Thursday, October 20, 2022

Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa

 

Sumber : internet

Dalam rentang waktu Mei 1953-September 1954, Clifford Geertz  melakukuan  studi penelitian di daerah Mojokuto, Jawa Timur. Hasil penelitian tersebut selanjutnya diterbitkan menjadi buku berjudul  Agama Jawa : Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa.

Meski penelitian tersebut hanya dilakukan di Mojokuto yang secara prosentase hanya 0,005 persen dari penduduk jawa, namun buku tersebut bisa dikatakan akhirnya menjadi rujukan dalam memotret masyarakat jawa, bahkan Indonesia pada umumnya.

Karya ini mencakup berbagai dimensi yaitu antropologi dan sosiologi, serta menggambarkan bagaimana hubungan antara agama dan perilaku politik di Jawa pada waktu itu.

Pada bagian pendahuluan buku ini, dijelaskan mengenai deskripsi geografis dan demografis daerah Mojokuto yang menjadi tempat dimana penelitian ini dilangsungkan. Wilayah ini merupakan wilayah yang kompleks, memiliki populasi penduduk sekitar 20.000 orang, terdiri dari 18.000 orang Jawa, 1.800 orang china dan selebihnya terdiri atas etnis Arab, India dan minoritas lainnya.

Kemudian Geertz mengemukakan urgensi dari tiga struktur sosial di Jawa yaitu desa, pasa dan birokrasi pemerintahan.

Studi ini sebenarnya tidak membahas agama di Jawa, akan tetapi mengenai agama di Mojokuto yang meliputi kurang lebih dari 0,05% dari seluruh penduduk Jawa. Meski sebetulnya tidak membahas mengenai definisi agama, namun karena judul yang diberikan oleh Geertz dalam bukunya sehingga dipahami dan dikaitkan dengan kehidupan dalam umat islam.

Varian Agama dalam Studi Clifford Geertz

Geertz membagi agama (orang) jawa kedalam tiga varian, yaitu 1) Varian abangan, yang menekankan aspek-aspek animisme sinkretisme Jawa secara keseluruhan dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur petani desa penduduk. 2) Varian santri, yang menekankan aspek-aspek islam sinkretisme itu dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur pedagang (dan juga unsur-unsur tertentu pada kaum tani). Dan 3) Varian priyayi, yang menekankan aspek-aspek Hindu dan diasosiasikan dengan unsur birokrasi. (Geertz 1960: 6)

Varian Agama Abangan

Tradisi agama abangan yang pada pokoknya terdiri dari pesta ritual yang dinamakan selamatan, satu kompleks kepercayaan yang luas dan rumit tentang roh-roh, dan seperangkat teori dan praktek penyembuhan, ilmu tenung, dan ilmu gaib diasosiasikan dengan cara yang luas dan umum dengan desa Jawa (Geertz 1960: 5)

Varian abangan menurut Geertz adalah masyarakat kaum tani di Jawa. Yang abangan itu adalah kaum tani Jawa. Agama abangan menggambarkan sintesa petani antara hal-hal yang berasal dari kota dan warisan kesukuan, satu sinkretisme sisa-sisa lama dari sejumlah sumber yang tersusun menjadi satu konglomerat untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang berjiwa sederhana. Yang menanam padi di teras-teras yang diairi (Geertz 1960: 229).

 

Varian Agama Santri

Deskripsi yang terperinci mengenai varian santri menurut Geertz adalah: Ia dimanifestasikan dalam pelaksanaan yang cermat dan teratur, ritual-ritual pokok agama Islam, seperti kewajiban shalat lima kali sehari, shalat Jumat di masjid, berpuasa selama bulan ramadhan, dan menunaikan haji ke Mekah. Ia dimanifestasikan dalam satu kompleks organisasi-organsisasi sosial, amal, dan politik seperti Muhammadiyah, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama. Nilai-nilainya bersifat antibirokratik, bebas dan egaliter. Orang-orang santri sendiri hidup berkelompok-kelompok, sekarang hal itu sudah berkurang dibandingkan dengan sebelum perang, namun masih tampak juga pengelompokan-pengelompokan mereka. Dan akhirnya ketaatan melakukan ibadah shalatlah yang pada tingkat tertentu merupakan ukuran santri. Priyayi dan abangan hampir tidak pernah melakukannya. (Geertz 1960: 215)

Varian santri ini dimanifestasikan sebagai pedagang. Di desa terdapat unsur santri yang kuat, yang seringkali dipimpin oleh petani-petani kaya yang telah naik haji ke Mekah dan setelah kembali mendirikan pesantren-pesantren (Geertz 1960: 5) Kemudian, menurut geertz untuk santri di kota diidentifikasikan sebagai pedagang atau tukang, terutama penjahit (Geertz 1960: 222)

Varian Agama Priyai

Geertz berasumsi bahwa kaum priyayi kaum elit yang sah memanifestasikan satu tradisi agama yang disebut sebagai varian agama priyai dari sistem keagamaan pada umumnya di Jawa. Geertz melukiskan mereka sebagai satu golongan pegawai birokrasi yang menurut tempat tinggal mereka, merupakan penduduk kota. Mereka memiliki gelar-gelar kehormatan yang merupakan bagian dari birokrasi aristokrasi kraton.

Kaitannya dengan “trikotomi” yang dibuat Geertz, tentunya bukan Geertz yang menemukan istilah santri, abangan, dan priyayi dalam The Religion of Java, karena istilah-istilah itu sendiri sudah dipakai di kalangan yang lebih terbatas. Namun, harus diakui Geertz-lah yang pertama kali mensistematisasi istilah-istilah itu sebagai perwakilan kelompok-kelompok kultural yang penting.

Sebagai sebuah konsepsi, harus diakui  bahwa trikotomi Geertz ini adalah sebuah sumbangan yang luar biasa bagi masyarakat Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya karena mampu memberikan semacam “peta budaya” yang selanjutnya dapat digunakan untuk menganalisa bagaimana pola hubungan antara agama dengan politik, relasi agama-sosial, serta agama-ekonomi. Namun demikian, tesis “trikotomisasi” Geertz tampak sekali membuka peluang untuk diperdebatkan. Hal ini terbukti dengan “keberhasilan” teori Geertz itu dalam memantik berbagai reaksi, baik yang pro maupun yang kontra. Di antara yang menolak konsepsi Geertz adalah Harsja W. Bachtiar, ahli sejarah sosial, yang mencoba mengkontraskan konsepsi Geertz dengan realitas sosial.

Di antara konsepsi yang ditolaknya adalah mengenai pencampuran istilah priyayi (yang merupakan kategori kelas) dengan istilah santri dan abangan (kategori keagamaan. Abangan adalah lawan dari mutihan, sebagai kategori ketaatan beragama dan bukan klasifikasi sosial. Demikian pula konsep priyayi juga berlawanan dengan wong cilik dalam penggolongan sosial. Jadi, terdapat kekacauan dalam penggolongan abangan, santri dan priyayi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa salah satu kelemahan tulisan Geertz ini adalah terdapatnya ketidakparalelan dalam susunan kategorisasi.

Di satu sisi terdapat strata “ekonomi” untuk menggambarkan priyayi, sementara di sisi lain terdapat kategori “religi” ketika dia menggambarkan santri dan abangan. Hal ini berarti Geertz telah mengacaukan dua pembagian yang termasuk susunan yang berlainan, serta mencampuradukkan pembagian horisontal dan vertikal dalam masyarakat Jawa karena pada kenyataannya terdapat priyayi yang abangan atau priyayi yang santri.

Terlepas dari berbagai kritik terhadap teori Geertz, tampaknya kita patut memberikan penghargaan kepadanya atas pandangannya mengenai tipologi masyarakat Indonesia (Jawa). Lewat buah pengamatan Geertz yang dituangkan dalam buku The Religion of Java ini keberadaan abangan, santri, dan priyayi di masyarakat Jawa dikenal luas. Dan dari laporan Geertz ini pula,  kita “dikejutkan” dengan sebuah kenyataan bahwa muslim “Mojokuto” (Indonesia?) walaupun mayoritas tetapi masih abangan, di mana hanya lapisan atasnya saja yang Islam, sementara di lapisan bawahnya kejawen.

Lebih dari itu semua, Geertz telah memberikan kontribusi pemikiran yang sangat besar terhadap ilmu-ilmu sosial di Indonesia dan dunia, khususnya antropologi dan sosiologi, karena keberaniannya melawan suatu tradisi besar di dalam ilmu sosial, yaitu tradisi positivisme yang sarat dengan pendekatan kuantitatif. Seandainya Geertz dan pendekatan Antropologi Interpretif tak ada, mungkin kita akan tetap membaca buku-buku teks antropologi dan sosiologi yang memperlakukan budaya sebagai suatu gejala universal dengan narasi besar tanpa melihat bagaimana secara kontekstual dan secara historis kultur-kultur lokal itu “dibangun.”

Disarikan dari tulisan Adi Cahyaning Kristiyanto. Semoga barokah dan bermanfaat


Sebelumnya
Berikutnya

0 comments: