Thursday, October 12, 2006

Melestarikan Amaliah ibadah Ramadhan

MELESTARIKAN AMALIAH
IBADAH RAMADHAN
(R. Agung Nugraha, M.A.)


Dan tidaklah aku diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah secara ikhlas (Al Bayinah :5  )


Ramadhan hampir berlalu, satu sisi kita bersyukur karena sementara ada banyak orang yang tidak lagi mempunyai kesempatan karena telah dipanggil oleh Allah, kita masih diberi kesempatan bertemu dan beribadah di bulan Ramadhan tahun ini, sebuah kesempatan besar untuk menangguk pahala yang menjadi harapan setiap muslim, disamping sebagai wujud kepatuhan hamba mengabdi kepada Allah Swt.. Disisi lain, tentu kita merasa sedih, karena kesempatan meraup rahmat dan ampunan Allah akan segera  meninggalkan kita semua, sementara kita tidak tahu apakah masih akan diberi kesempatan bertemu lagi dengan bulan Ramadhan yang akan datang. Pertanyaannya ialah, dengan berakhirnya Ramadhan, habiskah kesempatan kita untuk menangguk pahala dan ridha Allah?  Jawabnya ternyata tidak…
Ramadhan hanyalah proses pelatihan, Puasa merupakan salah satu ibadah yang disyariatkan Allah. Tujuan perintah puasa, dan ibadah – ibadah yang lain, tidak lain adalah agar kita menjadi manusia yang semakin hari semakin meningkat ketaqwaannya. Untuk mewujudkan hal itu, maka kita harus mampu meningkatkan kualitas ibadah kita. Ibadah yang berkualitas adalah ibadah yang mampu terinternalisasi dalam diri seorang hamba dan tercermin dalam diri dan kepribadian seseorang diluar konteks ibadah itu sendiri. Pertanyaannya adalah, bagaimana cara agar ibadah yang dilakukan dapat berkualitas sehingga terinternalisasi dan terimplementasi dalam denyut kehidupan kita dan bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan ?
Berikut 3 (tiga) hal yang harus dilakukan agar ibadah yang kita kerjakan semakin berkualitas dan sesuai dengan kehendak Allah dan tuntunan Rasul. Tiga hal yang harus kita perhatikan tersebut, yaitu :
1.      Mengerti dan memahami kaifiyah ibadah
Untuk meningkatkan kualitas suatu ibadah, kita harus senantiasa mempelajari, mengerti dan memahami kaifiyah ibadah yang akan kita lakukan, baik yang berupa ketentuan, tata cara, syarat dan rukunnya. Disinilah kemudian kita harus selalu berusaha menggali ketentuan-ketentuan yang terkait dengan ibadah yang kita lakukan. Dalam hal puasa, misalnya, dari sisi fiqh, pengertian puasa adalah menahan makan, minum dan hubungan antara suami istri sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari disertai niat karena Allah. Sehingga rukun Puasa adalah pertama niat dan kedua, menahan makan, minum dan jima’ (hubungan suami istri).  Apabila kita mampu memenuhi dua rukun tersebut, maka dari sisi fiqh kewajiban puasa itu telah gugur (tertunaikan).
Lebih dari itu, kita juga harus mengerti dan paham bahwa selain menahan makan, minum dan hubungan suami istri, seorang yang berpuasa disunnahkan untuk makan sahur dan mengakhirkannya, mendahulukan berbuka dengan yang manis (kurma), memperbanyak dzikir, sholat sunnat, tadarus al-qur’an, shodaqah, dst.
Kita juga harus mengetahui larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa, serta tindakan dan perilaku yang dapat membatalkan ibadah puasa atau yang akan mengurangi bahkan menghilangkan pahala puasa.
Ketentuan, tata cara, syarat dan rukun puasa tersebut harus selalu kita kaji dan secara bertahap dan terus menerus kita tingkatkan kualitas maupun kuantitasnya. Demikian juga dengan larangan-larangan tersebut harus terus-menerus kita hindarkan.
Apabila kita telah mampu memahami dan melakukan puasa sesuai dengan kaifiyah tersebut, maka kita telah mampu mmengamalkan ibadah tersebut secara baik dan benar sesuai dengan kehendak Allah dan sunnah Rasul.

2.      Mengerti dan memahami ruh (esensi) dari ibadah yang diperintahkan
Setelah mengetahui dan memahami ketentuan, tata cara, syarat dan rukun ibadah, maka tahap selanjutnya kita harus selalu berusaha memahami ruh (esensi) dari  ibadah tersebut. Artinya, meski kita telah melakukan sebuah ibadah sesuai dengan kaifiyah yang dituntunkan, hal itu belum sempurna apabila kita belum memahami esensi dari ibadah yang kita lakukan. Hal ini penting agar setiap kita berusaha menggali rahasia dibalik ibadah yang disyari’atkan.
Dalam konteks puasa, esensi dari puasa adalah mengendalikan diri dan nafsu. Makan, minum dan hubungan suami istri hanyalah simbul atau sebagian dari nafsu manusia yang harus dikendalikan. Karena itulah orang yang berpuasa juga diperintahkan untuk meninggalkan perilaku sia-sia (laghwi, tidak produktif), kata-kata kotor (rofasy), mencela dan menjelek-jelekkan orang lain (syatam) dan masih banyak hal lain yang harus dihindari oleh orang berpuasa agar puasanya mempunyai makna dan tidak sekedar mendapat lapar dan dahaga sebagaimana sabda Nabi :
“betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu selain lapar dan dahaga”.
Dengan demikian, meskipun setiap tahun selama sebulan penuh kita mampu melaksanakan puasa, tidak makan, minum dan hubungan suami istri, namun bila  tidak memahami esensinya, kita akan selalu kembali melakukan tindakan-tindakan yang diluar pengendalian diri tersebut. Ini sama artinya dengan kita belum melakukan apa-apa.
3.      Adanya atsar dari ibadah
Setelah melaksanakan ibadah sesuai ketentuan, tata cara, syarat dan rukunnya serta mengetahui dan memahami ruh dari perintah ibadah tersebut, maka sebuah ibadah akan sempurna dan berkualitas apabila menghasilkan atsar (bekas) berupa kesalehan kita diluar ibadah. Artinya, kesalehan seseorang tidak sekedar diukur dengan terlaksananya sebuah ibadah, lebih dari itu ibadah akan berkualitas dan optimal apabila orang yang melakukan ibadah tersebut mampu menginternalisasikan ruh ibadah dan mengimplementasikannya disepanjang kehidupan.

Demikianlah, betapa sebetulnya kita masih mempunyai kesempatan yang luas untuk beribadah sebanyak mungkin, menangguk ridha Allah tidak saja terbatas di bulan Ramadhan tetapi disepanjang waktu selagi kesempatan itu masih diberikan dan disemua tempat didalam seluruh lapangan kehidupan kita.
Akhirnya, agar bermacam ibadah selama Ramadhan mempunyai atsar, seharusnya masing-masing kita memiliki target untuk me-mudawamah-kan (melanggengkan) sebagian amaliah ramadhan dalam kehidupan selepas ramadhan nanti. Kita ukur diri sendiri, mana yang sekiranya mampu kita laksanakan, apakah puasa wajib dilanjutkan dengan puasa sunnah, tarawih diteruskan dengan qiyam al-lail (sholat malam), kajian-kajian/pengajian  rutin mingguan dioptimalkan, tadarus setiap habis subuh atau habis maghrib meskipun 5 – 10 ayat, infaq dan shodaqah terus berjalan dan yang lainnya. Hanya dengan perubahan dan peningkatan seperti itu, Ibadah Ramadhan kita tahun ini kita rasakan manfaatnya dalam pembinaan pribadi dan masyarakat. Semoga Allah memberi kesempatan dan kekuatan kepada kita untuk melaksanakannya. Amien…


Monday, October 9, 2006

Meluruskan qiblat

Oleh : Agung Nugraha

Dari sisi fiqh, pengertian puasa adalah menahan makan, minum dan hubungan antara suami istri sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari disertai niat karena Allah. Sehingga rukun Puasa adalah pertama niat dan kedua, menahan makan, minum dan jima’ (hubungan suami istri).  Apabila kita mampu memenuhi dua rukun tersebut, maka dari sisi fiqh kewajiban puasa itu telah gugur (tertunaikan).
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, adakah puasa Rasulullah terbatas pada pemenuhan dua rukun tersebut. Jawabnya ternyata tidak. Dari berbagai riwayat dapat dipahami bahwa banyak hal yang mesti kita lakukan agar puasa kita lebih bermakna dan mendekati kepada tuntunan Rasul. Hal itulah yang semestinya secara terus menerus kita gali, agar dengan berjalannya waktu, kita akan betul-betul menjadi manusia muttaqien sebagaimana tujuan utama perintah puasa.

Memaknai Puasa
Agar puasa kita lebih bermakna, maka ada beberapa hal yang mesti kita perhatikan. Jangan sampai kita termasuk orang yang berpuasa, akan tetapi tidak mendapatkan apapun kecuali lapar dan dahaga. Sebagaimana sabda nabi :

كم من صائم ليس له من صيامه الا الجوع و العطس

“betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apapun kecuali lapar dan dahaga”.
Dengan memahami hadits ini, kita tentu kemudian tersadar bahwa tidak cukup kita memenuhi dua rukun puasa sebagaimana dirumuskan dalam pengertian fiqh diatas. Lebih dari itu, tarnyata ada beberapa hal yang harus kita lakukan disamping “sekedar” menahan makan, minum dan jima’.  
Diantara yang harus kita hindari, terlebih di bulan Ramadhan, adalah sebagai berikut :
1.      Berbuat yang tidak perlu (laghwi)
Puasa tidak berarti membolehkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak perlu seperti sendau gurau dan bermain-main. Meski berpuasa, setiap kita dianjurkan untuk tetap produktif baik dalam bekerja maupun dalam beramal dan beribadah kepada Allah. Oleh karena itu tidak dibenarkan, karena alasan puasa kemudian kita menghabiskan waktu untuk tidur, bersandau gurau, nonton TV, nongkrong dan kongkow-kongkow. Tidur yang bernilai ibadah disisi Allah ialah tidur yang dilakukan untuk menghindari maksiat, atau karena ngantuk akibat malamnya digunakan untuk menghidupkan malam-malam ramadhan dengan tadarus, qiyam al-lail dsb. Itupun tidak berarti membolehkan tidur dengan berlebihan.

2.      Berkata yang jelek, menggunjing dan mengumpat (rofas)
Disamping dilarang melakukan tindakan yang mubadzir dan tidak produktif, kita juga diperintahkan untuk menghindari ucapan yang jelek dan/atau tidak bermanfaat. Kata-kata yang jelek harus dihindarkan oleh setiap muslim, terlebih ketika berpuasa. Dalam konteks ini pula Rasul bersabda :
من كان يؤمن بالله واليوم الاخر فاليقل خيرا او ليصمت

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik-baik, atau (kalau tidak bisa, lebih baik) diam”.

3.      Mengumpat (Syatam)
Kecenderungan manusia ialah mengumpat, mencela dan menjelek-jelekkan orang lain seraya mengunggulkan diri sendiri. Hal ini terkait dengan sifat ujub (sombong) yang selalu didengungkan oleh syetan kepada manusia, sebagaimana syetan telah berlaku sombong dihadapan Allah terkait dengan penciptaan manusia (adam), dengan pernyataannya : Engkau (Allah) telah menciptakan aku dari neraka, sedang Adam (Engkau –Allah) ciptakan dari tanah. Sehingga ia tidak mau bersujud kepada Adam.

4.      Menuduh (zina) tanpa dasar (qadf)
Menuduh (zina) tanpa bisa membuktikan adalah sesuatu yang sangat dilaknat oleh Allah. Karena dengan tuduhan itu disamping akan merusak dan merendahkan martabat seseorang, juga dapat memicu permusuhan dan retaknya rumahtangga (bila yang dituduh itu orang yang sudah berumah tangga). Oleh sebab itu acara-acara yang memberi peluang untuk itu harus dihindarkan. Inilah barangkali salah satu alasan mengapa Nahdhatul Ulama (NU) mengeluarkan fatwa haram terhadap acara infotainment yang dari berbagai tinjuan berakibat kontra produktif.
Atas dua hal tersebut, Mengumpat dan Menuduh zina, Rasulullah menyebut orang yang demikian sebagai orang yang pailit dihari akhir. Sebagaimana sabdanya :

هل تدرون من المفلس قالوا الله ورسوله اعلم  قال ان المفلس من امتي من ياتي يوم القيامة بصيام و صلاة و زكاة و ياءتي قد شتم عرض هدا و قدف هدا و اكل مال هدا
Tahukah kamu, siapa orang yang merugi(bangkrut)?. Jawab shahabat : Allah dan rasul-Nya yang lebih tahu. Lalu Nabi bersabda : Orang yang bangkrut/pailit dari umatku ialah yang datang pada hari kiamat dengan pahala puasa, pahala shalat dan pahala zakat, akan tetapi (ketika di dunia) ia mencela dan menjelek-jelekkan saudaranya serta menuduh orang lain berzina, ( dan tidak dapat membuktikan,  Dia pernah memakan harta orang lain, ….”

ِAkhirnya, bahwa bila kita mua berfikir. Bulan Ramadhan yang setiap dating tidak bias kita pahami sekedar sebuah rutinitas. Melainkan harus kita pahami dan kita isi Ramadhan ini dengan berbagai aktifitas yang lebih baik dari Ramadhan sebelumnya, sehingga Ramadhan yang selalu kita jumpai tersebut menjadi lebih bermakna.
Agar Ramadhan itu tetap bermakna, maka sudah seharusnya kita menetapkan target-target yang harus kita capai, baik secara individu maupun kolektif terhadap prioritas ibadah yang akan kita kerjakan. Hanya dengan prioritas dan target yang jelas tersebut, kita mampu menjadikan ramadhan tahun ini lebih bermakna dari ramadhan yang telah kita lakukan. Kita canangkan dalam diri kita bahwa kita akan memprioritaskan salah satu amalan ramadhan yang akan lebih kita pahami maknanya kemudian diniatkan untuk terus-menerus dilakukan dan dimudawamahkan diluar bulan Ramadhan. Semoga…