada tingkat tertentu. Wajahnya kurus, dan karena dahinya agak menonjol, maka itu membuat rongga matanya tampak sangat dalam di wajahnya. Dan meskipun betisnya kurus, kakinya berotot.[10]


Sementara itu, Aisyah RA, putri Abu Bakar kelak, pernah menggambarkan bahwa perawakan ayahnya adalah kurus, putih, dengan sepasang bahu yang kecil dan muka lancip dengan mata yang cekung disertai dahi yang agak menonjol dan urat-urat tangan yang tampak jelas. Sementara itu perangainya digambarkan damai, sangat lemah lembut, dan sikapnya tenang sekali. Dia tak mudah terdorong oleh hawa nafsu.[11] (PH)


Bersambung



Catatan Kaki:


[1] Dr. Ali Muhammad Muhammad As-Sallaabee, The Biography of Abu Bakar As-Siddeeq, diterjemahkan dari Bahasa Arab ke Bahasa Inggris oleh Faisal Shafeeq (Darussalam: Riyadh, 2007), hlm 33.


[2] Muhammad Husain Haekal, Abu Bakar As-Siddiq: Sebuah Biografi, diterjemahkan dari Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia oleh Ali Audah (Litera Antar Nusa: Jakarta, 2003, Cet. Ketiga), hlm 2.


[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari jalur Musa bin Talhah bin Ubaidillah, dikutip oleh Jalal ad-Din as-Suyuti, Tarikh al-Khulafa, diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul The History of the Khalifahs who took the right way oleh Abdassamad Clarke (Ta-Ha Publishers Ltd: Turki, 1995), hlm 3.


[4] Muhammad Husain Haekal, Op.Cit., hlm 2-3.


[5] Yang mengatakan demikian adalah Ibnu Katsir dan Ibnu Asakir, dalam Jalal ad-Din as-Suyuti, Loc. Cit.


[6] Muhammad Husain Haekal, Op.Cit., hlm 3.


[7] Jalal ad-Din as-Suyuti, Loc. Cit.


[8] Dr. Ali Muhammad Muhammad As-Sallaabee, Op. Cit., hlm 32.


[9] Jalal ad-Din as-Suyuti, Op.Cit., hlm 6.


[10] Dr. Ali Muhammad Muhammad As-Sallaabee, Loc.Cit.


[11] Muhammad Husain Haekal, Op.Cit., hlm 4.


Catatan :

Tulisan ini berasal dari WAG APRI. Semoga menjadi amal jariyah penulisnya. 

Tuesday, August 4, 2020

Terlanjur salah mengangkat anak: bagaimana membetulkan dan kapan waktu yang tepat untuk memberitahu?

 

Tanya :

Assalamu’alaikum ww

Ustadz, sebelum menikah dengan saya. Suami saya telah menikah dan istrinya tersebut wafat. Lalu menikahi saya. Selama pernikahan tersebut, suami dan (mantan) istri tersebut pernah mengangkat anak. Intinya ada anak yang lahir diluar perkawinan, kemudian diangkat anak oleh suami saya dan dibuatkan akta kelahiran atas nama suami dan (mantan) istrinya tersebut. Saat ini kami menyadari bahwa hal tersebut keliru. Anak tersebut perempuan, sekarang berumur 13 tahun dan hingga saat ini, anak tersebut belum mengetahui bahwa dia anak angkat. Pertanyaan saya, bagaimana menjelaskan dan kapan waktu yang tepat untuk memberitahu kepada yang bersangkutan. Mohon pencerahannya.

Wassalamu’alaikum ww.

Jawab :

Wa'alaikumussalam ww 

Terkait dengan mengangkat anak, Allah berfirman dalam surah al-Ahzab ayat 4-5 yang berbunyi :

مَّا جَعَلَ ٱللَّهُ لِرَجُلٍ مِّن قَلۡبَيۡنِ فِى جَوۡفِهِۦ وَمَا جَعَلَ أَزۡوَٰجَكُمُ ٱلَّٰٓـِٔى تُظَٰهِرُونَ مِنۡهُنَّ أُمَّهَٰتِكُمۡ وَمَا جَعَلَ أَدۡعِيَآءَكُمۡ أَبۡنَآءَكُمۡ ذَٰلِكُمۡ قَوۡلُكُم بِأَفۡوَٰهِكُمۡ وَٱللَّهُ يَقُولُ ٱلۡحَقَّ وَهُوَ يَهۡدِى ٱلسَّبِيلَ

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Artinya : “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ayat diatas turun tekait dengan peristiwa ketika nabi Muhammad mengangkat anak bernama  Zaid, kemudian orang-orang memanggil zaid dengn sebutan Zaid bin Muhammad. Allah kemudian menegur Nabi Muhammad dengan menurunkan ayat ini. 

Ayat ini juga diperkuat oleh sabda Nabi Muhammad SAW ketika ayat tersebut turun, yang berbunyi :

أيما امرأة أدخلت على قوم من ليس منهم فليست من الله في شيئ و لن يدخلها الله الجنة و أيما رجل جحد ولده و هو ينظر اليه احتجب الله عنه يوم القيامة و فضحه على رؤوس الأولين و الأخرين

 

Artinya : “Perempuan mana saja yang menasabkan (anaknya) kepada orang (kaum) yang bukan nasabnya, maka Allah akan mengabaikannya dan sekali-kali tidak akan dimasukkan ke dalam surga, dan laki-laki mana pun yang mengingkari anaknya, sedang dia mengetahuinya, maka Allah menghalangi baginya (surga) dihari kiamat dan kejelekannya ditampakkan di atas kepala orang-orang yang pertama dan orang-orang yang terakhir.” (HR. Abu Daud, an-Nasa’i, al-Hakim, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).

Dengan demikian, praktek mengangkat anak pada dasarnya diperbolehkan bahkan pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad, namun dilarang menghilangkan nasab dari ayah (ibu) yang asli. Memberi nasab anak bukan dari bapak kandungnya, apapun alasannya hukumnya haram. Nasab adalah jalur darah yang tetap dan tidak dapat berubah. Memberi nasab bukan kepada ayah kandung, berdosa. Hal ini karena banyak berpengaruh pada hukum lain dan hak harta seperti perwalian, waris, hubungan darah (Muharramat) dan lainnya.

Untuk itu, sebetulnya dari aspek administrasi kependudukan permasalahan pengangkatan anak sudah diatur dan tidak bertentangan dengan ketentuan agama. Prosedurnya adalah :

1.       Jika diketahu ayah dan ibu kandungnya, terlebih dahulu Anak dinasabkan kepada kedua orang tua kandungnya dengan  dibuatkan akta kelahiran atas nama anak dari kedua ayah dan ibu kandungnya.

2.       Setelah itu proses pengangkatan anak ditempuh melalui proses siding di pengadilan, melalui permohonan penetapan pengangkatan anak. Hal itu jika ayah dan ibu kandungnya diketahui dan jelas status perkawinannya. Namun jika anak tersebut tidak mempunyai ayah yang resmi, bisa dibuatkan akta kelahiran dengan frase “anak dari seorang ibu. Bahkan jika tidak diketahui ayah dan ibunya sekalipun, anak tetap mendapatkan hak identitas berupa akta kelahiran, tanpa menyebutkan ayah dan ibu.

Apabia pengadilan telah memberi penetapan, maka Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil akan membuat ‘catatan pinggir’ pada akta kelahiran anak tersebut.

Apabila anda dan khususnya suami sudah mengetahui dan memahami kesalahan prosedur pengangkatan anak sebagaimana yang andan sampaikan, maka secara administrative perlu dilakukan perbaikan administrasi, yaitu perubahan akta kelahiran. Caranya melalui pembatalan melalui pengadilan negeri. Kembalikan nasab kepada yang sebenarnya. Dalam kasus ini, karena anak lahir diluar perkawinan yang sah maka hanya dinasabkan kepada ibu. Jadi nanti dalam akta kelahiran akan dicantumkan frasa “anak dari seorang perempuan bernama…….”.

Adapun  terkait kapan waktu yang tepat memberitahu, anda dapat memilih waktu yang tepat. Pada dasarnya lebih cepat lebih baik karena hal itu ada kaitannya dengan persoalan mahromat, masalah aurat juga masalah waris dikemudian hari.

Bila diniatkan dengan baik untuk melaksanakan perintah agama, dan disampaikan dengan cara yang baik dan bijak, insyaallah anak tersebut dapat menerima dan memahami. Yang penting tetap perlakukan dia dengan baik, karena anak tersebut tentu sangat membutuhkan kasih sayang.

Semoga Allah memberikan kekuatan dan kemudahan kepada anda dan suami didalam menyampaikan kebenaran. Aamiin 

Monday, August 3, 2020

Kisah Abu Bakar Ash-Shidiq (1) : Arab sebelum Islam (1)


Makkah, sebuah wilayah yang gersang namun telah menjadi magnet peradaban dari sejak ribuan tahun silam. Para penulis zaman dahulu menggambarkan kota ini sebagai gadis cantik yang berjilbabkan bukit-bukit gersang yang hanya bisa dibayangkan jika melihatnya langsung.


Tidak ada sebatang pohon tanaman pun di sana dan penduduknya seakan-akan hanya hidup dari air zamzam. Makanan berupa gandum dan kurma harus dibeli dan diangkut dari wilayah luar, paling dekat dari Thaif yang berjarak 64 km dari sebelah tenggara, atau dari Madinah yang berjarak 497 km dari sebelah utara.


Sementara itu rempah-rempah didatangkan dari Asia Selatan dan Asia Tenggara, didatangkan terlebih dahulu ke Yaman yang jaraknya ratusan kilometer dari sebelah selatan, baru kemudian dibawa ke Makkah. Bila tidak ada sumur zamzam, maka orang-orang harus mengangkat air sejauh ratusan kilometer.


Pada abad ke-7 M, penduduk Makkah hanya berjumlah sekitar 5.000 orang, dan itu sudah termasuk para pendatang dari berbagai ras dan suku. Secara ekonomi, Makkah adalah kota perdagangan yang kecil. Di sana orang-orang berdagang di pasar, ada juga yang menjadi buruh angkut, penggembala, dan serta para budak belian.[1]


Adapun mengenai gersangnya wilayah ini, itu sudah berlangsung sedemikian lama dari sejak dua milenium sebelumnya, yaitu ketika Ibrahim AS membawa istri dan anaknya, Ismail, ke tempat ini, dia berkata, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS Ibrahim [14]: 37)


Penduduk Makkah mengaku bahwa mereka adalah keturunan dari Ibrahim. Demikian pula orang-orang Yahudi dan Nasrani di Syam, mereka mengaku sebagai keturunan Ibrahim dan juga ahli waris agama yang diajarkan olehnya.[2]


Pada awalnya, mayoritas Bangsa Arab di sana mengikuti dakwah yang diajarkan oleh Ismail AS yang menyeru untuk mengikuti agama yang diajarkan oleh ayahnya, yaitu menyembah Allah, meng-Esakan-Nya, dan memeluk agama-Nya.


Kemudian waktu bergulir sekian lama, sehingga banyak di antara mereka yang melalaikan apa yang pernah diajarkan kepada mereka. Hingga tibalah masanya Amr bin Luhay, pemimpin Bani Khuzaah. Dia dikenal sebagai orang bajik yang suka bersedekah dan meninggikan urusan keagamaan. Semua orang begitu mencintainya, dan mereka menganggapnya sebagai ulama besar dan wali yang disegani.


Suatu waktu Amr bin Luhay mengadakan perjalanan ke Syam, di sana dia melihat penduduknya menyembah berhala dan dia berpikiran bahwa hal itu merupakan sesuatu yang baik dan benar, sebab menurutnya, Syam adalah tempatnya para rasul dan ahli kitab.


Akhirnya dia pulang ke Makkah sambil membawa patung Hubal dan meletakannya di dalam Kabah. Setelah itu dia mengajak penduduk Makkah untuk menyembahnya. Penduduk lain di Hijaz pun kemudian banyak yang mengikuti penduduk Makkah, karena mereka dianggap sebagai penjaga Kabah dan penduduk tanah suci.[3]


Demikianlah, berawal dari kemusyrikkan, orang-orang Makkah kemudian terjerumus lebih jauh lagi ke dalam perbuatan-perbuatan buruk seperti takhayul, berjudi, percaya dukun, mempersembahkan korban untuk berhala, dan berbagai macam hal lainnya yang di dalam term Islam disebut dengan Jahiliyah.


Keadaan ini bukan hanya terjadi kepada orang-orang Arab saja, orang-orang Yahudi dan Nasrani pun mengalami hal yang serupa, meski dalam bentuk lain. Orang Yahudi berubah menjadi orang-orang yang angkuh dan sombong. Pemimpin-pemimpin mereka menjadi sesembahan selain Allah.


Sementara itu ajaran agama Nasrani menjadi tercampur dengan paganisme, sehingga membuat agama ini menjadi sulit dipahami. Kalaupun ada orang Arab yang memeluk Nasrani, mereka memeluknya hanya sebatas formalitas saja, selebihnya mereka masih melaksanakan tradisi-tradisi jahiliyah.[4]


Di tengah-tengah lingkungan seperti ini, pada tahun 632 M, lahirlah seorang anak yang diberi nama Abdullah bin Abu Quhafah. Dalam kesehariannya dia biasa dipanggil dengan sebutan Atiq. Pada waktunya nanti, dia akan menjadi tokoh besar pembantu Nabi Muhammad SAW. Dan sepeninggal Nabi, dia akan menjadi khalifah pertama umat Islam. Dia lah yang di kemudian hari lebih dikenal dengan sebutan Abu Bakar Ash-Shiddiq. (PH)


Bersambung


Catatan Kaki:


[1] O. Hashem, Muhammad Sang Nabi: Penelusuran Sejarah Nabi Muhammad Secara Detail (Ufuk Press: Jakarta, 2007), hlm 29-30.


[2] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984), hlm 31.


[3] Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Mukhtassar Siratir-Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam, hlm 12, dikutip kembali oleh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 49.


[4] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Ibid., hlm 57-58.



Catatan :

Tulisan ini didapat dari WAG APRI. Semoga menjadi amal jariyah penulisnya. 

Saturday, August 1, 2020

Mutiara Qur'an QS. Ali Imron 180: Bakhil di dunia rugi di akhirat


Allah SWT, berfirman:

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ بِمَاۤ اٰتٰٮهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ هُوَ خَيْـرًا لَّهُمْ ۗ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ ۗ سَيُطَوَّقُوْنَ مَا بَخِلُوْا بِهٖ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ وَ لِلّٰهِ مِيْرَا ثُ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضِ ۗ وَا للّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

Artinya : 
Dan jangan sekali-kali orang-orang yang kikir dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya, mengira bahwa (kikir) itu baik bagi mereka, padahal (kikir) itu buruk bagi mereka. Apa (harta) yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan (di lehernya) pada hari Kiamat. Milik Allah-lah warisan (apa yang ada) di langit dan di bumi. Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan."

QS. Ali 'Imran: 180

Hikmah :
Terkadang kita merasa bahwa apa yang kita miliki dan kita peroleh adalah karena murni usaha kita dan menjadi milik kita sepenuhnya. Kemudian kita enggan berinfaq/shodaqah atau mengeluarkan sebagiannya untuk kepentingan keagamaan dan berbagi kepada sesama. Sifat demikian disebut Bakhil.

Ayat ini mengingatkan kita bahwa sikap bakhil tersebut akan merugikan kelak di hari kiamat.

Cukup simpan uang di dompet agar mudah dikeluarkan, jangan simpan di hati. Mari kita jadikan harta yang diamanahkan kepada kita sebagai sarana mendapatkan ridha-Nya.