(R.
Agung Nugraha, M.A.)
Dan
tidaklah aku diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah secara ikhlas
(Al Bayinah :5 )
Ramadhan hampir berlalu, satu sisi kita
bersyukur karena sementara ada banyak orang yang tidak lagi mempunyai
kesempatan karena telah dipanggil oleh Allah, kita masih diberi kesempatan bertemu
dan beribadah di bulan Ramadhan tahun ini, sebuah kesempatan besar untuk
menangguk pahala yang menjadi harapan setiap muslim, disamping sebagai wujud
kepatuhan hamba mengabdi kepada Allah Swt.. Disisi lain, tentu kita merasa
sedih, karena kesempatan meraup rahmat dan ampunan Allah akan segera meninggalkan kita semua, sementara kita tidak
tahu apakah masih akan diberi kesempatan bertemu lagi dengan bulan Ramadhan
yang akan datang. Pertanyaannya ialah, dengan berakhirnya Ramadhan, habiskah
kesempatan kita untuk menangguk pahala dan ridha Allah? Jawabnya ternyata tidak…
Ramadhan hanyalah proses pelatihan, Puasa
merupakan salah satu ibadah yang disyariatkan Allah. Tujuan perintah puasa, dan
ibadah – ibadah yang lain, tidak lain adalah agar kita menjadi manusia yang
semakin hari semakin meningkat ketaqwaannya. Untuk mewujudkan hal itu, maka
kita harus mampu meningkatkan kualitas ibadah kita. Ibadah yang berkualitas
adalah ibadah yang mampu terinternalisasi dalam diri seorang hamba dan
tercermin dalam diri dan kepribadian seseorang diluar konteks ibadah itu
sendiri. Pertanyaannya adalah, bagaimana cara agar ibadah yang dilakukan dapat
berkualitas sehingga terinternalisasi dan terimplementasi dalam denyut
kehidupan kita dan bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan ?
Berikut 3 (tiga) hal yang harus dilakukan
agar ibadah yang kita kerjakan semakin berkualitas dan sesuai dengan kehendak
Allah dan tuntunan Rasul. Tiga hal yang harus kita perhatikan tersebut, yaitu :
1.
Mengerti
dan memahami kaifiyah ibadah
Untuk meningkatkan
kualitas suatu ibadah, kita harus senantiasa mempelajari, mengerti dan memahami
kaifiyah ibadah yang akan kita lakukan, baik yang berupa ketentuan, tata cara,
syarat dan rukunnya. Disinilah kemudian kita harus selalu berusaha menggali ketentuan-ketentuan
yang terkait dengan ibadah yang kita lakukan. Dalam hal puasa, misalnya, dari
sisi fiqh, pengertian puasa adalah menahan makan, minum dan hubungan antara
suami istri sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari disertai niat karena
Allah. Sehingga rukun Puasa adalah pertama niat dan kedua,
menahan makan, minum dan jima’ (hubungan suami istri). Apabila kita mampu memenuhi dua rukun
tersebut, maka dari sisi fiqh kewajiban puasa itu telah gugur (tertunaikan).
Lebih dari itu, kita juga
harus mengerti dan paham bahwa selain menahan makan, minum dan hubungan suami
istri, seorang yang berpuasa disunnahkan untuk makan sahur dan mengakhirkannya,
mendahulukan berbuka dengan yang manis (kurma), memperbanyak dzikir, sholat
sunnat, tadarus al-qur’an, shodaqah, dst.
Kita juga harus mengetahui
larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa,
serta tindakan dan perilaku yang dapat membatalkan ibadah puasa atau yang akan
mengurangi bahkan menghilangkan pahala puasa.
Ketentuan, tata cara,
syarat dan rukun puasa tersebut harus selalu kita kaji dan secara bertahap dan
terus menerus kita tingkatkan kualitas maupun kuantitasnya. Demikian juga
dengan larangan-larangan tersebut harus terus-menerus kita hindarkan.
Apabila kita telah mampu
memahami dan melakukan puasa sesuai dengan kaifiyah tersebut, maka kita telah
mampu mmengamalkan ibadah tersebut secara baik dan benar sesuai dengan kehendak
Allah dan sunnah Rasul.
2.
Mengerti
dan memahami ruh (esensi) dari ibadah yang diperintahkan
Setelah mengetahui dan
memahami ketentuan, tata cara, syarat dan rukun ibadah, maka tahap selanjutnya
kita harus selalu berusaha memahami ruh (esensi) dari ibadah tersebut. Artinya, meski kita telah
melakukan sebuah ibadah sesuai dengan kaifiyah yang dituntunkan, hal itu belum
sempurna apabila kita belum memahami esensi dari ibadah yang kita lakukan. Hal
ini penting agar setiap kita berusaha menggali rahasia dibalik ibadah yang
disyari’atkan.
Dalam konteks puasa,
esensi dari puasa adalah mengendalikan diri dan nafsu. Makan, minum dan
hubungan suami istri hanyalah simbul atau sebagian dari nafsu manusia yang
harus dikendalikan. Karena itulah orang yang berpuasa juga diperintahkan untuk
meninggalkan perilaku sia-sia (laghwi, tidak produktif), kata-kata kotor
(rofasy), mencela dan menjelek-jelekkan orang lain (syatam) dan
masih banyak hal lain yang harus dihindari oleh orang berpuasa agar puasanya
mempunyai makna dan tidak sekedar mendapat lapar dan dahaga sebagaimana sabda
Nabi :
“betapa banyak orang
yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu selain lapar
dan dahaga”.
Dengan demikian, meskipun
setiap tahun selama sebulan penuh kita mampu melaksanakan puasa, tidak makan,
minum dan hubungan suami istri, namun bila
tidak memahami esensinya, kita akan selalu kembali melakukan
tindakan-tindakan yang diluar pengendalian diri tersebut. Ini sama artinya
dengan kita belum melakukan apa-apa.
3.
Adanya atsar
dari ibadah
Setelah melaksanakan
ibadah sesuai ketentuan, tata cara, syarat dan rukunnya serta mengetahui dan
memahami ruh dari perintah ibadah tersebut, maka sebuah ibadah akan sempurna
dan berkualitas apabila menghasilkan atsar (bekas) berupa
kesalehan kita diluar ibadah. Artinya, kesalehan seseorang tidak sekedar diukur
dengan terlaksananya sebuah ibadah, lebih dari itu ibadah akan berkualitas dan
optimal apabila orang yang melakukan ibadah tersebut mampu menginternalisasikan
ruh ibadah dan mengimplementasikannya disepanjang kehidupan.
Demikianlah, betapa sebetulnya kita masih
mempunyai kesempatan yang luas untuk beribadah sebanyak mungkin, menangguk
ridha Allah tidak saja terbatas di bulan Ramadhan tetapi disepanjang waktu
selagi kesempatan itu masih diberikan dan disemua tempat didalam seluruh
lapangan kehidupan kita.
Akhirnya, agar bermacam ibadah selama
Ramadhan mempunyai atsar, seharusnya masing-masing kita memiliki target
untuk me-mudawamah-kan (melanggengkan) sebagian amaliah ramadhan dalam
kehidupan selepas ramadhan nanti. Kita ukur diri sendiri, mana yang sekiranya
mampu kita laksanakan, apakah puasa wajib dilanjutkan dengan puasa sunnah,
tarawih diteruskan dengan qiyam al-lail (sholat malam),
kajian-kajian/pengajian rutin mingguan
dioptimalkan, tadarus setiap habis subuh atau habis maghrib meskipun 5 – 10
ayat, infaq dan shodaqah terus berjalan dan yang lainnya. Hanya dengan
perubahan dan peningkatan seperti itu, Ibadah Ramadhan kita tahun ini kita
rasakan manfaatnya dalam pembinaan pribadi dan masyarakat. Semoga Allah memberi
kesempatan dan kekuatan kepada kita untuk melaksanakannya. Amien…