Wednesday, September 4, 2019

Bagaimana hukum selamatan 3, 7, 40 hingga 1000 hari kematian



Tanya :
Ustadz, di keluarga suami saya masih berjalan kegiatan 3 hari, 7 hari, 40 hari, satu tahun sampai 1.000 hari. Bagaimana seharusnya sikap saya dan sikap suami saya? Serta bagaimana hukumnya?

Jawab :
Ibu, dalam masyarakat umum, kegiatan 3 hari, 7 hari, 40 hari, satu tahun, dua tahun, hingga 1.000 hari adalah aktifitas yang dikaitkan dengan kematian seseorang. Sering disebut dengan istilah “selametan”. Biasanya, kegiatan tersebut berupa baca membaca surat yasin, doa/dzikir bersama, dan tentu saja disertai sedekah berupa hidangan makanan bagi yang datang. Bahkan terkadang ditambah dengan ‘berkat’ untuk dibawa pulang dan/atau amplop sebagai bentuk terimakasih karena sudah mendoakan si mayit.

Berkenaan dengan hal tersebut, berikut saya sampaikan bagaimana Islam memberikan bimbingan terkait kematian seseorang. Ada beberapa dalil, baik berupa perintah ataupun larangan terkait kematian.

1. Memandikan dan mengkafani jenazah

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
بَيْنَا رَجُلٌ وَاقِفٌ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَةَ إِذْ وَقَعَ عَنْ رَاحِلَتِهِ فَوَقَصَتْهُ أَوْ قَالَ فَأَقْعَصَتْهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْنِ أَوْ قَالَ ثَوْبَيْهِ وَلَا تُحَنِّطُوهُ وَلَا تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ فَإِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُلَبِّي

Dari Ibnu ‘Abbas ra., iba berkata : “ada seorang laki-laki ketika sedang wukuf bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di 'Arafah terjatuh dari hewan tunggangannya sehingga ia terinjak" atau dia Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata: "Hingga orang itu mati seketika". Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Mandikanlah dia dengan air dan (air) yang dicampur daun bidara dan kafanilah dengan dua helai kain, Atau kata Beliau: dengan dua helai pakaian (ihram) nya dan janganlah diberi wewangian dan jangan pula diberi tutup kepala (serban) karena dia nanti Allah akan membangkitkannya pada hari qiyamat dalam keadaan bertalbiyyah". (HR. Bukhari: 1717)

2. Mensholatkan dan menguburkan

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّيَ فَلَهُ قِيرَاطٌ وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ


Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Telah bersabda Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam: "Barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga ikut menyolatkannya maka baginya pahala satu qirath, dan barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga ikut menguburkannya maka baginya pahala dua qirath". Ditanyakan kepada Beliau; "Apa yang dimaksud dengan dua qirath?" Beliau menjawab: "Seperti dua gunung yang besar". (HR. Bukhari: 1240)

3. Membuatkan makanan untuk keluarga mayit/yang sedang berduka.
Bagi tetangga orang yang meninggal dunia disunnahkan untuk memberikan makanan kepada keluarga mayit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan untuk berbuat baik pada keluarga Ja’far,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ

Dari Abdullah bin Ja'far, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Buatkan makanan untuk keluarga Ja'far, sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka." (HR. Abu Daud: 2.725)

4. Larangan Niyahah
Niyahah adalah meratapi mayit, menangis dengan suara keras dan atau menampar pipi/menyakiti diri sendiri dalam rangka meratapi kepergian mayit atau meratap karena di antara kemewahan dunia yang ia miliki lenyap. 

