![]() |
Keranda jenazah |
Pengertian Niyahah
Kata اَلنِّيَاحَةُ dan اَلنَّوْحُ adalah isim mashdar dari fi’il نَاحَ - يَنُوْحُ - نَوْحًا.
نَاحَتِ اْلمَرْاَةُ عَلَی الْمَيِتِ : بَكَت الْمَرْاَةُ عَلَی الْمَيِّتِ بِصِيَاحٍ وَ عَوِيْلٍ وَ جَزَعٍ
Maknanya : seorang wanita menangisi mayat dengan teriakan, ratapan dan keluh kesah.
Ahmad Warson Munawwir menerangkan bahwa kata اَلنِّيَاحَةُ menurut bahasa adalah : perkabungan meratapi mayat.
As-Sayyid Sabiq menerangkan bahwa
اَلنِّيَاحَةُ مَاءْخُوْذَةٌ مِنَ النَّوْحِ وَهُوَ رَفْعُ الصَّوْتِ بِالْبُكَاءِ
اَلنِّيَاحَةُ diambil dari kata نَوْحُ yang berarti : mengeraskan suara tangis.
Larangan Niyahah
Niyahah adalah meratapi mayit, menangis dengan suara keras dan atau menampar pipi/menyakiti diri sendiri dalam rangka meratapi kepergian mayit atau meratap karena di antara kemewahan dunia yang ia miliki lenyap.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Ada empat perkara jahiliyah yang masih melekat pada umatku dan mereka belum meninggalkannya: Membanggakan kedudukan, mencela nasab (garis keturunan), meminta hujan dengan bintang-bintang, dan niyahah (meratapi mayit)." Dan beliau bersabda: "Orang yang meratapi mayit, jika ia belum bertaubat sebelum ajalnya tiba maka pada hari kiamat ia akan dibangkitkan dengan memakai baju panjang yang berwarna hitam dan memakai tameng dari pedang yang sudah karatan." (HR. Muslim: 1550)
Berkaitan dengan hadis ini, an-Nawawi menjelaskan tentang hukum niyahah sebagai berikut :
قَوْلُهُ صَلَّی اللّٰهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ (اَلنَاءِحَةُ اِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْنِهَا ...) فِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَی تَحْرِيْمِ النِّيَاحَةِ وَ هُوَ مَجْمُوعٌ عَلَيْهِ َ فِيْهِ صِحَّةُ التَّوْبَةِ مَا لَمْ يَمُتِ الْمُكَلَّفُ وَ لَمْ يَصِلْ اِلَی الْغَرْغَرَةِ
Dalam sabda nabi “wanita yang meratapi mayat apabila dia tidakbertaubat sebelum matinya…” terdapat dalil pengharaman niyahah, dan hal tersebut menjadi ijma’ (ulama), serta didalamnya terdapat petunjuk sahnya taubat (dari niyahah) selala orang yang dibebani hukum tersebut belum mati dan belum sakaratul maut.
Abu Malik al-Asy’ari berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda :
اَلنِّيَاحَةُ مِنْ اَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ وَ اَنَّ النَّاءِحَةَ اِذَا مَاتَتْ وَلَمْ تَتُبْ قَطَعَ اللُّٰهُ لَهَا ثِيَابًا مِنْ قَطِرَانٍ وَ دِرْعًا مِنْ لَهَبِ النَّارِ
Niyahah adalah termasul hal perbuatan) jahiliyah. Dan sesungguhnya wanita yang meratapi mayat, pabila ia mati dan belum bertaubat, Allah akan memakaikannya pakaian dari pelangkin (tir) dan jubah dan kobaran api.
Hariz, budak Mu’awiyah yang telah dimerdekakan berkata :
خَطَبَ مُعَاوِيَةُ بِحِمْصَ فَذَكَرَ فِيْ خُطْبَتِهِ اَنَّ رَسُوْلَ اللًٰهِ صَلَّی اللٌٰهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَی عَنِ النَّوْحِ
Mu’awiyah telah berkhutbah di Himsh, dia menyebutkan bahwa Rasulullah melarang (orang) melakukan ratapan terhadap mayat.
Ummu ‘Athiyah berkata :
اَنَّ رَسُوْلَ اللًٰهِ صَلَّی اللٌٰهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَانَا عَنِ النِّيَاحَةِ
Sesungguhnya Rasulullah saw melarang kami melakukan niyahah.
Wujud perbuatan meratapi yang dilarang adalah menampar-nampar pipi sendiri, merobek-robek pakaian, dan berteriak-teriak cara jahiliyah. Diriwayatkan dari Abdullah ra. Bahwa nabi saw bersabda :
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَ شَقَّ الْجُيُوْبَ وَ دَعاَ بِدَعْوَی الْجَاهِلِيًَةِ
Tidak termasuk golongan kami orang yang menampar-nampar pipi, merobek-robek pakaian, dan berteriak-teriak cara jahiliyah.
Dalam shahih al bukhari diketemukan syarah (penjelasan) bahwa yang dimaksud dengan ‘berteriak-teriak cara jahiliyah” adalah : dalam tangis dan rapatannya mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang jahiliyah seperti, “oh, sandaran dan penolong hidup kami/!”. dan ungkapan lain yang senada.
Abu Burdah bin Abu Musa menceritakan bahwa Abu Musa berkata :
اَنَا بَرِيْء مَمَّا بَرِیءَ مِنْهُ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّی اللّٰهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَاِنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّی اللٌّهُ عَلَيْهِوَ سَلَّمَ بَرِیْءَ مَنَ الصَّالِقَةِ وَالْحَالِقَةِ وَالشَّاقَةِ
Aku berlepas tangan dari hal yang Rasulullah saw berlepas tangan darinya. Sesungguhnya Rasulullah saw berlepas tangan dari perempuan yang berteriak-teriak, perempuan yang mencukur rambutnya, dan perempuan yang merobek-robek pakaiannya pada saat menerima mushibah.
Sebagian ulama mempersamakan kegiatan 3, 7, 40, 100, setahun hingga 1.000 hari masuk dalam katagori niyahah.
Pendapat tersebut diantaranya didasarkan pada riwayat dari Jarir bin ‘Abdillah Al Bajaliy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كُنَّا نَعُدُّ الاِجْتِمَاعَ إِلَى أهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ
"Kami menganggap berkumpul di kediaman si mayit dan makanan yang dibuat (oleh keluarga mayit) setelah penguburannya merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).”
Kewajiban atas mayit atau perintah terkait kematian
Berkenaan kematian, ada beberapa kewajiban yang harus dilakukan atas mayit; yaitu :
1.Memandikan dan mengkafani jenazah
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
بَيْنَا رَجُلٌ وَاقِفٌ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَةَ إِذْ وَقَعَ عَنْ رَاحِلَتِهِ فَوَقَصَتْهُ أَوْ قَالَ فَأَقْعَصَتْهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْنِ أَوْ قَالَ ثَوْبَيْهِ وَلَا تُحَنِّطُوهُ وَلَا تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ فَإِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُلَبِّي
Dari Ibnu ‘Abbas ra., iba berkata : “ada seorang laki-laki ketika sedang wukuf bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di 'Arafah terjatuh dari hewan tunggangannya sehingga ia terinjak" atau dia Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata: "Hingga orang itu mati seketika". Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Mandikanlah dia dengan air dan (air) yang dicampur daun bidara dan kafanilah dengan dua helai kain, Atau kata Beliau: dengan dua helai pakaian (ihram) nya dan janganlah diberi wewangian dan jangan pula diberi tutup kepala (serban) karena dia nanti Allah akan membangkitkannya pada hari qiyamat dalam keadaan bertalbiyyah". (HR. Bukhari: 1717)
2.Mensholatkan dan menguburkan
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّيَ فَلَهُ قِيرَاطٌ وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ
Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Telah bersabda Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam: "Barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga ikut menyolatkannya maka baginya pahala satu qirath, dan barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga ikut menguburkannya maka baginya pahala dua qirath". Ditanyakan kepada Beliau; "Apa yang dimaksud dengan dua qirath?" Beliau menjawab: "Seperti dua gunung yang besar". (HR. Bukhari: 1240)
3.Membuatkan makanan untuk keluarga mayit/yang sedang berduka
Bagi tetangga orang yang meninggal dunia disunnahkan untuk memberikan makanan kepada keluarga mayit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan untuk berbuat baik pada keluarga Ja’far,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ
Dari Abdullah bin Ja'far, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Buatkan makanan untuk keluarga Ja'far, sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka." (HR. Abu Daud: 2.725)
Amaliyah yang diperbolehkan terkait kematian
1.Sedih sekedarnya
Rasulullah berlinang air mata pada saat menyaksikan pemakanan puteri beliau, sebagaimana diriwayatkan oleh al Bukhari sebagai berikut :
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ شَهِدْنَا بِنْتًا لِرَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيّهِ وَ سَلَّمَ وَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ جَالِسٌ عَلَى الْقَبْرِ فَرَاَيْتُ عَيْنَيْهِ تَدْمَعَانِ فَقَالَ هَل مِنْكُمْ رَجُلٌ لَمْ يُقَارِفُ اللَّيْلَةِ فَقَالَ اَبُوْ طَلّحَةَ اَنَا. فَاَنّزِلْ فَنَزَلَ فىْ قَبْرِهَا
Ibnu Hajar al ‘Asqalani menerangkan bahwa puteri Rasulullah yang dimakamkan ini adalah Ummu kultsum.
Rasulullah saw tdiak melarang seorang sahabat yang menangis karena keluarganya meninggal dunia. Asalkan menangisnya hanya teisak-isak saja atau tidak dengan suara keras, sebagaimana diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim dari Jabir bahwa dia berkata :
اُصِيْبَ اَبِيْ يَوْمَ اُحُدٍ فَجَعَلْتُ اَبْكِيْ وَجَعَلُوْا يَنْهَوْنَنِيْ وَرَسُوْلُ اللٌّهِ صَلَّی اللّٰهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لَا يَنْهَانِيْ فَجَعَلَتْ عَمَّتِيْ تَبْكِيْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّی اللّٰهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ تَبْكِيْنَ اَوْ لَا تَبْكِيْنَ مَا زَالَتِ الْمَلَاءِكَةُ تُظِلُّهُ بِاَجْنِحَتِهَا حَتَّی رَفَعْتُمُوْهُ
Ayahku gugur pada hari perang uhud, maka aku menangis. Lalu mereka melarangku, sedang Rasulullah saw tidak melarangku. Dan bibiku juga menangis, maka nabi bersabda : “kamu tangisi atau tidak kamu tangisi, malaikat selalu menaunginya sengan sayapnya, hingga kami mengangkatnya”.
2.Ta’ziyah dibatasi tiga hari
Disunnahkan bagi seorang muslim berta’ziyah kepada saudara muslim lain yang sedang terkena musibah. Ta’ziyah yang dianjurkan ialah memberi semangat kepada keluarga yang sedang berkabung karena ditinggal oleh anggota keluarga untuk bersabar menerima taqdir Allah, dan mendo’akan agar dengan kesabarannya tersebut keluarga mendapatkan rahmat dan pahala Allah.
Secara umum, masa berkabung cukup tiga hari kecuali berkabungnya istri ketika ditinggal mati suami. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491).
Dalam kitabnya Al Umm, Imam Syafi’i rahimahullah berkata,
وَأُكْرِهّ النِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ وَأَنّ تَنْدَبَهُ النَّائِحَةُ عَلَى الاِْنْفِرَادِ لَكِنْ يُعْزَى بِمَا أَمَرَ اللّٰهُ عَزَّوَجَلَّ مِنَ الصَّبْرِ وَالْاِسْتِرجَاعِ وَأُكْرِهَ الْمَأْتَمِ وَهِىَ الْجَمَاعَةُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ فَإِنَّ ذٰلِكَ يُجَدِّدُ الْحَزْنِ
“Aku tidak suka niyahah (peratapan) pada mayit setelah kematiannya, begitu juga aku tidak suka jika bersedih tersebut dilakukan seorang diri. Seharusnya yang dilakukan adalah seperti yang Allah Ta’ala perintahkan yaitu dengan bersabar dan mengucapkan istirja’ (innalillahi wa inna ilaihi rooji’un). Aku pun tidak suka dengan acara ma’tam yaitu berkumpul di kediaman si mayit walau di sana tidak ada tangisan. Karena berkumpul seperti ini pun hanya membuat keluarga mayit mengungkit kesedihan yang menimpa mereka. ” (Al Umm, 1: 318).Kegiatan yang diselenggarakan setelah hari kematian
Dalam masyarakat, khususnya di jawa, ada beberapa kegiatan yang diselenggarakan dikaitkan dengan kematian, antara lain kegiatan tahlilan, dimana keluarga mayit mengundang tetangga/masyarakat untuk membaca surat atau ayat tertentu (biasanya surat yasin) dirangkai dengan bacaan kalimat tahlil. Kemudian keluarga memberikan makanan sebagai bentuk sedekah. Kegiatan ini biasa dilaksanakan pada hari ketiga, ketujuh hingga seribu hari dari kematian si mayit,
Hal ini telah banyak dibahas dan termasuk diantara masalah khilafiyah. Bagaimana pembahasan terkait hal tersebut secara singkat sebagai berikut :
Dalam kitab I’anatuth-thalibin, sebagai berikut :
وَيُكْرَهُ لَاَهْلِ الْمَيِّتِ الْجُلُوْسُ لِتَعْزِيَةِ وَ صَنْعُ طَعَامٍ يَجْمَعُوْنَ النَّاسَ عَلَيْهِ لمَاَ رَوَی اَحْمَدْ عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللًٰهِ الْبَجَلِيًِ قَالَ كُنَّا نَعُدُّ الْاِجْتِعَاعَ اِلَی اَهْلِ الْمَيِّتِ وَ صَنْعَهُمْ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ
‘dan dimakruhkan bagi keluarga mayit duduk untuk ta’ziyah (mengumpulkan orang-orang setelah pemakaman) dan membuat makanan dan mengumpulkan orang untuk menyantapnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Jarir bin ‘Abdillah al Bajali tersebut.
Didalam kitab al Fatawa al-Fiqhiyah al Kubra, khusus terkait dengan masalah ini, adalah sebagai berikut :
وَ سُیءِلَ ... عَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ الثَّالِثِ مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِءَةِ اَكْلٍ وَ اِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَ غَيْرِهِمْ وَ عَمَّا يَعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَالِكَ ... مَاذَا يَكُوْنُ الْحُكْمُ جَوَازٌ وَ غَيْرُهُ ؟ ... فَاَجَابَ بِقَوْلِهِ جَمِيْعُ مَا يُفْعَلُ مَمَّا ذُكِرَ فِی السُّؤَالِ مَنَ الْبِدَعِ الْمَذْمُوْمَةِ لٰكِنْ لَا حُرْمَةَ فِيْهِ...
Dan dia ditanya .. tentang apa yang dilakukan pada hari ketiga dari kematian berupa menyiapkan makanan dan memberikannya kepada orang-orang fakir dan selain mereka, dan tentang apa yang dilakukan pada hari ketujuh juga …. hukumnya boleh atau tidak?… Maka dia menjawab dengan pendapatnya : semua yang dilakukan berupa apa yang disebutkan dalam pertanyaan termasuk bid’ah yang tercela, tetapi tidak ada keharaman didalamnya.
Dalam keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-1 di Surabaya, Tanggal 21 Oktober 1926 mengenai Masail Diniyah Nomor 18 - sebagaimana dimuat dalam buku “masalah keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama, dikemukanan soal jawab sebagai berikut :
Soal : Bagaimana Hukumnya keluarga mayit menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziyah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud shadaqah untuk mayat tersebut? Apakah ia (keluarga) memperoleh pahala shadaqah tersebut?
Jabwab : Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga, atau hari ketujuh itu hukumnya makruh, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukumnya makhruh tersebut tidak menghilangkan pahala shadaqah itu.
Dalam buku fatwa tarjih, tanya jawab Agama Jilid 1, dikemukakan jawaban terkait :
Makan makanan halal ditempat/rumah orang yang kena mushibah kematian tidak dilarang. Yang tidak dibenarkan ialah kalau keluarga uang meninggal itu dan rangkaian upacara kematian tersebut. Kalau sanak keluarga yang meninggal itu memasak atau tetangga memasakkan makanan untuk keluarga itu, karena keluarga itu tidak sempat untuk memasak kemudian memakan masakan itu tidak ada salahnya.
Anda yang termasuk keluarga dekat sedang rumah anda jauh, yang waktu datang ketempat saudara anda yang kena mushibah kematian tidak halangan makan dirumah keluarga tersebut.
Kesimpulan
1.Niyahah adalah perkabungan meratapi mayat, atau menangisi mayat dengan suara keras, disertai ratapan dan keluh kesah, atau bahkan sampai menyakiti diri sendiri. Yang dimaksuk dengan meratapi kematian ialah anggapan/keyakinan bahwa dengan matinya salah satu anggota keluarga akan berakibat terhadap kehidupan/masa depan orang yang ditinggal mati.
2.Larangan berkumpul di rumah duka dimaksudkan agar tidak semakin menjadikan ahli waris terus merasa kehilangan anggota keluarganya.
3.Larangan makan/menghidangkan makanan itu berlaku agar tidak membebani keluarga yang ditinggal mati. Dalam hal tetangga/saudara memberikan bahan makan kemudian sebagian tetangga memasakkan ahli waris dan atau keluarga jauh yang datang, maka hal itu diperbolehkan.
4.Amaliyah shodaqah memang sangat dianjurkan. Dalil yang paling kuat terkait perintah shodaqah ialah 1) bershodaqah dalam keadaan lapang ataupun sempit, 2) shodaqah diwaktu pagi. Demikian juga doa/dzikir, kita dituntunkan untuk 1) memperbanyak berdoa/berdzikir kepada Allah, terlebih diwaktu pagi dan petang. Kita juga diperintahkan membaca Al qur’an setiap hari. Penulis belum menemukan adanya dalil khusus yang memerintahkan shodaqah, doa/dzikir, baca al Qur’an pada waktu-waktu khusus tersebut
5.Tahlilan tidak boleh dihukumi sebagai kewajiban yang harus dilakukan atas kematian seseorang. Apalagi hingga meyakini bahwa meninggalkannya berdosa.
Allahu a’lam
0 comments: