I.
PENDAHULUAN
Walimah al-‘ursy (pesta perkawinan) ternyata masih
banyak disalah pahami oleh sebagian umat Islam. Kesalahpahaman tersebut pada
dataran tertentu berimplikasi hukum (positif maupun normative) dan social.
Diantara implikasi serius terhadap ketentuan hukum
(fiqh maupun undang-undang). Diantaranya 1) ketakutan seseorang untuk menikah, kalaupun
kemudian menikah, maka mereka 2) tidak mau mencatatkan pernikahannya dan beberapa
persoalan yang terkait dengan bagaimana penyelenggaraan walimah, siapa yang
semestinya diundang dan seterusnya. Secara social, implikasi yang timbul
diantaranya 1) tidak adanya data yang dapat digunakan sebagai bahan pengambilan
keputusan pemerintah khususnya dalam bidang ekonomi dan kesejahteraan keluarga,
dan ujungnya adalah 2) kesemrawutan interaksi social didalam masyarakat dan
tidak terwujudkan tujuan pemerintah yang mampu mensejahterakan warganya.
Semua itu diantaranya
tidak sedikit terjadi disebabkan “hanya” karena pertimbangan ekonomi
(pendanaan) padahal sebetulnya karena ketidaktahuan atau ketidakmampuan
memilah, mana harus dan mana yang pada dasarnya sekedar pelengkap.
Bermula dari persoalan ini, maka pembahasan ini
diharapkan mampu memberikan pencerahan dan pemahaman yang luas dan
komprehensif sehingga umat tidak
terjebak pada dataran formal tekstual, sebaliknya lebih mampu memahami secara
substansial berbagai hal, khususnya yang terkait dengan pernikahan, walimah dan
pencatatan perkawinan.
II.
WALIMAH
DALAM ISLAM
A.
Pengertian
Walimah menurut bahasa berasal dari kata al-walmu[1],
berarti berkumpul, karena pada waktu itu suami dan istri berkumpul. Menurut
istilah, walimah ialah makanan yang -khusus- dihidangkan pada waktu pesta (pernikahan).[2]
B.
Dasar
Hukum
Dasar hukum penyelenggaraan walimah, diantaranya :
1. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ هُوَ ابْنُ زَيْدٍ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِي اللَّهم عَنْهم أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى عَلَى عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَثَرَ صُفْرَةٍ قَالَ مَا هَذَا قَالَ إِنِّي تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ بَارَكَ اللَّهُ لَكَ أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ *
Dari Anas bin malik, bahwa Rasulullah melihat
bekas (tanda) berwarna kuning pada diri Abdurrahman bin Auf, kemudian Nabi
bertanya : Apa ini, Abdurrahman bin Auf menjawab : Sesungguhnya aku telah
menikahi seorang perempuan dengan (maskawin) beberapa (gram) emas, Nabi berdo’a
: Semoga Allah memberkahi kamu, (kemudian memerintahkan), Berwalimahlah,
meskipun dengan seekor kambing“ [3].
2. Dari Anas : Ia menceritakan
bahwa Rasulullah mengadakan walimah untuk semua istri beliau, sebagaimana nabi
berwalimah untuk zainab, Beliau berwalimah dengan seekor kambing.[4]
2568
حَدَّثَنَا أَبُو الرَّبِيعِ الزَّهْرَانِيُّ وَأَبُو كَامِلٍ فُضَيْلُ بْنُ حُسَيْنٍ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا حَمَّادٌ وَهُوَ ابْنُ زَيْدٍ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ وَفِي رِوَايَةِ أَبِي كَامِلٍ سَمِعْتُ أَنَسًا قَالَ مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَقَالَ أَبُو كَامِلٍ عَلَى شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلَى زَيْنَبَ فَإِنَّهُ ذَبَحَ شَاةً *
1898
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلَى زَيْنَبَ فَإِنَّهُ ذَبَحَ شَاةً *
3. Buraidah
menceritakan, bahwa Setelah Ali melamar Fatimah, maka beliau mengatakan
kepadanya; untuk perkawinan ini harus ada walimahnya.[5]
21957
حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الرُّؤَاسِيُّ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ بْنِ سُلَيْطٍ عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ لَمَّا خَطَبَ عَلِيٌّ فَاطِمَةَ رَضِي اللَّهم تَعَالَى عَنْهممَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهُ لَا بُدَّ لِلْعُرْسِ مِنْ وَلِيمَةٍ قَالَ فَقَالَ سَعْدٌ عَلَيَّ كَبْشٌ وَقَالَ فُلَانٌ عَلَيَّ كَذَا وَكَذَا مِنْ ذُرَةٍ *
C.
Waktu
Penyelenggaraan
Penyelenggaraan walimah dilakukan bersamaan dengan waktu akad nikah
atau sesudahnya akad nikah baik setelah
maupun sebelum pengantin bersenggama. Dengan demikian pelaksanaannya bersifat
longgar.
Dalam Hadits Riwayat Bukhari, diterangkan bahwa Rasulullah mengundang
orang (berwalimah) atas pernikahannya dengan Zainad sesudah Rasul bersenggama
dengannya[6].
D.
Kewajiban
Memenuhi Undangan
Memenuhi undangan walimah hukumnya wajib[7],
sejauh tidak ada udzur yang dibenarkan syari’at.
Hal ini didasarkan pada Hadits :
1904 حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى وَلِيمَةِ عُرْسٍ فَلْيُجِبْ
*
Rasulullah bersabda : “Apabila salah seorang diantara kamu
diundang untuk menghadiri walimah urs, maka penuhilah (undangan tersebut)”.[8]
Dari hadits yang lain bahkan Rasulullah menyampaikan bahwa tidak
menghadiri undangan dengan sengaja termasuk telah durhaka kepada Allah dan
Rasul-Nya.
4882
حَدَّثَنَا عَبْدُاللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهم عَنْهم أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
*
Dari Abi Hurairah, ia berkata : “Barangsiapa
yang sengaja tidak mengabulkan undangan walimah, maka berarti dia telah
mendurhakai Allah dan Rasul-NYa”.[9]
Kewajiban menghadiri undangan ini tidak termasuk kewajiban mencicipi
hidangan yang disuguhkan.
2108 أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى وَلِيمَةٍ فَلْيُجِبْ قَالَ أَبمو ممحَمَّد يَنْبَغِي أَنْ يُجِيبَ وَلَيْسَ الْأَكْلُ عَلَيْهِ بِوَاجِبٍ *
Nabi Bersabda : “Apabila salah seorang diantara kamu diundang
untuk menghadiri walimah, maka hendaklah ia menghadiri (undangan tersebut)[10]
dan makan di acara tersebut tidak termasuk kewajiban.
4884 حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِاللَّهِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَاللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِي اللَّهم عَنْهممَا يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجِيبُوا هَذِهِ الدَّعْوَةَ إِذَا دُعِيتُمْ لَهَا قَالَ وَكَانَ عَبْدُاللَّهِ يَأْتِي الدَّعْوَةَ فِي الْعُرْسِ وَغَيْرِ الْعُرْسِ وَهُوَ صَائِمٌ *
Rasulullah bersabda : „Penuhilah undangan ini
apabila kamu diundang kesana. Dikatakan bahwa Abdullah menghadiri undangan
walimah urs dan undangan lainnya, sedangkan ia dalam keadaan puasa“.[11].
Tetapi apabila undangan tidak ditujukan secara
khusus, maka tidak ada kewajiban menghadiri walimah tersebut
2572 حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا جَعْفَرٌ يَعْنِي ابْنَ سُلَيْمَانَ عَنِ الْجَعْدِ أَبِي عُثْمَانَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ تَزَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ بِأَهْلِهِ قَالَ فَصَنَعَتْ أُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ حَيْسًا فَجَعَلَتْهُ فِي تَوْرٍ فَقَالَتْ يَا أَنَسُ اذْهَبْ بِهَذَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْ بَعَثَتْ بِهَذَا إِلَيْكَ أُمِّي وَهِيَ تُقْرِئُكَ السَّلَامَ وَتَقُولُ إِنَّ هَذَا لَكَ مِنَّا قَلِيلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَذَهَبْتُ بِهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ إِنَّ أُمِّي تُقْرِئُكَ السَّلَامَ وَتَقُولُ إِنَّ هَذَا لَكَ مِنَّا قَلِيلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ ضَعْهُ ثُمَّ قَالَ اذْهَبْ فَادْعُ لِي فُلَانًا وَفُلَانًا وَفُلَانًا وَمَنْ لَقِيتَ وَسَمَّى رِجَالًا قَالَ فَدَعَوْتُ مَنْ سَمَّى وَمَنْ لَقِيتُ قَالَ قُلْتُ لِأَنَسٍ عَدَدَ كَمْ كَانُوا قَالَ زُهَاءَ ثَلَاثِ مِائَةٍ وَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَنَسُ هَاتِ التَّوْرَ قَالَ فَدَخَلُوا حَتَّى امْتَلَأَتِ الصُّفَّةُ وَالْحُجْرَةُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَتَحَلَّقْ عَشَرَةٌ عَشَرَةٌ وَلْيَأْكُلْ كُلُّ إِنْسَانٍ مِمَّا يَلِيهِ قَالَ فَأَكَلُوا حَتَّى شَبِعُوا قَالَ فَخَرَجَتْ طَائِفَةٌ وَدَخَلَتْ طَائِفَةٌ حَتَّى أَكَلُوا كُلُّهُمْ فَقَالَ لِي يَا أَنَسُ ارْفَعْ قَالَ فَرَفَعْتُ فَمَا أَدْرِي حِينَ وَضَعْتُ كَانَ أَكْثَرَ أَمْ حِينَ رَفَعْتُ قَالَ وَجَلَسَ طَوَائِفُ مِنْهُمْ يَتَحَدَّثُونَ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ وَزَوْجَتُهُ مُوَلِّيَةٌ وَجْهَهَا إِلَى الْحَائِطِ فَثَقُلُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَلَّمَ عَلَى نِسَائِهِ ثُمَّ رَجَعَ فَلَمَّا رَأَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ رَجَعَ ظَنُّوا أَنَّهُمْ قَدْ ثَقُلُوا عَلَيْهِ قَالَ فَابْتَدَرُوا الْبَابَ فَخَرَجُوا كُلُّهُمْ وَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى أَرْخَى السِّتْرَ وَدَخَلَ وَأَنَا جَالِسٌ فِي الْحُجْرَةِ فَلَمْ يَلْبَثْ إِلَّا يَسِيرًا حَتَّى خَرَجَ عَلَيَّ وَأُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَرَأَهُنَّ عَلَى النَّاسِ ( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ ) إِلَى آخِرِ الْآيَةِ قَالَ الْجَعْدُ قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَا أَحْدَثُ النَّاسِ عَهْدًا بِهَذِهِ الْآيَاتِ وَحُجِبْنَ نِسَاءُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ *
„Anas menceritakan, bahwa suatu ketika Rasulullah
menikah dan membawa istri beliau ke rumahnya. Kemudian ibuku (Umi Sulaim)
membuat kue dan meletakkannya disatu baki. Dia mengatakan,
Hai saudaraku, bawalah kue ini ke rumah Rasul SAW, kemudian saya bawa. Rasul
bersabda : undanglah si fulan dan si fulan, dan siapa yang bertemu denganmu;
lalu saya undang siapa yang beliau udang dan siapa yang saya temui”.[12]
Ibnu Hazm[13]
menyatakan bahwa hadits tersebut menjelaskan kewajiban menghadiri semua jenis
undangan, tidak terkecuali undangan walimah pernikahan saja. Dan itulah
pendapat jumhur ulama.
Ibnu Hajar al asqalani dalam kitab Fath al Barri, sebagaimana
dikutip Sayyid Sabiq, menjelaskan beberapa persyarakat walimah yang wajib
dihadiri, yaitu :
a.
Pengundangnya sudah mukallaf, merdeka dan
sehat.
b.
Undangan
tersebut tidak dikhususkan untuk orang kaya saja.
c.
Acara tersebut tidak dikhususkan bagi orang
yang disenangi pengundang.
d.
Pengundang
beragama Islam.
e.
Undangan tersebut pada hari pertama.
f.
Belum didahului oleh undangan lain.
g.
Tidak ada
halangan.
h.
Yang
diundang tidak dalam keadaan udzur[14].
E.
Hidangan
Dalam Walimah
Hidangan perjamuan walimah hukum asalnya adalah ibahah (kebolehan), tergantun
kemampuan shohibul hajjah. Namun dari beberapa pernyataan Rasul, dapat
disimpulkan bahwa prinsip perjamuan dalam penyelenggaraan walimah ialah
kesederhanaan dan asas manfaat.
Nabi menyatakan bahwa walimah itu penting bahkan harus
diselenggarakan meskipun ‘hanya’ dengan seekor kambing[15].
Menunjukkan kesederhanaan penyelenggaraan walimah, atau sesuai dengan kemampuan
shahibul hajjah.
Nabi bahkan akan mendatangi undangan walimah dan memerintahkan
sahabat untuk menghadiri undangan, meskipun disana ‘hanya’ disediakan hidangan
berupa kikil kambing.
2582 و حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنِي عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دُعِيتُمْ إِلَى كُرَاعٍ فَأَجِيبُوا
*
Rasulullah bersabda : „Apabila kamu diundang
untuk makan kaki kambing, maka penuhilah (undangan itu)“.[16]
4883
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ عَنْ أَبِي حَمْزَةَ عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ دُعِيتُ إِلَى كُرَاعٍ لَأَجَبْتُ وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ
*
Rasul bersabda : „Seandainya aku diundang hanya
untuk memakan kaki kambing, sesungguhnya saya kabulkan juga, dan seandainya
hanya kaki kambing yang dihadiahkan kepadaku, aku terima juga“.[17]
Bahkan Rasulullah
menerangkan bahwa upacara pesta pernikahan yang hanya dihadiri kaum elite
cenderung berimplikasi tabdzir dan hura-hura, serta menafikan kehadiran orang
faqir sebagai suatu hidangan yang jelek
4882
حَدَّثَنَا عَبْدُاللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهم عَنْهم أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ *
Dari Abi Hurairah, ia berkata : „sejelek-jelek
makanan ialah makanan yang dihidangkan pada walimah yang hanya diundang
orang-orang kaya dan orang miskin tidak diundang”.[18]
F.
Hiburan
Dibolehkan menyelenggarakan walimah dengan menyertakan hiburan
sepanjang pesta dan hiburan yang diadakan tidak bertentangan dengan ketentuan
Islam. Seperti menghidangkan minuman yang memabukkan, terjadi pergaulan bebas
serta hiburan yang menyebabkan lupa kepada Allah.
1009 حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ مَيْمُونٍ الْأَنْصَارِيُّ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ قَالَ أَبمو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ حَسَنٌ فِي هَذَا الْبَابِ وَعِيسَى بْنُ مَيْمُونٍ الْأَنْصَارِيُّ يُضَعَّفُ فِي الْحَدِيثِ وَعِيسَى بْنُ مَيْمُونٍ الَّذِي يَرْوِي عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ التَّفْسِيرَ هُوَ ثِقَةٌ
*
“Dari Aisyah RA, ia berkata : bahwa Rasulullah SAW bersabda : “
siarkanlah pernikahan ini di masjid-masjid dan pukullah untuk itu rebana”.[19]
1008 حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو بَلْجٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حَاطِبٍ الْجُمَحِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَرَامِ وَالْحَلَالِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ
Rasulullah bersabda : “Perbedaan antara yang halal dan yang haram
(dalam perkawinan) ialah dengan adanya bunyi-bunyian”[20]
3330 أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى قُرَظَةَ بْنِ كَعْبٍ وَأَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ فِي عُرْسٍ وَإِذَا جَوَارٍ يُغَنِّينَ فَقُلْتُ أَنْتُمَا صَاحِبَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنْ أَهْلِ بَدْرٍ يُفْعَلُ هَذَا عِنْدَكُمْ فَقَالَ اجْلِسْ إِنْ شِئْتَ فَاسْمَعْ مَعَنَا وَإِنْ شِئْتَ اذْهَبْ قَدْ رُخِّصَ لَنَا فِي اللَّهْوِ عِنْدَ الْعُرْسِ *
Amir bin Sa’ad berkata : saya pernah datang ke rumah Qarzhah bin
Ka’ab ; waktu itu Abu Mas’ud Anshari jadi pengantin. Tiba-tiba anak perempuan
bernyanyi. Kataku : bukankah kamu dua sahabat Rasul SAW? Dan bahkan ikut perang
Badar ?, mengapa ini dikerjakan didepanmu ? (Keduanya) menjawab : Bila kamu
mau, maka duduk dan dengarkanlah bersama kami, , dan bila tidak mau maka
pergilah…. Rasul memberikan kelonggaran bagi kita mengadakan sesuatu yang
bersifat hiburan pada waktu pesta (pengantin)”.
Juga Hadits Nabi :
4868 حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ يَعْقُوبَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَابِقٍ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا زَفَّتِ امْرَأَةً إِلَى رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَائِشَةُ مَا كَانَ مَعَكُمْ لَهْوٌ فَإِنَّ الْأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ *
Nabi berkata : “Wahai Aisyah, mengapa kamu tidak menyumbangkan
hiburan? Sesungguhnya orang Madinah senang dengan hiburan”[21]
III.
PENCATATAN
NIKAH
Dalam pemahaman fiqh klasik, tidak ditemui ketentuan keharusan untuk
mencatat pernikahan, baik dalam pembahasan rukun maupun syarat nikah. Kewajiban
pencatatan nikah, khususnya di Indonesia ,
baru diatur dalam Pasal 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974.[22]
Ketentuan ini didasarkan bahwa meski pernikahan merupakan persoalan
privat, namun sangat terkait dengan interaksi social warga Negara, dimana
Negara mempunyai tanggungjawab menjamin kepastian hukum kepada seluruh warga
Negara dan hal itu hanya akan dapat dilaksanakan ketika interaksi tersebut
dapat dibuktikan secara legal formal, yaitu dengan adanya pencatatan. Hal ini
diperkuat dengan qaidah ushul fiqh :
ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب
“Sesuatu yang tidak
dapat sempurna kecuali dengan itu, maka hal itu menjadi wajib”
Ketentuan tersebut juga disandarkan pada kaidah Fiqh,
تصرف الامام علي ر ءية
منوط بالمصلحة
“Kebijakan
pemimpin atas warganya, (harus) mengacu
kepada kemaslahatan”
IV.
PEMBAHASAN
Dalam pembahasan terdahulu, Rasulullah menegaskan pentingnya
diselenggarakan walimah atas suatu pernikahan. Dalam konteks hokum, jumhur
ulama berpendapat bahwa penyelenggaraan walimah adalah sunnah muakkad, bahkan
bila memahami dhahir teks hadist yang menggunakan kata perintah (fiil amr)
sebagian ulama berpendapat wajib. Ini didasarkan pada qaidah
الاصل في الامر للوجوب
“Hukum
asal dari perintah, adalah wajib”.
Yang perlu dipahami dari hadits-hadits yang
memerintahkan penyelenggaraan walimah atas sebuah pernikahan, bahwa hakekat
yang ingin dicapai ialah : 1) untuk menghindari pernikahan tersembunyi (sirri)
yang dilarang[23],
2) menampakkan kebahagiaan dengan telah dihalalkannya kebaikan, [24]
3) pemberitahuan bahwa pasangan tersebut telah menikah, sehingga dapat menghindarkan
fitnah, 2) memberikan dorongan orang yang belum menikah –padahal sudah
mampu/istitho’ah)- untuk segera menikah, karena nikah merupakan sunnah rasul,
dan melakukannya merupakan ibadah.
Dari perintah mengadakan walimah dan ketentuan
undang-undang tentang pencatatan nikah, terdapat titik temu yaitu agar pasangan
nikah tidak menuai fitnah dan mempunyai
kepastian hukum. Dengan demikian, kedua hal tersebut dapat dipertemukan bahkan
saling menguatkan, sehingga disamping sebuah pernikahan perlu diberitakan
(walimah) juga dicatat sehingga mempunyai kekuatan hokum yang mengikat.
Yang kemudian perlu diperjelas ialah bahwa pelaksanaan
nikah yang perlu diumumkan dan dicatat, jangan sampai menimbulkan kesalahan
persepsi sehingga masyarakat takut menikah karena pertimbangan biaya
penyelenggaraan walimah dan biaya pencatatan atas pernikahannya. Atau jangan
sampai ketentuan walimah itu menyebabkan orang menikah dengan sembunyi-sembunyi
dan tidak mencatatkan nikahnya.
Titik temu yang dapat dikompromikan ialah, bahwa
masyarakat perlu diberikan pemahaman yang benar tentang penyelenggaraan walimah
sehingga tidak memberatkan, serta penjelasan bahwa pencatatan nikah tidak sulit
dan tidak mahal. Dalam batas tertentu, ketika kedua hal tersebut tidak dapat
dilaksanakan secara bersamaan, maka pasangan calon pengantin didorong untuk
mendahulukan pencatatan nikahnya untuk mendapatkan kepastian hukum seraya
berusaha untuk dapat menyelenggarakan walimah atas pernikahan yang telah
dicatatkan tersebut pada kesempatan yang lain.
V.
PENUTUP
Walimah dan pencatatan nikah ternyata merupakan dua
sisi dari sekeping mata uang bernama pernikahan. Yang apabila dipahami dengan
benar akan mampu memberikan kepastian hokum dan menghindarkan fitnah, khususnya
bagi pasangan yang bersangkutan.
Dengan demikian, prinsip penyelenggaraan walimah yang sederhana
dan pelayanan pencatatan nikah yang baik dan terjangku akan dapat memberikan
kenyamanan dan kepastian, bahkan mampu menepis terjadinya praktek pernikahan
yang tersembunyi dan tidak mau dicatat.
* Disampaiakan pada bahsul Masail Fiqhiyyah “WALIMAH DAN PROBLEMATIKA
PENCATATAN NIKAH” yang diselenggarakan Kelompok Kerja Penghulu (Pokja Hulu)
Kabupaten Sleman tanggal 24 Maret 2009.
[1] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 2, Toha Putra, 201.
[2] Ibid
[3] CD. Kutub at-tis’ah, Bukhori, Kitab Nikah, Hadits No.
4684; hadits senada dengan beberapa perbedaan redaksi terdapat juga dalam
riwayat Bukhari : 4756 dan No. 4757; Muslim: 2556; Turmudzi :
1014; Nasai : 3299; Abi Dawud : 1804; Ibnu Majah : 1897; Malik
: 999; Darimi : 2107
[4] Ibid; Muslim, Kitab
NIkah, Hadits No. 2568 dan Ibnu Majah : 1898
[5] Ibid, Musnad Ahmad; Hadits No. 21950; dalam riwayat
ini juga diterangkan dengan seekor kambing, dan riwayat lain diterangkan
beberapa (roti) gandum.
[6] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah; 201
[7] Ibid, 202
[8] CD Kutub at-tis’ah, Ibnu Majah; Marfu’; Kitab Nikah, Hadits
No. 1904
[9] Ibid, Bukhari, Mauquf, Kitab Nikah, no. 4882, 4884.
[10] Ibid, Darimi; Kitab Nikah, Hadits No. 2108.
[14] Ibid, 202-203.
[15] Lihat catatan kaki no. 3
[16] Ibid, Muslim, Kitab Nikah; 2582
[17] Ibid, Bukhari, Nikah, 4883
[18] Ibid, Bukhari, Kitab Nikah, no. 4882.
[19] CD Kutub at-tis’ah, Turmudzi, hadits No.
1009
[20] Ibid, Turmudzi, Hadits No. 1008. Sebab Wurud hadits
ini ialah terkait dengan pernikahan
yahya bin salim yang menikahi dua orang perempuan, yang seorang diadakan
hiburan sedang yang seorang tidak diadakan hiburan. Maka kemudian Nabi bersabda
: Perbedaan antara yang halal dan haram ialah dengan adanya bunyi-bunyian.
Lihat juga Fiqh as-Sunnah, Jilid 3, Hal.
[21] Hadits ini sebab wurudnya ialah ketika Aisyah mengirim Fai’ah binti
As’ad pada waktu dia jadi pengantin kerumah suaminya bernama Nabith bin Jabir
Anshari tanpa diiringi hiburan/bunyi-bunyian.
[22] Departemen Agama, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah, Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat
dan Wakaf; 110.
[23] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, 197
[24] Ibid
0 comments: