Oleh : R.
Agung Nugraha , MA .
Dan
berserulah kepada manusia untuk menunaikan ibadah haji, niscaya mereka akan
dating memenuhi seruanmu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus
yang dating dari segenap penjuru yang jauh (Al
Hajj (22) : 27)
Semua orang yang akan dan telah
melaksanakan ibadah haji tentu sangat berharap agar memperoleh haji yang
mabrur. Penyebutan Istilah haji mabrur ini sekaligus merupakan petunjuk bahwa
tidak semua orang yang melaksanakan haji dapat mencapai haji mabrur. Oleh
karena itu, Rasulullah SAW sebagai pembawa risalah Islamiah telah menjadi
sumber rujukan utama dalam bagaimana melaksanakan ajaran Islam secara sempurna.
Ibadah haji merupakan sesuatu yang principil dari ajaran Islam sehingga ia
menjadi salah satu dari rukun Islam. Terhadap hal demikian tentu tentu
Rasulullah SAW, telah memberikan petunjuk tentang bagaimana melaksanakan ibadah
haji secara baik sehingga pada akhirnya haji tersebut sampai kepada derajat
mabrur.
Bagaimana petunjuk Rasulullah SAW
tersebut? Inilah yang akan menjadi titik sentral uraian pembahasan tulisan
berikut dengan terlebih dahulu memberikan pengertian tentang definisi haji
mabrur tersebut.
Pengertian Haji Mabrur
Salah seorang ulama hadits Al hafidz Ibn
Hajar al-Asqalani dalam kitab fathul Bari ,
Syarah Bukhari Muslim, mendefinisikan bahwa “Haji mabrur adalah haji yang
maqbul yakni haji yang diterima oleh Allah SWT. Pendapat lain yang saling
menguatkan dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam syarah muslim, bahwa : “Haji
mabrur itu adalah haji yang tidak dikotori oleh dosa, atau haji yang diterima
Allah SWT, yang tidak ada riya’, tidak ada sum’ah, tidak rofats dan tidak
fusuq”. Selanjutnya Abu Bakar Jabir al Jazari dalam kitab Minhajul Muslimin
mengungkapkan bahwa : “Haji mabrur itu ialah haji yang bersih dari segala dosa,
penuh dengan amal shaleh dan kebajikan-kebajikan”.
Berdasarkan rumusan-rumusan yang diberikan
oleh para ulama tersebut, dapat kita simpulkan bahwa haji mabrur adalah haji
yang dapat disempurnakan segala hukum-hukum berdasarkan perintah Allah dan
Rasulullah SAW, sebuah predikat haji
yang tidak mendatangkan perasaan riya’, bersih dari dosa, senantiasa dibarengi dengan peningkatan amal
shaleh, tidak ingin disanjung dan tidak melakukan perbuatan keji dan merusak.
Petunjuk Rasul dalam menggapai Haji Mabrur
Pada Hakekatnya hanya Allah yang
mengetahui dan menentukan apakah haji yang telah ditunaikan oleh seseorang itu
diterima atau tidak, meskipun demikian melalui penjelasan yang bersumber dari
Rasululah SAW, setidaknya kita dapat
melakukan instrosteksi diri/mengukur diri seraya berharap kepada Allah agar
haji yang kita tunaikan menjadi mabrur.
Diantara petunjuk untuk menggapai haji
mabrur dari beberapa hadits Rasulullah, diantaranya :
- Niat
Ikhlas karena Allah SWt.
Dalam Islam, niat menempati kedudukan sentral
dan menempati posisi yang sangat penting, bahkan niat menjadi penentu atas
nilai sebuah ibadah yang kita tunaikan. Begitu juga halnya dengan pelaksanaan
ibadah yang memerlukan kesanggupan materiil dan spirituil ini.
Penegasan dan pelurusan niat yang benar-benar
harus ditujukan dalam rangka mencapai
ridha Allah SWT secara eksplisit dijelaskan dalam firman-Nya :
!$tBur (#ÿrâÉDé& wÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãur no4qx.¨9$# 4 y7Ï9ºsur ß`Ï ÏpyJÍhs)ø9$# ÇÎÈ
“Dan tidaklah mereka disuruh kecuali untuk
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan agama
dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, dan
yang demikian itulah agama yang lurus”. (Al
Bayyinah (98) : 5)
Hal ini diperkuat lagi oleh Rasulullah dalam
sabdanya,
انما
الاعمال بالنيات و انما لكل امرئ ما نوي
artinya :” Sesungguhnya setiap perbuatan
tergantung dari niatnya dan masing-masing mendapat pahala dari niatnya itu”.
Oleh karena itu, haji harus benar-benar
diniatkan karena Allah SWT. Terlebih haji ini sangat dekat dengan perasaan
riya’ dan sum’ah, mengingat tidak semua orang dapat menunaikan ibadah ini
sebagaimana ibadah yang lain. Tidak sedikit orang yang menunaikan ibadah haji
karena ingin memperoleh predikat “Haji” untuk memperkuat status sosial, khususnya
untuk mendapatkan legitimasi sosial dari masyarakat.
- Sumber
biaya yang halal
Segala biaya dan nafkah yang digunakan untuk
menunaikan ibadah haji haruslah benar-benar bersumber dari yang halal. Hakekat
yang ingin kita capai dari pelaksanaan ibadah haji adalah ingin menyempurnakan
sesuatu yang prinsipil terhadap keberislaman kita, sehingga kita termasuk
orang-orang yang dekat kepadanya. Oleh karena itu, apa artinya kita menunaikan
ibadah haji haji, jika ternyata tidak dapat lebih mendekatkan diri kita kepada
Allah SWT., karena harta yang kita gunakan tidak bersumber dari harta yang
halal. Karena setiap ibadah yang kita tunaikan dengan biaya yang bersumber dari
yang haram, tidak akan bernilai disisi Allah SWT. Dengan kata lain ibadah
hajinya akan ditolak (ma’zur).
Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah SAW,
artinya : “Jika seseorang menunaikan ibadah haji pergi dengan biaya dari
harta yang halal dan diucapkannya, labbaika allahumma labbaik (ya Allah, inilah
aku datang memenuhi panggilan-MU), maka berkata penyeru dari langit : “Allah
menyambut dan menerima kedatanganmu dan semoga kamu berbahagia. Perbekalanmu
halal, pengangkutanmu juga halal, maka hajimu mabrur, tidak dicampuri dosa”.
Sebaliknya jika ia pergi dengan harta yang haram, dan ia mengucapkan
“Labbaik”, maka penyeru dari langit berseru : “Tidak diterima kunjunganmu dan
engkau tidak berbahagia. Perbekalanmu haram, pembelanjaanmu juga haram, maka
hajimu ma’zur (mendatangkan dosa) atau tidak diterima. (HR. Thabrani).
Berdasarkan hadits Rasulullah dan logika/akal
sehat kita sendiri, dapat kita simpulkan bahwa bagaimana mungkin haji kita
berkenan disisi Allah SWT, sedangkan biaya pelaksanaannya bersumber dari harta
yang tidak diridhai Allah SWT.
- Manasik
Haji sesuai tuntunan Rasulullah SAW..
Ibadah Haji merupakan ibadah mahdhah dan
sudah ditetapkan ketentuan dan tata caranya. Kita mutlak harus mempedomani kaifiyah dan tata
cara manasik yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW. Dengan demikian, manasik
haji yang kita lakukan harus benar-benar sesuai dengan manasik haji yang
dilakukan oleh Rasulullah SW, sebagaimana sabdanya : “Hendaklah kmu
mengambil manasik hajimu dari aku”. (HR. Muslim)
Alangkah baiknya, jika setiap kita yang ingin
menunaikan ibadah haji terlebih dahulu mempelajari dengan sebaik-baiknya
manasik haji Rasulullah SAW. Karena manasik haji ini sangat menentukan kemabruran
haji kita, dan manasik haji yang tepat dan benar adalah manasik hajinya
Rasulullah SAW.
- Ibadah
Haji berbuah perbaikan akhlaq dan tingkah laku.
Ibadah Haji yang telah ditunaiakn harus mampu
memperbaiki akhlaq dan tingkah laku. Sesudah menyelesaikan manasik hajinya
secara sempurna, mulai berihram di miqat yang telah ditentukan, thawaf
mengelilingi ka’bah baitullah, wuquf di Arafah, mabit di muzdalifah. melontar
jumroh dan bermalam di Mina, thawaf ifadhah dan akhirnya thawaf wada’ telah dilakukan
sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW, maka sekembalinya jama’ah di tanah air semua
aktiftas yang telah dilakukan delama ibadah haji harus mampu menjadi sarana
untuk memfungsionalisasikan tujuan hidup kita agar kembali ke fitrah yang
sebenarnya, yakni menjadi manusia yang memiliki akhlaq yang terpuji.
Kita harus mengingat bahwa tujuan ibadah
dalam Islam , tidak terkecuali ibadah haji, adalah untuk lebih mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Upaya pendekatan diri ini sekaligus mensucikan jiwa kita
menjadi jiwa bersih, sehingga dengan jiwa yang bersih ini melahirkan perilaku
dan akhlaq yang mulia. Ibadah haji yang membentuk perilaku akhlaq terpuji dan
mulia ini diukur dengan peningkatan amal-amal kebajikan yang kita lakukan, baik
terhadap Allah SWt secara vertikal, dan hubungan sesama manusia secara
horisontal.
Kesimpulan
Tidak ada satupun diantara
kita yang menginkan ibadah yang kita lakukan tidak diterima Allah SWT, tidak
terkecuali ibadah haji. Dalam Islam, pelaksanaan ibadah haji merupakan
pelaksanaan yang memerlukan kesanggupan yang lebih besar daripada ibadah
lainnya, karena disamping ibadah ini merupakan ibadah yang berdimensi
spiritualitas tinggi, ia juga sangat
sarat dengan nilai-nilai sejarah dalam tradisi kenabian yang agung.
Keberangkatan yang
dilakukan dengan niat yang suci dan ikhlas semata-mata berharap ridha Allah
SWT, biaya haji yang mahal yang dikeluarkan dari sumber yang halal, mengikuti
manasik haji yang dipraktikkan Rasulullah SAW dan menghiasi dirinya dengan
amal-amal shalih dan akhlaqul karimah, akan menjadi sebagian tanda kemabruran
haji seseorang, yang balasannya tidak lain adalah surga.
Akhirnya kami ucapkan Sugeng tindak
ngantos kondur, mugi dados haji mabrur. Amien…