Saturday, April 27, 2019

Hukum Perkawinan dalam Islam


Oleh : R Agung Nugraha
I. PENGERTIAN
Perkawinan dalam Islam disebut Pernikahan. Nikah menurut pengertian bahasa adalah hubungan suami istri. Selanjutnya, secara termonilogi, dari berbagai rumusan pengertian nikah, kemudian diakomodir dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu ; Perkawinan (-pernikahan-) adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri, untuk membentuk keluarga/rumahtangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

II. SYARIAT NIKAH
1. Manusia diciptakan untuk saling mengenal (Qs. Al Hujurat : 13)
2. Ada rasa cinta (Qs. Ali Imron : 14, Ar-rum : 21)
3. Perintah NIkah (An-Nur : 32)
4. Tujuan Nikah (Ar-rum : 21)
5. Halangan Nikah (An-Nisa : 23 dan An Nur : 3)
6. Umur Kehamilan (Al Ahqaf : 15)
7. Umur / batasan menyusui (Al Baqarah : 233, Luqman : 14)
8. Perceraian (Al baqoroh : 231-232, 236 dan At-Thalaq : 1)
9. Tuduhan Zina (An Nur : 4, 6, 24)
10. Masa Iddah (At Thalaq : 1, Al Ahzab : 49)
11. Rujuk (Al Baqoroh : 230)

III. SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Setiap orang yang akan menikah harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh syari’at Islam maupun syarat  administrative, yaitu :
1. Syarat dari sisi syariat :
1) Islam
Pernikahan hanya diperbolehkan bagi orang yang seagama. Tidak diperbolehkan pernikahan beda agama. Orang Islam hanya nikah dengan orang Islam.

2) Baligh (Dewasa)
a. Ukuran Kedewasaan tidak menggunakan batasan menstruasi bagi wanita dan mimpi basah bagi laki-laki; melainkan dengan batasan usia yaitu 21 tahun. Hal ini dipahami bahwa pada usia tersebut diharapkan calon pengantin telah siap dan matang baik dari sisi fisik maupun mental.
b. Apabila Calon pengantin belum mencapai umur 21 tahun tetapi diatas 19 tahun (bagi caten pria) dan diatas 16 tahun (bagi caten wanita) dapat melangsungkan pernikahan dengan tambahan ijin dari orang tua/wali. (Blangko Model N5).
c. Apabila Calon pengantin kurang dari 19 Tahun (caten Pria) atau 16 Tahun (caten Wanita); pernikahan dapat dilaksanakan setelah mendapatkan ijin / Dispensasi dari Pengadian Agama.
Pengaturan batasan umur ini dibuat dalam rangka mewujudkan tujuan syari’at nikah (maqasid at-tasyri’) yaitu terwujudkan keluarga yang bahagian dan kekal (sakinah, mawaddah dan rahmah).
3) Berakal dan Merdeka (sehat jasmani dan rohani dan tidak dalam keadaan terpaksa)
Pernikahan yang akan dilaksanakan oleh calon suami dan calon istri dalam keadaan sadar, tidak dalam keadaan terpaksa. Dibuktikan dengan adanya surat persetujuan Nikah (Model N3)
4) Tidak ada halangan untuk nikah
Antara Calon suami dan calon istri harus terbebas dari halangan/larangan nikah, baik yang bersifat tetap (muabbad) maupun sementara. Halangan-halangan nikah ini akan dijelaskan tersendiri.
2. Syarat administrative :
1) FC KTP & FC KK
2) FC Akta Kelahiran dan FC Ijazah terakhir.
3) Model N1-N2, N3, N4 dan N7 dari Pemerintah Desa/Kalurahan.
4) Model N5 apabila calon pengantin belum berusia 21 tahun.
5) Model N6 apabila calaon suami/calon istri duda/janda.
6) Akta Kematian atau Akta Cerai apabila calon pengantin berstatus Duda/Janda.
7) Dispensasi Pengadilan Agama; apabila usia Calon Pengantin pria kurang dari  19 tahun dan calon pengantin putrid kurang dari 16 Tahun..
8) Dispensasi Camat apabila waktu pelaksanaan akad nikah kurang dari 10 hari kerja dari tanggal pendaftaran.
9) Bukti Imunisasi (TT) dari puskesmas.
10) FC Surat nikah orang tua calon pengantin putri.
IV. HALANGAN NIKAH
Tidak setiap orang (pria ataupun wanita) dapat melangsungkan pernikahan. Meskipun sudah saling suka (cinta) namun keduanya harus dapat dipastikan terbebas dari larangan nikah yang bersifat tetap/permanen ataupun yang sifatnya sementara.

1. Halangan Tetap
Yang dimaksud dengan halangan tetap, ialah halangan yang berlaku selamanya; meliputi :
1) Halangan karena hubungan Nasab (hubungan darah), sebagaimana disebutkan dalam An Nisa (4) : 23; yaitu :
a. Ibu, ibunya ibu, ibunya ayah (dan seterusnya ke atas)
b. Anak, anaknya anak (dan seterusnya kebawah)
c. Saudara kandung, saudara seayah, saudara seibu.
d. Saudara ayah
e. Saudara ibu
f. Anak dari saudara.
2) Halangan karena hubungan Rodho’ah (hubungan persusuan)
a. Saudara sesusuan
b. Ibu Susu
3) Halangan karena hubungan Mushoharoh (hubungan perbesanan) sebagaimana disebutkan dalam An Nisa (4) : 22 dan 23;
a. Perempuan yang telah dinikahi ayahnya.
b. Perempuan yang telah dinikahi anaknya.
c. Ibu mertua, ibunya ibu mertua.
d. Anak perempuan istri (anak bawaan istri) è bila istrinya telah digauli.
2. Halangan Sementara
Yang dimaksud larangan/halangan nikah sementara, ialah halangan nikah yang berlaku untuk beberapa waktu tertentu, antara lain :
1) Wanita yang masih dalam masa Iddah (masa menunggu) è(An Nisa (4) : 23) dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Wanita yang cerai dari suaminya ; masa iddahnya 3 bulan (90 hari) sejak tanggal putusnya perkawinan yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap.
b. Wanita yang ditingal mati suaminya: masa iddahnya adalah empat bulan lebih sepuluh hari (130 hari) sejak kematian suaminya.
c. Wanita yang cerai atau ditinggal mati suaminya sedangkan ia dalam keadaan hamil; masa iddahnya sampai melahirkan bayi yang dikandung.
2) Mengumpulkan dua saudara (An Nisa (4) : 23); yaitu menikahi sekaligus dua orang wanita kakak beradik, atau wanita dengan bibinya (baik jalur ayah maupun jalur ibu)
3) Pernikahan yang kelima; karena maksimal menikahi 4 wanita.
4) Perempuan yang bersuami è An NIsa (4) : 24
5) Mantan istri yang sudah ditalak tiga (bain kubro)è Al Baqoroh (2) : 230.
6) Dalam keadaan ihrom (Haji)

V. RUKUN PERKAWINAN
Pernikahan baru dinyatakan sah apabila memenuhi rukun nikah, yaitu sebagai berikut :
1. Calon Suami & Istri
Baik calon suami maupun calon istri harus memenuhi syarat-syarat syar’I maupun syarat administrative dan terbebas dari halangan nikah sebagaimana telah disebutkan diatas.
2. Wali NIkah
Wali nikah adalah orang yang berhak menikahkan calon pengantin perempuan. Wali nikah terdiri dari dua macam sebagaimana diatur dalam PMA No. 30 Tahun 2005, yaitu :
1) Wali Nasab
Wali nasab adalah pria beragama Islam seorang pria yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah menurut hokum Islam. Wali nasab dapat dirinci sebagai berikut :
a. Ayah kandung, ayahnya ayah/kakek (dan terus ke atas)
b. Saudara kandung (seayah dan seibu) dan saudara seayah
c. Saudara laki-laki ayah (Paman) dan keturunannya yang laki-laki
2) Wali Hakim
Wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang ditunjuk oleh menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali atau walinya tidak memenuhi syarat, mafqud, adhal.
Keberadaan Wali hakim ini didasarkan pada Hadits Nabi : “…. Sultan (pemerintah) menjadi wali bagi mempelai wanita yang tidak mempunyai wali”.
3. Ijab & Qabul
Ijab ialah ikrar/pernyataan wali (atau wakilnya) menikahkan wanita yang ada didalam perwaliannya (saya nikahkan fulanah) ; sedangkan Qabul adalah ikrar/pernyataan calon suami (atau wakilnya) yang berisi kesangupan menerima pernikahan tersebut.(saya terima nikahnya fulanah)
4. Saksi dua orang
Setiap pernikahan harus disaksikan minimal oleh dua orang saksi dengan syarat-syarat :
1) Islam
2) Baligh
3) Berakal dan merdeka
4) Mendengar
5) Melihat
6) Adil

VI. PENCATATAN NIKAH
Apabila mengacu pada kitab-kitab fiqh yang ada, masalah pencatatan nikah memang tidak dibahas. Artinya persoalan pencatatan nikah merupakan sesuatu yang bisa dikatakan (relative) baru, meski demikian bukan berarti tidak ada dasarnya sama sekali.
Di Negara-negara maju, tidak terkecuali Negara Islam seperti Turki, Malaysia dan di arab (timur tengah), pencatatan pernikahan juga menjadi sesuatu yang niscaya. Sedangkan di Indonesia, pencatatan nikah,didasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Umumnya kewajiban pencatatan nikah dipahami berdasarkan pertimbangan bahwa pernikahan, meskipun merupakan peristiwa agama, ia juga mempunyai implikasi social maupun aspek lainya. DIantaranya persoalan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang menikah, juga anak yang lahir dari pernikahan tersebut, juga aspek administrasi kenegaraan.
Perintah mencatat nikah juga dinisbatkan pada ayat yang mengatur tentang perintah mencatatkan transaksi hutang-piutang sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Baqarah : 282 “Apabila kamu melakukan perjanjian hutang-piutang untuk jangka waktu tertentu, maka tulislah…” (idza tadayantum bidainin ila ajalin musamma…faktubuh..)

Dari ayat itu, urusan hutang piutang saja diperintahkan untuk dicatat apalagi terhadap pernikahan yang mempunyai implikasi yang sangat kompleks sebagaimana telah disebut di atas.

VII. PERCERAIAN
Dalam Islam, perceraian memang dibolehkan. Akan tetapi hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat dibenci oleh Allah. Ia hanyalah pintu darurat bagi keluarga (pasangan suami istri) yang sudah tidak mungkin lagi diselamatkan (dipertahankan).
Setiap pasangan suami istri tentu akan mengalami ‘konflik’; namun demikian tidak setiap perselisihan harus diakhiri dengan perceraian. Disinilah pentingnya fungsi mediasi sebagaimana diamanatkan QS. An NIsa : 35 (maka datangkanlah penengah dari pihak laki-laki dan penengah dari pihak perempuan);
Berdasarkan ayat diatas, maka putusnya perceraian hanya terjadi apabila dilakukan dihadapan hakim pengadilan agama setelah sebelumnya dilakukan upaya perdamaian di setiap sidang.

VIII. PENUTUP
Perkawinan atau pernikahan adalah ikatan suci lahir dan batin yang harus senantiasa diupayakan menjadi bahagia dan kekal (sakinah, mawaddah, wa rahmah).
Upaya ini harus diwujudkan sejak awal dengan mengetahui hakekat pernikahan beserta hukum-hukum yang terkait.

Sebelumnya
Berikutnya

0 comments: