Friday, February 15, 2019

Agung Nugraha : Panduan Memilih Pemimpin

Oleh : R. Agung Nugraha

"Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu?  sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah” (An-Nisa [4]: 138-139).

Saat ini, kita sedang melalui tahapan dari Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan DPD yang akan segera memasuki masa kampanye. Kampanye adalah aktifitas atau kegiatan baik perseorangan ataupun organisasi (partai) menawarkan diri dan atau program-programnya dengan suatu tujuan terakhir ialah untuk dipilih.
Dalam konteks ini, kita akan menentukan dan memilih mereka untuk memimpin dan atau mewakili kita lima tahun kedepan. Mereka-mereka itulah yang nantinya akan membawa kita dalam menentukan kemana arah pembangunan akan dibawa. Apabila pemimpin itu baik maka kita bisa berharap negeri ini semakin baik, namun apabila pemimpin kita itu bermental buruk, tidak jujur, culas, dan hanya mementingkan diri sendiri, maka jurang kehancuran telah menanti dihadapan kita.
Berikut beberapa hal yang perlu kita perhatikan, bagaimana islam memberikan rambu dalam menentukan pilihan terhadap pemimpin.

1. KEIMANAN
Bagi seorang muslim, keimanan seorang pemimpin merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar. hanya dengan keimanan yang kokoh, maka amanah kepemimpinan itu akan selamat dan ditunaikan secara benar sehingga negara ini akan selamat.
Allah berfirman dalam Surat Al Maidah : 57 :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu menjadi bahan ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman”.

Dalam ayat ini, Allah telah memberikan garis yang tegas kepada kita yang mengaku beriman, yaitu bahwa kita tidak dibenarkan memilih dan menyerahkan kepemimpinan kita kepada orang-orang kafir, orang-orang ahli kitab dan orang-orang yang menjadikan agama sebagai permainan dan bahkan bahan tertawaan belaka. Apabila kepemimpinan itu diserahkan kepada mereka, maka hendak kemanakah kita akan dibawa dan diarahkan?
Adalah benar bahwa sebagai seorang muslim, kita harus memilih wakil yang seiman dan seaqidah, yaitu Islam. Namun pengertian ini harus kita pertegas, bahwa tidak cukup kita mempercayakan amanah kepada seseorang hanya karena ia beragama Islam tetapi tidak tampak dalam diri pribadinya citra Islam.
Dengan demikian, kita mesti selektif. Diantara calon-calon wakil rakyat tersebut manakah yang paling mendekati kepada ciri-ciri seorang muslim sebagaimana yang dijelaskan oleh nabi ketika menjawab pertannyaan Malaikat Jibril tentang Islam :
"Islam ialah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan Selain Allah dan mengakui kerasulan Muhammad, menegakkan Shalat, menunaikan Zakat, puasa ramadhan dan menunaikan haji”.
Sekali lagi, pemimpin yang akan kita pilih tidak sekedar orang yang beragama Islam, tetapi seorang muslim yang syahadat, shalat, zakat, puasa dan hajinya tercermin dalam prilaku keseharian yang tidak mensekutukan Allah, selalu bertindak dan berucap dalam bingkai ridha dan jalan Allah.   

2. MENAWARKAN DIRI
Rasulullah bersabda : "janganlah kamu mempercayakan sebuah amanah kepada orang yang memintanya".
Apabila kita berpegang pada dhahir nash Hadits Rasulullah tersebut, maka tidak ada yang pantas dipilih dari semua calon pemimpin sekarang ini. mengapa? karena hampir bahkan semua calon tersebut datang kepada konstituen serta menawarkan diri untuk dipilih. Dengan demikian aktifitas seperti itu memang dapat dikategorikan sebagai meminta amanah.
Pertanyaannya kemudian adalah, kalau demikian apakah berarti hadits Nabi tersebut sudah tidak relevan dengan perkembangan Zaman? atau apakah dengan demikian Sistem Demokrasi ini secara nyata telah bertentangan dengan Islam?
Sebetulnya, kita tidak perlu memvonis ketidaksesuaian hadits dan tidak seluruhnya benar demokrasi ditolak hanya karena hal ini.
Hadits ini akan tetap relevan dan up to date apabila kita mau sedikit memperluas paradigma dan pemikiran kita. Betapa tidak?, untuk memberikan kepercayaan (amanat) kepada seseorang, bukankah kita harus mengetahui kapasitas, kapabilitas dan kepribadian orang tersebut, sehingga kita tidak akan salah memberikan mandat.
Dengan pemahaman demikian, maka memperkenalkan diri dan menawarkan program tidak dapat dianggap sebagai meminta amanat.
Namun, apabila kegiatan memperkenalkan diri dan program itu didasari dengan niat yang tidak tulus kemudian diikuti dengan menghalalkan segala cara, seperti mengumbar janji, atau bahkan menyuap (seberapapun nilainya), maka yang demikian itu dapat dikategorikan sebagai meminta amanah yang dilarang oleh Rasulullah.
Hadits itu akan tetap bermakna apabila kita terjemahkan bahwa kita tidak boleh memberikan kepercayaan (amanah) perwakilan dan kepemimpinan tersebut kepada orang-orang yang "rakus jabatan dan kekuasaan" sehingga untuk meraih dan mendapatkan jabatan tersebut kemudian menghalalkan segala macam cara, seperti mengumbar janji, membeli kepercayaan dengan uang, menjelekkan orang lain, dan lain sebagainya.
3. PROFESIONALISME
Profesional artinya mempunyai kemampuan dan kecakapan mengemban dan melaksanakan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Pemimpin (Presiden, Anggota DPR, DPRD, DPD) adalah sebuah profesi yang menuntut profesionalitas berupa kemampuan menyerap aspirasi warganya untuk kemudian diimplementasikan kedalam program-program yang berorientasi kepada kemaslahatan umat dan tidak bertentangan dengan ketentuan Agama.
Untuk mampu menyerap dan menyuarakan suara rakyat dan melaksanakan hal tersebut, maka pemimpin harus mempunyai sifat-sifat Shiddiq, Amanah, Tabligh dan Fathonah.

a. Shiddiq (jujur)
Pemimpin haruslah orang yang jujur. yaitu jujur menyuarakan kepentingan umat secara umum, bukan kepentingan sempit pribadi, kelompok ataupun golongan. Ia juga harus jujur kepada pemilih yang memilihnya. bahkan setelah terpilih, ia harus juga jujur bukan saja kepada pemilihnya, tetapi kepada semua warga yang ia pimpin, karena ia bukan pemimpin bagi sebagian warga tetapi seluruh penduduk diwilayah kepemimpinannya.  Kejujuran itu harus jelas tercermin dalam sikap dan perilaku hidup seorang pemimpin.

b. Amanah (memegang teguh janji)
Pemimpin haruslah mampu memegang teguh janji dan melaksanakan pengabdian kepada Allah dengan mencurahkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk kesejahteraan rakyat yang dipimpin. Ia harus mampu menunaikan kepercayaan yang begitu besar tersebut secara baik dan tidak menyia-nyiakan kepercayaan yang telah disampirkan dipundaknya.
Pemimpin yang sejati tidak akan meninggalkan sebuah amanah demi jabatan atau kedudukan lain sebelum amanah itu ia tunaikan dengan sempurna.

c. Fathonah (cerdas)
Seorang pemimpin haruslah cerdas; baik otak ataupun hatinya. Kecerdasan otak dapat diukur dengan kemampuan menangkap aspirasi yang berkembang didalam masyarakat, kemampuan menyuarakan aspirasi tersebut, melakukan analisa-analisa sampai pada kemampuan memberikan alternatif solusi dari permasalahan-permasalahan yang muncul.
Ia juga harus cerdas hatinya, sehingga seluruh kemampuan dan kecerdasan tersebut berkembang dan didasari oleh hati yang bersih dan suci. Semua kebijakan yang diambil dan dilakukan untuk mewujudkan kemaslahatan warganya tidak akan terlepas dari bimbingan Agama Allah dan hanya untuk mencapai ridla Allah.

d. Tabligh (menyuarakan aspirasi dan kebenaran);
Seorang pemimpin harus mau dan mampu menyampaikan aspirasi umat dengan baik. Kebenaran dan keadilan disuarakan secara transparan. Termasuk dalam hal ini ialah tidak mau kasak-kusuk dan kong-kalikong.

4. NEPOTISME
Nepotisme adalah paham yang hanya mementingkan pribadi, keluarga dan kelompoknya saja tanpa didasari dengan pertimbangan moralitas dan kemampuan (kapabilitas).
Allah berfirman dalam Qs. At-taubah : 23
“Wahai orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.
Allah dengan tegas melarang kita memilih dan mengangkat pemimpin hanya atas dasar hubungan keluarga dan atau kekerabatan.
Hal ini bukan berarti kita tidak boleh memperhatikan keluarga atau kerabat. Esensi dari pernyataan ayat tersebut sebetulnya adalah bagaimana sebuah amanah diberikan kepada yang mempunyai kemampuan dan dilandasi moralitas yang baik. apakah dia saudara, tetangga, kerabat atau orang lain yang tidak dikenal sekalipun.
Adalah sah dan baik kita memberikan kepercayaan kepada Saudara dan tetangga atau kerabat kita apabila mereka benar-benar bersih, jujur dan dapat dipercaya. karena merekalah yang lebih kita ketahui sifat dan karakter kepribadiannya. Juga akan lebih mudah menegur dan mengingatkan apabila ia berbuat khilaf.
Namun meski ia kerabat kita, saudara atau bahkan keluarga kita, tetapi jika jelas dikenal suka mempermainkan keimanan dengan kekufuran, menjadikan agama sebagai bahan tertawaan, maka  lebih baik dan lebih selamat kita tidak memilih dan mengangkatnya menjadi pemimpin kita. Betapa banyak sekarang ini orang yang mempermainkan etika, moralitas dan agama.
Akhirnya, marilah kita cermati, siapa calon-calon pemimpin rakyat yang dapat diyakini mampu baik secara kapasitas dan moralnya,  sebelum pada akhirnya kita  menentukan pilihan untuk mengangkat dan menjadikannya sebagai pemimpin kita.
Semoga Allah membimbing kita untuk memberikan amanah tersebut kepada orang yang tepat sehingga mampu membawa perubahan kearah yang lebih baik.
Sebelumnya
Berikutnya

0 comments: