Friday, March 28, 2008

Ikrar Harian Seorang Muslim

Oleh : R. Agung Nugraha



حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ حَدَّثَنَا مِسْعَرٌ حَدَّثَنَا أَبُو عَقِيلٍ عَنْ سَابِقٍ عَنْ أَبِي سَلَّامٍ خَادِمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ أَوْ إِنْسَانٍ أَوْ عَبْدٍ يَقُولُ حِينَ يُمْسِي وَحِينَ يُصْبِحُ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُرْضِيَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Nabi bersabda : Apabila seorang hamba muslim setiap sore dan pagi hari selalu mengucapkan ikrar; aku ridha Allah tuhanku, Islam agamaku dan Muhammad adalah (nabi dan) rasul Allah, maka adalah menjadi hak Allah untuk meridhai orang tersebut pada hari kiamat.( HR. Ibnu Majah; hadits no. 3860)

Bagi seorang muslim tentu ikrar atau pengakuan akan 1) kekuasaan Allah, 2) kebenaran Islam sebagai agama dan 3) pengakuan bahwa Muhammad bin Abdullah adalah Nabi dan utusan Allah, merupakan sesuatu ikrar/pengakuan yang pasti telah diucapkan. Setidaknya tiga hal tersebut terangkum ketika mengucapkan dua kalimat syahadat, Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadan rasulullah.
Tetapi apabila kita pahami lebih jauh dari pernyataan hadits di atas, maka setidaknya ada dua hal yang perlu kita introspeksi pada diri kita; yaitu sudahkah hal itu kita ikrarkan setiap hari ? dan sudahkan maknanya kita pahami dengan benar untuk pada akhirnya sejauhmana ketiga ikrar tersebut telah kita implementasikan ?

Ikrar Lisan
Meski secara teks hadits tersebut menerangkan ‘kepastian’ ridha Allah dan balasan surga bagi orang yang senantiasa melafalkannya ketika pagi maupun petang, namun bila lebih jauh diselami, maka batasan pagi dan petang bukanlah harga mati. Artinya semakin sering hal tersebut diucapkan, maka semakin besar pula peluang untuk mendapatkan ridha dan surga Allah. Dengan demikian keterangan pagi dan petang pada dasarnya lebih menunjukkan pentingnya rutinitas kita melafalkan tiga ikrar tersebut, bukan batasan yang sangat ketat terhadap waktu melafalkannya.
Oleh karena itu ikrar ini baik juga untuk diucapkan disemua waktu, baik ketika berdo’a sesudah shalat lima waktu, ataupun ketika akan memulai segala macam aktifitas seperti kegiatan pertemuan, pengajian dan lain sebagainya.

Makna, hakikat dan implementasi Ikrar
Dari ketiga ikrar hariann tersebut, dapat kita uraian makna, hakekat dan implementasinya didalam kehidupan keseharian kita sbb. :

1.      Radhitu billahi rabba
Secara tekstual ikrar ini berarti ‘aku ridha bahwa Allah yang (maha) menguasai’. Ikrar pertama ini berisi pengakuan akan kekuasaan Allah. Bahwa Allahlah yang menguasai seluruh alam raya (rabbul ‘alamin). Dengan demikian orang yang telah mengucapkan/ berikrar dengan ungkapan tersebut, secara sadar ia telah memposisikan diri sebagai seorang hamba yang berada didalam kekuasaan Allah. Konsekwensinya tentu ia akan senantiasa taat dan patuh hanya kepada ‘tuan’ yang menguasai dirinya, yaitu Allah.
Oleh karena itu, yang perlu selalu dilakukan oleh seorang muslim dalam kehidupan sehari-harinya ialah ia tidak hanya secara lisan selalu mengucapkan kalimat ‘aku ridha bahwa Allah yang (maha) menguasai”, namun lebih dari itu ia harus mewujudkan pernyataan tersebut kedalam seluruh aspek kehidupannya hanya tunduk dan patuh kepada Allah swt.  
Pernyataan ini merupakan aspek aqidah, yaitu meniadakan tuhan selain Allah sekaligus menetapkan bahwa Allahlah satu-satunya tuhan yang haq disembah dan diibadahi.
Ketika mengucapkan ikrar ini, semestinya secara sadar umat Islam mengakui bahwa Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang, penguasa alam raya dan hari pembalasan, akan beribadah dan meminta hanya kepada Allah, mohon petunjuk, bimbingan dan pertolongan hanya kepada Allah sebagaimana isi Surat Al Fatikhah ayat 3-6.

2.      Wa bil islami diina
Dari sisi bahasa, ikrar ini berarti ‘aku ridha bahwa islam adalah agama (yang benar dan patut diikuti)’.
Karena kepercayaan akan ketuhanan Allah menuntut adanya penyembahan (peribadatan kepada-Nya), maka dengan mengucapkan ikrar itu, artinya seorang hamba yang telah memposisikan diri sebagai hamba yang ada didalam genggaman kekuasaan Allah yang akan menjadikan semua ajaran dan tuntunan Allah yang berupa syariat islam sebagai satu-satunya jalan hidup bagi dirinya. Konsekwensinya, dari sisi aqidah, ia harus memantapkan diri dalam ber-Islam (inna ad-dinna ‘inda allahi al islam) dan tidak akan berpaling terhadap ‘tawaran’ agama selain Islam. Kemudian secara hakiki, orang yang telah mengikrarkan kalimat ini tentu hanya akan berhukum hanya kepada hukum Allah yang berupa syariat Islam tersebut.
Hal ini merupakan implementasi dari aspek aqidah sekaligus juga aspek ibadah, bahwa keyakinan dan cara beribadah yang akan diikuti ialah keyakinan dan cara Islam.

3.      wa bimuhammad rasula
Ikrar ini berarti ‘aku ridha bahwa Muhammad (bin Abdullah) adalah Rasul (yang akan senantiasa diikuti)’. Dengan demikian, ikrar ini menunjukkan keinginan hamba Allah untuk melaksanakan ketaatannya kepada Allah melalui cara mengikuti dan melaksanakan syariat Islam yang dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Pernyataan ini juga mencakup pengakuan akan syariat nabi/rasul terdahulu. Dari Sisi Aqidah, sejak nabi Adam sampai Nabi Muhammad adalah sama, yaitu pengesaan Allah (tauhid); dari sisi Syari’at, yang diajarkan oleh Nabi Adam sampai Nabi Muhammad  juga sama, yaitu syariat Islam. Yang kemudian tersimpul dari ikrar ketiga ialah keinginan dan kemauan kuat umat Islam untuk mengikuti ajaran dan tuntunan Islam yang dibawa dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Ikrar ini juga lebih menekankan tentang pentingnya kita umat Muhammad, untuk berkakhlaq dengan Akhlaq Nabi Muhammad. Sedangkan Akhlaq Nabi Muhammad tidak lain adalah al Qur’an. Dengan demikian, implementasi dari ikrar ini semestinya ialah bagaimana seluruh umat Islam berusaha untuk selalu mengamalkan Al Qur’an sebagai perilaku hidup keseharian.

Demikianlah, betapa tiga ikrar yang sederhana dan ringkas ini pada dasarnya mengandung makna yang sangat dalam. Akhirnya, kalaupun ketiga ikrar ini telah biasa bahkan sering kita ucapkan dalam keseharian hidup kita, namun usaha yang terus menerus untuk mewujudkan isi dari ikrar tersebut merupakan langkah yang tidak mudah dan memerlukan kesungguhan dari kita semua. Dengan demikian, tidak akan lagi terjadi kita berikrar bertuhan kepada Allah tetapi masih memertuhankan yang lain, beragama Islam tetapi juga melirik keyakinan lain, atau mengaku umat Muhammad tetapi tidak selaras dan sejalan dengan yang dituntunkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad.

Kita memohon kepada Allah, agar diberikan kekuatan kepada kita untuk memenuhi ketiga ikrar tersebut. Semoga….

Thursday, March 13, 2008

Meneladani Dakwah Rasul
MENELADANI DAKWAH NABI
R. Agung Nugraha




“ Sungguh pada diri Rasulullah SAW terdapat contoh/suri tauladan yang baik bagi siapa saja yang menghendaki pertemuan dengan Allah dan hari akhir, dan bagi siapa saja yang selalu mengingat kepada Allah” (Al Ahzab : 21)

Setiap tanggal 12 Rabiul Awwal, kita selalu memperingati peristiwa Maulid (kelahiran) Nabi Muhammad SAW. Dalam peringatan itu kemudian kita mengingat kembali bahwa Nabi Muhammad SAW dilahirkan pada tahun gajah (571 M) dari seorang ibu bernama Aminah, ayahnya bernama Abdullah, kakeknya bernama Abdul Muthalib, pamananya Abu Thalib, dan kisah lainnya seputar itu.
Tanpa menafikan pentingnya pengetahuan tersebut, sebagai seorang muslim yang berfikir, tentu kita tidak akan merasa cukup memperingati Maulid Nabi hanya dengan membuka kembali data-data statis yang terkait dengan kelahiran dan tumbuh serta berkembangnya Muhammad bin Abdullah yang pada akhirnya dipilih oleh Allah sebagai Nabi dan Rasul Allah seperti yang selama ini kita lakukan. Karena bila kita berhenti dalam dataran tersebut, maka kita akan terjebak dalam sebuah rutinitas ritual yang dapat dikatakan tidak mempunyai makna.
Oleh karenanya, dalam memperingati Maulid Nabi tahun ini, data-data yang terkait dengan dinamika perjalanan hidup Rasulullah menjadi sesuatu yang harus kita gali terus menerus sehingga kita mampu menemukan mutiara-mutiara yang sangat berharga untuk kita implementasikan sesuai dengan kondisi sosial masyarakat yang juga dinamis. Hanya dengan pemahaman demikian, maka Islam yang dibawa Rasulullah Muhammad SAW sejak 15 abad yang lalu itu akan senantiasa aktual sepanjang zaman.
Diantara mutiara yang dapat kita petik dari perjalanan Nabi Muhammad SAW adalah system dan metodologi dalam berdakwah dan membangun masyarakat sehingga dalam waktu yang relatif singkat mampu mengubah peradaban dunia. Kunci sukses Nabi Muhammad dalam berdakwah yang dapat kita petik dan kita jadikan acuan dalam membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, diantaranya sebagai berikut :

1.      Keteladanan (Uswah Hasanah)
Keteladanan yang berupa kesempurnaan dan kemuliaan sifat, kepribadian kejujuran dan budi pekerti (akhlaq) yang luhur telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW. Bahkan sejak kecil ia telah dijuluki sebagai Al Amin (orang yang dapat dipercaya). Hal ini tidak saja diakui oleh umat Islam saja, bahkan Ilmuwan Kristen, Michael Hart, mendudukan Nabi Muhammad sebagai orang yang paling berpengaruh diseluruh dunia dalam urutan pertama.
Berdasar keterangan Al Qur’an Qs. Al Ahzab : 21 tersebut dan didukung oleh realitas kehidupan Nabi yang demikian sempurna dan diakui oleh seluruh penjuru dunia, maka para Dai/Muballigh sekarang juga harus mampu menjadi teladan yang baik bagi keluarga maupun lingkungan yang lebih luas.
Keteladanan merupakan kunci pertama keberhasilan sebuah gerakan dakwah. Diantara hal yang mesti kita teladani dari Rasulullah ialah Kesesuaian antara kata dan perbuatan, dan hal itu merupakan tolok ukur/parameter akhlaq dan kepribadian setiap muslim.

2.      Bil Hikmah (Bijaksana)
Ahmad Mustafa Al Maraghi didalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa kata bil hikmah (bijaksana) dalam dakwah mengandung pengertian bahwa seorang dai harus mampu menyampaikan pesan agama dengan perkataan yang jelas dan tegas disertai dengan dalil yang dapat mempertegas kebenaran dan mampu menghilangkan keraguan, sehingga akhirnya mampu meyakinkan sasaran dakwah.
Hikmah juga dapat dipahami sebagai menjelaskan sesuatu secara tepat sesuai dengan kondisi riil sasaran dakwah. Sebagai seorang Dai, nabi mengetahui persis objek dakwahnya (al Mad’u). Sebagai contoh : ketika ditanya tentang amal yang paling utama, sedang yang bertanya adalah orang yang belum mampu melaksanakan shalat dengan tepat waktu, maka jawaban nabi adalah shalat tepat pada waktunya, ketika ditanya oleh orang yang tidak berbakti kepada orang tua, nabi justru menjawab bahwa amal yang paling utama adalah birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua). Demikian juga, ketika ditanya tentang masalah khamr dan judi, berdasarkan firman Allah, nabi menjawab bahwa khamr dan judi itu, meskipun bermanfaat tetapi lebih banyak madharatnya. (Lihat Al Maidah : 90)

3.      Shabar
Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai orang yang sabar dan teguh dalam menghadapi berbagai rintangan dan halangan. Semua ujian, godaan dan rintangan selalu dihadapi dengan kesabaran.
Sebagai contoh,  ketika dakwah Nabi dihalangi, Nabi malah mendo’akan; “ya Allah, tunjukilah kaumku, karena sesungguhnya mereka kaum yang belum mengetahui (hakekat kebenaran Islam)”. Dalan kesempatan lain, Nabi ditantang untuk berhenti mendakwahkan Islam, dan untuk itu kaum kafir quraisy bersedia memberikan kompensasi harta yang melimpah, kedudukan yang tinggi, dan akan disediakan wanita-wanita cantik, namun Nabi tetap sabar dan tidak bergeming bahkan dengan tegas menyatakan; “apabila matahari diletakkan ditangan kananku, dan bulan ditangan kiriku, aku akan tetap mensyiarkan Islam”. Dalam kasus lain, ketika suatu saat nabi tidak mendapatkan rintangan dan tidak dilempari kotoran unta, Nabi bahkan menanyakan, menengok dan mendo’akan orang tersebut yang sedang sakit, sehingga pada akhirnya memeluk Islam. Kisah Daksur yang mengacungkan pedang dileher Nabi ketika sedang beristirahat dibawah sebuah pohon, kemudian Nabi ditanya: Siapa yang akan menolongmu hai Muhammad? Dengan tegas Nabi menjawab : Allah. Gemetarlah hati Daksur sang pembunuh bayaran, dan akhirnya juga memeluk Islam.
Besarnya kesabaran dan keteguhan hati Nabi tersebut tidak lain karena didasari kokohnya akidah yang menghunjam tajam didalam dada Rasulullah. Kesabaran dan keteguhan hati yang didasari dengan akidah yang benar seperti itulah yang sepatutnya menjadi contoh  nyata baik bagi aktifis dakwah maupun umat secara keseluruhan.

4.      Mauidhah Hasanah
Ibnu Syayidiqi berpendapat bahwa Mauidzah Hasanah berarti mengingatkan kepada orang lain dengan pahala dan siksa yang dapat menakhlukkan hati objek dakwah. Islam sejak awal juga mengenal reward and punishment, yaitu penghargaan berupa pahala bagi setiap umat yang bersedia dan setia menjalankan perintah Allah ataupun hukuman sebagai balasan atas penyimpangan dari ajaran Islam.
Dalam konteks ini, seorang dai / Muballigh dituntut untuk mampu menyampaikan pesan-pesan Islam yang berupa janji pahala dan balasan hukuman tersebut secara baik, sehingga mampu mendorong umat untuk melakukan perintah Allah tersebut dengan suka cita dan penuh keikhlasan. Sebaliknya, dai/muballigh dituntut untuk mampu menjelaskan kepada setiap umat bahwa atas dosa dan kesalahan yang diperbuat akan mendapatkan balasan; dengan demikian objek dakwah akan secara sadar dan sukarela meninggalkan hal-hal yang dilarang tersebut. Meskipun demikian, Seorang Dai/muballigh tidak seyogyanya memerankan diri menjadi “memedi manuk” yang hanya ditakuti ketika dia dituggui atau digerak-gerakkan, namun seorang muballigh harus mampu memberikan penyadaran, meskipun tidak dipasang “memedi manuk” itu, umat Islam harus senantiasa memegangi ajaran Islam, karena Allah secara langsung selalu mengawasi gerak-gerik umat manusia.
Yang terpenting, Dai harus mampu menggugah umat melakukan sebuah kebaikan memang karena ia menyukainya, sebaliknya meninggalkan kejahatan memang karena ia secara sadar dan sukarela membencinya dan meninggalkannya.

5.      Mujadalah
Mujadalah secara etimologi berarti dialog, debat, dll.  Dengan demikian seorang Dai/Muballigh harus mampu menyampaikan pesan-pesan agama dengan baik dan didasari dengan pengetahuan yang kuat atas sumber dari apa yang ia sampaikan. Dalam hal mendapat bantahan dari orang lain, Dai/Muballigh harus mampu memberikan bantahan (baca : dalil) yang lebih kuat. Hal ini akan dapat dilakukan oleh para dai/muballigh apabila setiap dai/muballigh bersedia men-Carge” dirinya dengan senantiasa meningkatkan kapasitas dan wawasan keislamannya, baik melalui kajian-kajian khusus ataupun bahsul masail diniyah (membahas masalah-masalah keagamaan).
Dalam hal debat atau diskusi, seorang dai dituntut untuk tidak mendudukkan  lawan berdebat atau berdiskusi sebagai musuh/lawan yang harus dikalahkan, melainkan harus didudukkan mereka  sebagai patner didalam membedah kebenaran Islam. Dai dituntut mampu memasukkan pesan-pesan Islam kepada objek atau sasaran dakwah dengan cara menunjukkan kebenaran ajaran Islam melalui dalil-dalil yang dapat dipertanggungjawabkan.

Akhirnya, marilah kita maknai peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tahun ini, dengan senantiasa mengkaji dan meneladani dakwah Nabi sehingga masyarakat Islam yang sebenarnya (khaira ummah) semakin lama akan semakin mewujud nyata. Amien…