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: A"empat perkara jahiliyah yang masih melekat pada umatku dan mereka belum meninggalkannya: Membatidakan kedudukan, mencela nasab (garis keturunan), meminta hujan dengan bintang-bintang, dan niyahah (meratapi mayit)." Dan beliau bersabda: "Orang yang meratapi mayit, jika ia belum bertaubat sebelum ajalnya tiba maka pada hari kiamat ia akan dibangkitkan dengan memakai baju panjang yang berwarna hitam dan memakai tameng dari pedang yang sudah karatan." (HR. Muslim: 1550)

Sebagian ulama mempersamakan kegiatan 3, 7, 40, 100, setahun hingga 1.000 hari masuk dalam katagori niyahah. Pendapat tersebut diantaranya didasarkan pada riwayat dari Jarir bin ‘Abdillah Al Bajaliy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كُنَّا نَعُدُّ الاِجْتِمَاعَ إِلَى أهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ
“Kami menganggap berkumpul di kediaman si mayit dan makanan yang dibuat (oleh keluarga mayit) setelah penguburannya merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” 

5. Ta’ziyah dibatasi tiga hari
Disunnahkan bagi seorang muslim berta’ziyah kepada saudara muslim lain yang sedang terkena musibah. Ta’ziyah yang dianjurkan ialah memberi semangat kepada keluarga yang sedang berkabung karena ditinggal oleh anggota keluarga untuk bersabar menerima taqdir Allah, dan mendo’akan agar dengan kesabarannya tersebut keluarga mendapatkan rahmat dan pahala Allah. 
Secara umum, masa berkabung cukup tiga hari kecuali berkabungnya istri ketika ditinggal mati suami. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491). 

dalam kitabnya Al Umm, Imam Syafi’i rahimahullah berkata,
وَأَكْرَهُ النِّيَاحَةِ عَلَى الْمَيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ وَأَنْ تَنْدَبَهُ النَّائِحَةُ عَلَى الْاِنْفِرَادِ لَكِنْ يُعْزَى بِمَا أَمَرَ اللّٰهُ عَزَّوَجَلَّ مِنَ الصَّبْرِ وَالْاِسْتِرْجَاعِ وَأَكْرَهَ الْمَأْتَمِ وَهِىَ الْجَمَاعَةِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمّ بُكَاءٍ فَإِنَّ ذٰلِكَ يُجَدِّدُ الْحَزَنْ
“Aku tidak suka niyahah (peratapan) pada mayit setelah kematiannya, begitu juga aku tidak suka jika bersedih tersebut dilakukan seorang diri. Seharusnya yang dilakukan adalah seperti yang Allah Ta’ala perintahkan yaitu dengan bersabar dan mengucapkan istirja’ (innalillahi wa inna ilaihi rooji’un). Aku pun tidak suka dengan acara ma’tam yaitu berkumpul di kediaman si mayit walau di sana tidak ada tangisan. Karena berkumpul seperti ini pun hanya membuat keluarga mayit mengungkit kesedihan yang menimpa mereka. ” (Al Umm, 1: 318).

Kesimpulan
Tidak ada dalil khusus baik didalam Al-Qur’an maupun hadis yang dapat dijadikan hujjah atas kegiatan shodaqoh, dzikir/doa, bacaan suarat/ayat al Qur’an dikaitkan dengan 3, 7, 40, 100, hingga 1.000 hari kematian seseorang sebagaimana yang ibu tanyakan. 

Amaliyah shodaqah memang sangat dianjurkan. Dalil yang paling kuat terkait perintah shodaqah ialah 1) bershodaqah dalam keadaan lapang ataupun sempit, 2) shodaqah diwaktu pagi. Demikian juga doa/dzikir, kita dituntunkan untuk 1) memperbanyak berdoa/berdzikir kepada Allah, terlebih diwaktu pagi dan petang. Kita juga diperintahkan membaca Al qur’an setiap hari. Namun, tidak ada dalil khusus yang memerintahkan shodaqah, doa/dzikir, baca al Qur’an pada waktu-waktu tersebut.

Dengan demikian, kegiatan tersebut bukan merupakan syari’at, melainkan adat/budaya yang hidup di masyarakat dan tidak boleh dihukumi sebagai kewajiban yang harus dilakukan atas kematian seseorang. Apalagi hingga meyakini bahwa meninggalkannya berdosa (atau bahkan diyakini bisa kualat, misalnya). Terhadap hal demikian, sudah sepatutnya kita menjaga diri. 

Allahu a’lam
Sebelumnya
Berikutnya

0 comments: