Wednesday, November 5, 2008

Menggapai Haji Mabrur



Oleh : R.
 Agung Nugraha, MA.




Dan berserulah kepada manusia untuk menunaikan ibadah haji, niscaya mereka akan dating memenuhi seruanmu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang dating dari segenap penjuru yang jauh (Al Hajj (22) : 27)

Semua orang yang akan dan telah melaksanakan ibadah haji tentu sangat berharap agar memperoleh haji yang mabrur. Penyebutan Istilah haji mabrur ini sekaligus merupakan petunjuk bahwa tidak semua orang yang melaksanakan haji dapat mencapai haji mabrur. Oleh karena itu, Rasulullah SAW sebagai pembawa risalah Islamiah telah menjadi sumber rujukan utama dalam bagaimana melaksanakan ajaran Islam secara sempurna. Ibadah haji merupakan sesuatu yang principil dari ajaran Islam sehingga ia menjadi salah satu dari rukun Islam. Terhadap hal demikian tentu tentu Rasulullah SAW, telah memberikan petunjuk tentang bagaimana melaksanakan ibadah haji secara baik sehingga pada akhirnya haji tersebut sampai kepada derajat mabrur.
Bagaimana petunjuk Rasulullah SAW tersebut? Inilah yang akan menjadi titik sentral uraian pembahasan tulisan berikut dengan terlebih dahulu memberikan pengertian tentang definisi haji mabrur tersebut.

Pengertian Haji Mabrur
Salah seorang ulama hadits Al hafidz Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab fathul Bari, Syarah Bukhari Muslim, mendefinisikan bahwa “Haji mabrur adalah haji yang maqbul yakni haji yang diterima oleh Allah SWT. Pendapat lain yang saling menguatkan dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam syarah muslim, bahwa : “Haji mabrur itu adalah haji yang tidak dikotori oleh dosa, atau haji yang diterima Allah SWT, yang tidak ada riya’, tidak ada sum’ah, tidak rofats dan tidak fusuq”. Selanjutnya Abu Bakar Jabir al Jazari dalam kitab Minhajul Muslimin mengungkapkan bahwa : “Haji mabrur itu ialah haji yang bersih dari segala dosa, penuh dengan amal shaleh dan kebajikan-kebajikan”.
Berdasarkan rumusan-rumusan yang diberikan oleh para ulama tersebut, dapat kita simpulkan bahwa haji mabrur adalah haji yang dapat disempurnakan segala hukum-hukum berdasarkan perintah Allah dan Rasulullah SAW,  sebuah predikat haji yang tidak mendatangkan perasaan riya’, bersih dari dosa,  senantiasa dibarengi dengan peningkatan amal shaleh, tidak ingin disanjung dan tidak melakukan perbuatan keji dan merusak.

Petunjuk Rasul dalam menggapai Haji Mabrur
Pada Hakekatnya hanya Allah yang mengetahui dan menentukan apakah haji yang telah ditunaikan oleh seseorang itu diterima atau tidak, meskipun demikian melalui penjelasan yang bersumber dari Rasululah SAW,  setidaknya kita dapat melakukan instrosteksi diri/mengukur diri seraya berharap kepada Allah agar haji yang kita tunaikan menjadi mabrur.
Diantara petunjuk untuk menggapai haji mabrur dari beberapa hadits Rasulullah, diantaranya :
  1. Niat Ikhlas karena Allah SWt.
Dalam Islam, niat menempati kedudukan sentral dan menempati posisi yang sangat penting, bahkan niat menjadi penentu atas nilai sebuah ibadah yang kita tunaikan. Begitu juga halnya dengan pelaksanaan ibadah yang memerlukan kesanggupan materiil dan spirituil ini.
Penegasan dan pelurusan niat yang benar-benar harus ditujukan dalam rangka mencapai  ridha Allah SWT secara eksplisit dijelaskan dalam firman-Nya :

!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãƒur no4qx.¨9$# 4 y7Ï9ºsŒur ß`ƒÏŠ ÏpyJÍhŠs)ø9$# ÇÎÈ


“Dan tidaklah mereka disuruh kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (Al Bayyinah (98) : 5)

Hal ini diperkuat lagi oleh Rasulullah dalam sabdanya,

انما الاعمال بالنيات و انما لكل امرئ ما نوي

artinya :” Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung dari niatnya dan masing-masing mendapat pahala dari niatnya itu”.

Oleh karena itu, haji harus benar-benar diniatkan karena Allah SWT. Terlebih haji ini sangat dekat dengan perasaan riya’ dan sum’ah, mengingat tidak semua orang dapat menunaikan ibadah ini sebagaimana ibadah yang lain. Tidak sedikit orang yang menunaikan ibadah haji karena ingin memperoleh predikat “Haji” untuk memperkuat status sosial, khususnya untuk mendapatkan legitimasi sosial dari masyarakat.

  1. Sumber biaya yang halal

Segala biaya dan nafkah yang digunakan untuk menunaikan ibadah haji haruslah benar-benar bersumber dari yang halal. Hakekat yang ingin kita capai dari pelaksanaan ibadah haji adalah ingin menyempurnakan sesuatu yang prinsipil terhadap keberislaman kita, sehingga kita termasuk orang-orang yang dekat kepadanya. Oleh karena itu, apa artinya kita menunaikan ibadah haji haji, jika ternyata tidak dapat lebih mendekatkan diri kita kepada Allah SWT., karena harta yang kita gunakan tidak bersumber dari harta yang halal. Karena setiap ibadah yang kita tunaikan dengan biaya yang bersumber dari yang haram, tidak akan bernilai disisi Allah SWT. Dengan kata lain ibadah hajinya akan ditolak (ma’zur).
Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah SAW, artinya : “Jika seseorang menunaikan ibadah haji pergi dengan biaya dari harta yang halal dan diucapkannya, labbaika allahumma labbaik (ya Allah, inilah aku datang memenuhi panggilan-MU), maka berkata penyeru dari langit : “Allah menyambut dan menerima kedatanganmu dan semoga kamu berbahagia. Perbekalanmu halal, pengangkutanmu juga halal, maka hajimu mabrur, tidak dicampuri dosa”. Sebaliknya jika ia pergi dengan harta yang haram, dan ia mengucapkan “Labbaik”, maka penyeru dari langit berseru : “Tidak diterima kunjunganmu dan engkau tidak berbahagia. Perbekalanmu haram, pembelanjaanmu juga haram, maka hajimu ma’zur (mendatangkan dosa) atau tidak diterima. (HR. Thabrani).

Berdasarkan hadits Rasulullah dan logika/akal sehat kita sendiri, dapat kita simpulkan bahwa bagaimana mungkin haji kita berkenan disisi Allah SWT, sedangkan biaya pelaksanaannya bersumber dari harta yang tidak diridhai Allah SWT.

  1. Manasik Haji sesuai tuntunan Rasulullah SAW..
Ibadah Haji merupakan ibadah mahdhah dan sudah ditetapkan ketentuan dan tata caranya. Kita  mutlak harus mempedomani kaifiyah dan tata cara manasik yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW. Dengan demikian, manasik haji yang kita lakukan harus benar-benar sesuai dengan manasik haji yang dilakukan oleh Rasulullah SW, sebagaimana sabdanya : “Hendaklah kmu mengambil manasik hajimu dari aku”. (HR. Muslim)
Alangkah baiknya, jika setiap kita yang ingin menunaikan ibadah haji terlebih dahulu mempelajari dengan sebaik-baiknya manasik haji Rasulullah SAW. Karena manasik haji ini sangat menentukan kemabruran haji kita, dan manasik haji yang tepat dan benar adalah manasik hajinya Rasulullah SAW.

  1. Ibadah Haji berbuah perbaikan akhlaq dan tingkah laku.
Ibadah Haji yang telah ditunaiakn harus mampu memperbaiki akhlaq dan tingkah laku. Sesudah menyelesaikan manasik hajinya secara sempurna, mulai berihram di miqat yang telah ditentukan, thawaf mengelilingi ka’bah baitullah, wuquf di Arafah, mabit di muzdalifah. melontar jumroh dan bermalam di Mina, thawaf ifadhah dan akhirnya thawaf wada’ telah dilakukan sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW, maka sekembalinya jama’ah di tanah air semua aktiftas yang telah dilakukan delama ibadah haji harus mampu menjadi sarana untuk memfungsionalisasikan tujuan hidup kita agar kembali ke fitrah yang sebenarnya, yakni menjadi manusia yang memiliki akhlaq yang terpuji.
Kita harus mengingat bahwa tujuan ibadah dalam Islam , tidak terkecuali ibadah haji, adalah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Upaya pendekatan diri ini sekaligus mensucikan jiwa kita menjadi jiwa bersih, sehingga dengan jiwa yang bersih ini melahirkan perilaku dan akhlaq yang mulia. Ibadah haji yang membentuk perilaku akhlaq terpuji dan mulia ini diukur dengan peningkatan amal-amal kebajikan yang kita lakukan, baik terhadap Allah SWt secara vertikal, dan hubungan sesama manusia secara horisontal.

Kesimpulan
Tidak ada satupun diantara kita yang menginkan ibadah yang kita lakukan tidak diterima Allah SWT, tidak terkecuali ibadah haji. Dalam Islam, pelaksanaan ibadah haji merupakan pelaksanaan yang memerlukan kesanggupan yang lebih besar daripada ibadah lainnya, karena disamping ibadah ini merupakan ibadah yang berdimensi spiritualitas tinggi, ia juga  sangat sarat dengan nilai-nilai sejarah dalam tradisi kenabian yang agung.
Keberangkatan yang dilakukan dengan niat yang suci dan ikhlas semata-mata berharap ridha Allah SWT, biaya haji yang mahal yang dikeluarkan dari sumber yang halal, mengikuti manasik haji yang dipraktikkan Rasulullah SAW dan menghiasi dirinya dengan amal-amal shalih dan akhlaqul karimah, akan menjadi sebagian tanda kemabruran haji seseorang, yang balasannya tidak lain adalah surga.
Akhirnya kami ucapkan Sugeng tindak ngantos kondur, mugi dados haji mabrur. Amien…
Sebelumnya
Berikutnya

0 comments: